Peringatan Dini Kunci Hadapi Bencana Terkait Cuaca
Selama September 2021 terdapat 157 kejadian bencana di seluruh Indonesia. Sebanyak 87 persen di antaranya bencana hidrometeorologis basah, seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, dan gelombang pasang.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geosifika secara rutin telah mengeluarkan peringatan dini bencana hidrometerologis. Namun, deretan bencana terus menelan korban jiwa dan kerugian material yang menunjukkan peringatan dini belum efektif mengurangi risiko bencana.
”BMKG memiliki dua produk terkait cuaca, yaitu memberikan informasi cuaca yang sifatnya potensi berupa perkiraan cuaca dan menyampaikan peringatan dini bencana. Untuk perkiraan cuaca dikeluarkan secara rutin dan berkala. Sedangkan peringatan dini cuaca ekstrem kapan pun dikeluarkan ketika ada potensi hujan lebat atau angin kencang,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab, di Jakarta, Sabtu (6/11/2021).
Prakiraan cuaca dikeluarkan untuk jangka panjang dalam skala satu tahun dan musiman serta jangka pendek dalam skala harian hingga jam. ”Setiap tiga jam kami mengeluarkan prakiraan cuaca di seluruh Indonesia hingga tingkatan kecamatan. Jadi, setiap tiga jam kami mengeluarkan 7.500 prakiraan cuaca (sesuai jumlah kecamatan) untuk sampai tujuh hari ke depan,” katanya.
Prakiraan cuaca ini dibuat secara otomatis berbasis pemodelan komputer didukung data observasi. Namun, keputusan akhir ada di petugas yang berjaga. ”Target kami, tahun 2023 prakiraan cuaca ini sudah akan ada hingga level kelurahan. Jadi, ada 85.000 prakiraan cuaca untuk seluruh kelurahan di Indonesia yang harus dikeluarkan setiap tiga jam,” katanya.
Fachri mengatakan, prakiraan cuaca yang dimutakhirkan setiap tiga jam ini biasanya didistribusikan setiap kantor BMKG di provinsi dan diharapkan jadi panduan bagi daerah. ”Misalnya, sebelum hujan lebat yang memicu banjir di Batu dan Malang beberapa hari lalu, itu pasti sudah ada prakiraan cuaca dan peringatan dini,” katanya.
Untuk akurasi prakiraan cuaca ini telah dilakukan verifikasi di setiap provinsi. Prakiraan cuaca harian skala 1-3 hari ke depan akurasinya 80-88 persen. Peringatan dini yang skalanya jam, akurasinya 90-95 persen.
Menurut Fachri, akurasi prakiraan cuaca di Indonesia, terutama dalam skala harian, belum bisa di atas 90 persen, di antaranya karena kompleksitas wilayah geografis. ”Untuk daerah tropis dan kepulauan memang lebih kompleks dan lebih dinamis dibandingkan dengan daratan di lintang menengah. Selain itu, Indonesia juga banyak pegunungan sehingga parameter yang harus dianalisis semakin banyak, akibatnya tingkat ketidakpastiannya semakin tinggi,” katanya.
Peneliti iklim BMKG, Siswanto, mengatakan, dari skala waktu, peringatan dini cuaca BMKG sudah lumayan rapat. Namun, untuk skala spasial diakui masih belum detail karena pergerakan atmosfer di wilayah tropis yang bisa sangat dinamis. ”Dulu pernah kami peringatkan hujan ekstrem di Bandung, tapi yang terjadi di Garut. Walaupun saat ini ada kemajuan, untuk spasial memang masih perlu peningkatan,” katanya.
Selain tantangan struktural ini, tantangan lain berupa non-struktural, yaitu respons masyarakat, termasuk pemerintah daerah yang belum sepenuhnya menggunakan produk peringatan dini cuaca ini. ”Dari peringatan dini cuaca BMKG ini sebenarnya bisa dimanfaatkan menjadi lebih operasional untuk peringatan dini banjir, misalnya J-FEWS (Jakarta-Flood Early Warning System) yang dioperasikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dulu kami sempat terlibat di awal,” katanya.
Data J-FEWS yang rutin diperbarui itu didapatkan dengan menggabungkan data observasi curah hujan muka air dan prediksi cuaca BMKG sehingga bisa diproyeksikan potensi banjir di Jakarta. ”Data J-FEWS ini cukup baik karena bisa melihat potensi genangan airnya hingga proyeksi tiga hari ke depan. Proyek ini didukung banyak lembaga, termasuk juga pemodelan banjir dari Deltares, Belanda. Namun, saya khawatir data ini belum dipakai pemerintah daerah untuk peringatan dini banjir, apalagi oleh masyarakat,” ujarnya.
Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Basuki mengatakan, lembaganya memang belum banyak memakai J-FEWS. ”Kami lebih banyak mengandalkan informasi langsung dari BMKG yang selalu memberikan update adanya potensi curah hujan ekstrem. Selain itu, kami juga melakukan pemantauan dari pintu-pintu air. Pemodelan banjir J-FEWS belum jadi dasar pengambilan keputusan kami,” katanya.
Frekuensi bencana meningkat
Mengacu laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), badan cuaca di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, sistem peringatan dini jadi kunci menurunkan risiko korban jiwa akibat bencana hidrometerologis yang frekuensinya terus meningkat. Laporan WMO awal September 2021, pada 1970-an, dunia mengalami rata-rata 711 bencana terkait cuaca per tahun. Namun, periode 2000-2009 meningkat menjadi 3.536 per tahun atau hampir 10 kali per hari. Jumlah rata-rata bencana tahunan turun sedikit pada 2010-an menjadi 3.165.
Meski demikian, jika dilihat jumlah koban jiwa cenderung menurun. Pada 1970-an dan 1980-an, bencana terkait cuaca membunuh sekitar 170 orang per hari di seluruh dunia. Tahun 2010, turun menjadi sekitar 40 orang per hari.
Laporan ini juga menyebutkan, sebagian besar kematian dan kerusakan selama 50 tahun bencana cuaca berasal dari badai, banjir, dan kekeringan. Sebanyak 90 persen korban atau lebih dari 2 juta kematian terjadi di negara berkembang, sedangkan hampir 60 persen kerusakan ekonomi terjadi di negara-negara kaya.
Pada 1970-an, bencana terkait cuaca menelan biaya sekitar 175 juta dollar AS per tahun secara global, jika disesuaikan dengan nilai dollar pada 2019. Nilai kerugian itu meningkat menjadi 1,38 miliar dollar AS per tahun pada tahun 2010-an.
”Sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan cuaca menyebabkan jumlah korban berkurang sekalipun frekuensi bencana meningkat. Indonesia harus memperkuat sistem peringatan dini karena tren bencana akan meningkat. Tetapi, paling penting, masyarakat dan pemerintah daerah harus menggunakannya sebagai acuan tindakan,” kata Siswanto.
Peningkatan bencana hidrometeorologis telah terjadi di Indonesia. Data Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama September 2021 terdapat 157 kejadian bencana di seluruh Indonesia. Sebanyak 87 persen di antaranya bencana hidrometeorologis basah, seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, dan gelombang pasang. Sisanya berupa kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan.
Dari sejumlah kejadian ini terdapat 11 orang meninggal, 20 orang luka-luka, 5 orang hilang, dan 245.839 pengungsi. Sebanyak 82 persen korban jiwa disebabkan banjir. Selain korban jiwa, 736 rumah rusak yang terbagi menjadi 155 rumah rusak berat, 70 rumah rusak sedang, dan 511 rumah rusak ringan. Selain itu, kerusakan juga menimpa 9 fasilitas pendidikan, 6 fasilitas peribadatan, dan 14 jembatan.
Memasuki Oktober 2021, frekuensi bencana meningkat dengan 228 kejadian. Bencana hidrometeorologis mendominasi sebanyak 98,7 persen dan sisanya 1,3 persen bencana geologis. Bencana hidrometeorologis yang dominan adalah banjir, angin kencang, serta tanah longsor dan sisanya kejadian hidrometeorologis kering, seperti kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan.
Akibat kejadian bencana ini, 26 jiwa melayang, 130 orang luka-luka, dan 413.224 jiwa mengungsi. Sebanyak 62 persen korban meninggal disebabkan tanah longsor dan 65 persen korban luka-luka diakibatkan bencana gempa bumi.
Selain korban jiwa, ada kerusakan rumah dan beberapa fasilitas umum. Sebanyak 4.223 rumah rusak dengan klasifikasi 892 rumah rusak berat, 550 rumah rusak sedang, dan 2.781 rumah rusak ringan. Selain itu, untuk kerusakan fasilitas umum di antaranya 52 unit fasilitas pendidikan, 557 unit fasilitas peribadatan, 1 unit fasilitas Kesehatan, 5 unit fasilitas perkantoran, dan 16 unit jembatan.
Memasuki November 2021, frekuensi bencana terlihat semakin meningkat. Banjir bandang melanda sejumlah daerah, dengan yang terbaru terjadi di Kota Batu dan Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (4/11/2021).