Akses Layanan Diabetes Melitus pada Anak Masih Terbatas
Layanan diabetes melitus pada anak perlu diperkuat. Selain pemerataan akses insulin, ketersediaan tenaga kesehatan dan edukasi mengenai deteksi dini diabetes melitus perlu ditingkatkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi diabetes melitus pada anak terus meningkat. Namun, itu tidak disertai dengan peningkatan akses pada layanan kesehatan, terutama akses pada insulin. Padahal, hal itu penting untuk memastikan kualitas hidup anak tetap terjaga dengan baik.
Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Aman Bhakti Pulungan menuturkan, anak dengan diabetes melitus, terutama anak dengan diabetes tipe 1, memerlukan terapi insulin secara rutin. Insulin ini diperlukan untuk menjaga kadar glikemik dalam tubuh. Jika tidak terkontrol, berbagai risiko komplikasi bisa terjadi.
”Akses insulin untuk seluruh wilayah di Indonesia belum merata. Kondisi ini harus segera diatasi,” ujarnya, dalam temu media secara virtual mengenai ”Update Penanganan Diabetes pada Anak beserta Teknologinya”, di Jakarta, Sabtu (13/11/2021).
Banyak anak di Indonesia meninggal akibat diabetes karena kesulitan mengakses insulin. Hal itu juga perlu dibarengi dengan peningkatan kesadaran untuk deteksi dini penyakit tersebut pada anak.
Aman, yang juga Presiden Asosiasi Dokter Anak Asia Pasifik (Asia Pacific Pediatric Association/APPA), menjelaskan, komplikasi serius yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dengan diabetes melitus yakni komplikasi ketoasidosis diabetikum (KAD). Kondisi KAD bisa memicu terjadinya edema serebri atau pembengkakan akibat penumpukan cairan di jaringan otak.
Akses insulin untuk seluruh wilayah di Indonesia belum merata. Kondisi ini harus segera diatasi. Banyak anak di Indonesia meninggal akibat diabetes karena kesulitan mengakses insulin.
Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Muhammad Faizi menambahkan, selain tidak meratanya akses insulin pada layanan diabetes anak, jumlah dokter spesialis endokrin pun terbatas. Sebanyak 56,1 persen dokter spesialis endokrin terpusat di Pulau Jawa. Hanya ada sekitar 3,17 persen dokter endokrin di Maluku dan Papua.
”Tidak meratanya akses layanan kesehatan menjadi tantangan manajemen diabetes melitus tipe 1 pada anak. Itu semakin berat dengan masalah pembiayaan serta ketersediaan obat. Sementara jumlah anak dengan DM tipe 1 terus meningkat,” ungkapnya.
Data IDAI menyebutkan, prevalensi anak dengan diabetes tipe 1 di Indonesia meningkat tujuh kali lipat selama 10 tahun. Pada tahun 2000 tercatat prevalensi DM tipe 1 sebesar 0,004 per 100 juta anak dan melonjak menjadi 0,028 per 100 juta anak pada 2010.
Pada 2021, prevalensinya naik menjadi 1,5 per 100.000 juta anak usia kurang dari 18 tahun atau naik hingga 54 kali lipat. Prevalensi diabetes tipe 1 pada anak-anak ini diprediksi lebih tinggi karena banyak kasus tidak terdiagnosis dan salah diagnosis.
Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena kerusakan sel beta pankreas oleh autoimun sehingga produksi insulin berkurang atau bahkan tidak bisa diproduksi sama sekali. Kondisi ini menyebabkan anak dengan DM tipe 1 membutuhkan asupan insulin dari luar tubuh.
DM tipe ini pula yang paling banyak ditemui pada anak. Berbeda dengan DM tipe 2, DM tipe 1 jarang ditemukan pada anak dengan obesitas. Biasanya diabetes melitus tipe 1 juga terjadi pada anak usia lebih dari 6-12 bulan, sementara pada DM tipe 2 jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun karena lebih disebabkan gaya hidup.
Faizi menambahkan, berbagai pelatihan perlu lebih banyak diberikan pada tenaga kesehatan, keluarga, edukator DM, dan kader kesehatan masyarakat. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan diabetes melitus. Jika kesadaran meningkat, deteksi dan penanganan diharapkan bisa lebih cepat diberikan.
Selain itu, dukungan pembiayaan pun perlu ditingkatkan. Pembiayaan yang ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yakni insulin bulanan serta serum glukosa pada darah dan tes HbA1C, sedangkan strip untuk pengukur glukosa dan tes C-peptide belum ditanggung.
Pandemi Covid-19
Secara terpisah, anggota UKK Endokrinologi IDAI yang juga staf medik divisi Endokrinologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Ghaisani Fadiana, menyampaikan, pandemi Covid-19 memperburuk penanganan diabetes pada anak. Layanan diabetes terganggu, termasuk pemberian insulin, ketersediaan alat pemeriksaan gula darah, edukasi, serta dukungan psikososial.
Publikasi yang diterbitkan di Frontiers in Endocrinology menunjukkan ada berbagai tantangan penanganan diabetes pada anak selama masa pandemi. Dari survei yang dilakukan di 131 pusat endokrin anak di 51 negara, 45 persen responden yang terdiri dari dokter spesialis anak dan endokrin anak menyatakan ada keterlambatan didiagnosis DM tipe 1 pada anak. Selain itu, 44 persen responden mengungkapkan ada peningkatan kasus KAD baru.
Sementara di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Divisi Endokrinologi FKUI-RSCM menunjukkan 45 persen anak mengalami kekurangan insulin. Sebanyak 44 persen anak juga ditemukan mengalami penundaan jadwal kontrol karena pandemi.
”Teknologi bisa dimanfaatkan untuk membantu menjembatani kesenjangan dalam layanan diabetes pada anak. Inovasi berupa telemedicine dan telementoring mulai berkembang sehingga perlu dimanfaatkan secara optimal untuk membantu anak dan remaja mengelola diabetesnya,” tutur Ghaisani.