Energi Nuklir Dinilai Mampu Mendukung Penurunan Emisi
Masalah sosial-politik menjadi tantangan utama pengembangan energi nuklir di Indonesia. Karena itu, meski dinilai mampu menekan emisi, pemanfaatan energi itu masih sebagai opsi terakhir dalam kebijakan energi nasional.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JIJI PRESS/AFP/STR
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Perusahaan Energi Listrik Tokyo Fukushima Daiichi dilihat dari kota Futaba, Perfektur Fukushima, Rabu (11/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi nuklir dinilai mendukung target penurunan emisi Indonesia. Tantangan utama mengembangkan energi nuklir ini bukan pada teknologi, melainkan masalah sosial politik.
Peneliti Ahli Utama Organisasi Riset Teknologi Nuklir (OR-TN) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Djarot S Wisnubroto, mengemukakan, beberapa negara di Eropa yang menggunakan nuklir sebagai energi utama memiliki emisi karbon rendah. Sebaliknya, negara di Eropa yang masih menggunakan batubara tercatat menyumbang emisi tinggi.
Berdasarkan data tahun 2021 yang dihimpun Djarot dari berbagai sumber, Swedia dan Perancis merupakan negara yang sudah memakai nuklir sebagai pemasok energi utama mereka. Masing-masing 39 persen sumber energi di Swedia berasal dari hidro dan nuklir. Sementara proporsi penggunaan energi nuklir di Peranacis sebesar 67 persen dan Jerman baru 11,7 persen.
Bila mengacu data Badan Lingkungan Eropa (EEA) tahun 2020, Swedia dan Perancis memiliki emisi karbon lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Swedia tercatat hanya menghasilkan emisi karbon sebesar 9 gram kilowatt per jam (kWh) dan Perancis 51 kWh. Emisi Swedia dan Perancis bahkan lebih rendah daripada Denmark sebesar 109 kWh dan Jerman 311 kWh.
”Dari perbandingan data ini, bisa disimpulkan energi nuklir dan hidro menjadi faktor signifikan mengurangi emisi karbon sekaligus biaya listrik. Inilah kenapa banyak negara mencoba memakai nuklir meski ada tantangan, yakni pembangunannya lama,” ujarnya dalam webinar ”Siapkah Energi Nuklir Mendukung Net Zero Emission Indonesia?” di Jakarta, Selasa (16/11/2021).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Maket pembangkit listrik tenaga nuklir dipamerkan Badan Tenaga Nuklir Nasional dalam Pekan Energi Indonesia 2011 di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2011).
Pertimbangkan risiko
Secara terpisah, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menilai, pembangunan PLTN memang dapat menurunkan emisi, tetapi memiliki risiko dampak lingkungan dan sosial yang sangat besar jika terjadi kesalahan pengoperasian dan bencana alam. Alih-alih mengembangkan nuklir, pemerintah diminta lebih fokus memanfaatkan energi bersih dan terbarukan yang melimpah potensinya di Indonesia, salah satunya energi surya.
”Dari perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, terdapat potensi energi terbarukan sebesar 200 gigawatt dan baru dimanfaatkan sekitar 0,09 gigawatt. Potensi ini sudah jauh berlipat-lipat di atas kebutuhan listrik kita. Kita juga seharusnya memilih energi surya yang potensinya melimpah, murah, dan aman,” ujarnya.
Menurut Djarot, sejauh ini banyak pihak memandang nuklir sebagai sumber bencana karena adanya kejadian kecelakaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Ukraina (Chernobyl) dan Jepang. Meski kejadian itu menimbulkan dampak lingkungan, sosial, hingga kesehatan yang fatal, Ukraina dan Jepang sampai kini tetap mengandalkan nuklir sebagai sumber energinya.
Merujuk data Asosiasi Nuklir Dunia (WNA), sampai kini ada 440 reaktor nuklir yang telah beroperasi di 32 negara. Sebanyak 50 reaktor nuklir lainnya juga tengah dibangun di beberapa negara, termasuk Bangladesh dan Turki. Secara keseluruhan, nuklir berada di posisi empat penyumbang energi terbesar dunia setelah batubara, gas, dan hidro.
Selain itu, WNA mencatat secara statistik kecelakaan PLTN sangat sedikit dibandingkan dengan pembangkit energi lainnya, seperti batubara, hidro, dan gas. Kejadian kecelakaan pembangkit listrik tenaga hidro Banqio Dam di China pada tahun 1975 menyebabkan 26.000 orang meninggal dunia.
”Diambil dari buku Bill Gates, daya per luas PLTN memiliki perbandingan yang bagus, yakni 500-1.000 watt per meter persegi. Saya yakin kombinasi antara energi terbarukan dan nuklir menjadi jalan terbaik untuk masa depan Indonesia dan dunia,” ujar Djarot yang juga merupakan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) 2012-2018.
Dari studi tapak yang telah dilakukan, Pantai Gosong di Kalimantan Barat dinilai dapat menjadi wilayah rencana pembangunan PLTN. Lokasi ini dipilih karena berbagai pertimbangan, mulai dari aspek bencana, seperti kegempaan dan tsunami, serta demografi, termasuk diskusi dengan masyarakat dan pemerintah daerah.
Tinjauan IAEA
Menurut Djarot, Indonesia pernah menjalani serangkaian tahap peninjauan infrastruktur nuklir terintegrasi fase 1 oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) pada 2009. Dari hasil peninjauan terhadap 19 parameter, Indonesia mendapat status hijau, di antaranya pada aspek pengelolaan limbah, proteksi lingkungan, keamanan, hingga sumber daya manusia (SDM). Sementara status merah tercatat pada posisi nasional karena belum ada pernyataan resmi dari pemerintah untuk mengembangkan energi nuklir.
”Jadi, sebenarnya SDM dan infrastruktur di Indonesia sudah siap dalam program pembangunan PLTN, tidak hanya masalah reaktor, tetapi juga aspek pendukung lainnya, termasuk pengelolaan limbah radioaktif. Tantangan utama bukan pada teknologi, tetapi masalah sosial-politik kapan kita akan go nuclear,” ucapnya.
Jadi, sebenarnya SDM dan infrastruktur di Indonesia sudah siap dalam program pembangunan PLTN, tidak hanya masalah reaktor, tetapi juga aspek pendukung lain, termasuk pengelolaan limbah radioaktif.
Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto menyatakan, riset terbaru di Asia Pasifik menunjukkan bahwa pengembangan energi nuklir perlu dipertimbangkan dalam kebijakan energi nasional setiap negara. Sebab, nuklir dinilai sangat aman dan secara internasional memiliki aspek ekonomi yang cukup kuat.
Menurut Deendarlianto, salah satu aspek terpenting dalam pengembangan nuklir ialah SDM. Saat ini, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak yang memiliki bidang yang berhubungan secara langsung dan tidak langsung dengan kenukliran. Para lulusan perguruan tinggi tersebut dapat diserap untuk kebutuhan pengoperasian reaktor nuklir.
Kompas
Sekitar 1.500 warga Jepara yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Jepara berunjuk rasa menolak pembangunan PLTN Jepara, di Alun-alun Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (11/6/2011) sore.
Selain itu, Deendarlianto juga menyebut bahwa dari aspek hukum, pembangunan PLTN merupakan sebuah keharusan karena menjadi amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Dalam UU tersebut mengamanatkan pengoperasian reaktor nuklir dalam periode 2015-2019.