DPR Desak Pemerintah Segera Atasi Ancaman Perubahan Iklim
Akibat perubahan iklim, bencana menghantui Indonesia. Maka, solusi atas perubahan iklim harus segera ditempuh oleh pemerintah. DPR menghendaki masa satu tahun mendatang, pemerintah perlu mewujudkannya secara cepat.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
GLASGOW, KOMPAS — DPR mendesak pemerintah untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Dukungan fiskal dari pemerintah sangat penting untuk mewujudkan solusi yang dibutuhkan.
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, di Paviliun Indonesia, Scottish Event Campus, Glasgow, Inggris Raya, Senin (8/11/2021), mengatakan, peran pemerintah krusial dalam mengatasi ancaman perubahan iklim. Salah satunya melalui dukungan fiskal.
”Akibat perubahan iklim, kegagalan panen menghantui negara kita. Maka, solusi perubahan iklim harus hadir,” ujarnya saat berbicara dalam diskusi di Paviliun Indonesia.
Di Scotish Event Campus, hajatan Konferensi Perubahan Iklim atau COP 26 sedang berlangsung. Delegasi dari berbagai negara datang guna bernegosiasi mengenai langkah-langkah untuk mencegah perubahan iklim semakin parah.
Selain berupaya mengurangi deforestasi, upaya yang ditempuh para delegasi ialah merumuskan langkah-langkah menekan emisi karbon dioksida serta gas rumah kaca lainnya. Dimulai pada 31 Oktober 2021, COP 26 berakhir pada 12 November mendatang.
Adopsi teknologi
Menurut Muhaimin, selain dukungan fiskal, hal yang diperlukan ialah adopsi teknologi. ”Setahun ke depan, pemerintah harus menjalankan langkah-langkah secara cepat. Fiskal penting guna melakukan adopsi teknologi,” ungkapnya.
Muhaimin mengingatkan, hendaknya upaya mengatasi ancaman perubahan iklim menggerakkan desa-desa dalam mewujudkan ekonomi hijau. Sektor swasta juga mendapat catatan dari Ketua DPR. ”Sektor swasta harus menjadi pelaku penting. Caranya, adopsi teknologi baru. Lakukan efisiensi energi, serta menambah produk hijau guna memajukan ekonomi sirkular,” tutur dia.
Dalam diskusi itu, Deputy Director of Sustainability & Stakeholders Engagement April Group Dian Novarina mengatakan, April Group sejak tahun 2013 menjalankan program Restorasi Ekosistem Riau (RER). Lewat program ini, rawa gambut seluas lebih kurang 150.000 hektar direstorasi.
April, menurut dia, berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang ditandai dengan merestorasi/mengonservasi satu hektar lahan untuk setiap satu hektar lahan yang dikelola demi kepentingan produksi. RER meliputi wilayah Tanjung Kampar dan Pulau Padang di Riau, provinsi tempat basis produksi Grup April berada.
Setahun ke depan, pemerintah harus menjalankan langkah-langkah secara cepat.
RER juga melakukan konservasi keragaman hayati. Survei terhadap spesies-spesies yang hidup di wilayah restorasi dijalankan. Total ada 823 spesies terdata, yang antara lain meliputi 192 spesies tumbuhan serta 308 spesies burung.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia Dannif Danusaputro menjelaskan, perusahaan yang dipimpinnya fokus pada pengembangan bisnis energi baru terbarukan. Pemanfaatan energi panas bumi merupakan salah satu bidang yang dikembangkan. Potensi panas bumi di Indonesia sangat besar, tetapi pemanfaatannya masih sedikit.
Indonesia pada 2015 di Paris menargetkan untuk memangkas emisi karbon 29 persen pada 2030 dengan mengandalkan upaya sendiri, atau 41 persen dengan bantuan internasional. Indonesia menargetkan net zero carbon emission pada 2060, dengan bersiap untuk menghentikan pembangunan pembangkit batubara pada 2028. Indonesia juga merupakan satu dari 46 negara yang menandatangani kepsekatan menghentikan pembangkit batubara di seluruh dunia pada 2040 serta di negara maju pada 2030.
Beberapa hari sebelumnya, di Glasgow, Mari Elka Pangestu, Managing Director of Development Policy and Partnerships World Bank, mengatakan, dana 1 triliun dollar AS per tahun dibutuhkan untuk mencapai target mengakhiri penggunaan batubara sebagai energi pembangkit listrik pada 2040 di seluruh dunia.
”Ada 2.173 gigawatt pembangkit batubara yang harus exit pada 2040. Artinya, sekitar 100 gigawatt per tahun atau satu pembangkit batubara harus ditutup per hari,” ujarnya saat berkunjung ke Paviliun Indonesia.
Menurut mantan Menteri Perdagangan serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu, Bank Dunia atau World Bank ingin negara berkembang juga bisa melakukan transisi menghadapi krisis iklim. Namun, pada saat yang sama, negara-negara berkembang tetap mampu mencapai target pembangunan mereka.
Dua hal tersebut bisa dicapai lewat pembiayaan dan teknologi. ”Jadi, bicara transisi energi, kalau harus keluar dari batubara, ada biayanya,” ujarnya.