Obesitas, Pangkal dari Segala Penyakit
Obesitas bisa menjadi pintu masuk dari berbagai penyakit tidak menular, seperti hipertensi, diabetes, jantung, gagal ginjal, dan stroke. Pembatasan gula, garam, dan lemak serta aktivitas fisik rutin jadi pilihan sehat.
Mencintai tubuh sendiri merupakan hal yang sangat baik. Namun, sebaiknya, konsep tersebut tidak dijadikan pembenaran untuk menerima kondisi tubuh ketika mengalami obesitas.
Mencintai tubuh seharusnya diartikan dengan memelihara dan mengupayakan yang terbaik untuk tubuh. Ketika kita mengalami obesitas, tubuh sebenarnya tidak sedang dalam keadaan baik. Berbagai risiko penyakit mengintai. Hal itu bisa saja terjadi dalam waktu dekat ataupun di masa depan.
Ironisnya, sebagian besar orang sebenarnya mungkin tahu bagaimana cara untuk mencegah dan mengatasi obesitas yang dialami. Ada tiga faktor utama yang paling menentukan, yakni gula, garam, dan lemak.
Tiga hal tersebut ketika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan bisa memicu terjadinya obesitas. Masalahnya, banyak masyarakat yang secara sadar ataupun tidak sadar telah mengonsumsi gula, garam, dan lemak dalam kadar tinggi untuk asupan hariannya.
Sebagai contoh, pagi hari mengonsumsi teh hangat dengan dua sendok gula bersama dengan nasi uduk lengkap dengan gorengan. Kemudian, sekitar pukul 10.00 membeli es kopi susu. Baru jam satu siang, makan dengan makanan cepat saji, seperti nasi dengan ayam goreng tepung dan telur yang ditambah dengan garam tambahan.
Baca juga : Obesitas Perlu Ditangani sebagai Penyakit
Setelah pukul 16.00, kembali mengonsumsi bubble tea atau sekadar makaroni berbumbu. Untuk makan malam, jika tidak mengonsumsi nasi goreng, mi instan terkadang menjadi pilihan. Itu belum termasuk konsumsi camilan ringan dalam kemasan.
Dengan menu harian seperti itu, asupan gula, garam, dan lemak harian sudah sangat tinggi. Untuk kadar gula, misalnya gula pada satu gelas kopi kekinian ditambah teh manis dan bubble tea mencapai 73 gram. Sementara kandungan lemak pada mi goreng instan, dada ayam goreng resto cepat saji, dan nasi uduk mencapai sekitar 53 gram. Jumlah ini belum termasuk makanan tambahan lain.
Padahal, jika merujuk pada batasan yang dianjurkan, dalam sehari konsumsi gula harus dibatasi maksimal empat sendok makan atau 50 gram, garam satu sendok teh atau 5 gram, serta lemak lima sendok makan atau 67 gram per orang per hari.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Elvieda Sariwati, di Jakarta, Kamis (4/11/2021), mengatakan, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menerapkan pola makan atau diet yang sehat. Jumlahnya pun justru meningkat.
Dari Data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi masyarakat yang menjalankan diet tidak sehat 93,5 persen, meningkat menjadi 95,5 persen pada 2018. Sementara itu, masyarakat yang mengonsumsi gula dalam jumlah yang sesuai batas hanya 4,8 persen. Adapun jumlah masyarakat yang mengonsumsi garam dalam batasan ideal 52,7 persen dan lemak 26,5 persen.
Seseorang dengan obesitas harus segera mengubah pola makan dan aktivitas fisik yang dijalani.
”Tingginya konsumsi gula, garam, dan lemak sangat berkaitan dengan tingginya kasus obesitas di Indonesia. Tidak hanya pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak,” kata Elvieda.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, satu dari tiga penduduk dewasa atau 35,4 persen penduduk di Indonesia menderita obesitas. Pada 2007, angkanya hanya 19,1 persen. Pada anak-anak tercatat satu dari lima menderita obesitas. Jika tidak ada intervensi, jumlah anak yang mengalami obesitas bisa meningkat 60 persen dalam 10 tahun mendatang.
Dokter spesialis gizi klinis Marya Haryono menyampaikan, obesitas terjadi karena adanya penumpukan lemak berlebihan di dalam tubuh. Obesitas tidak hanya disebabkan konsumsi gula, garam, dan lemak yang tinggi, tetapi juga kurangnya konsumsi sayur dan buah serta aktivitas fisik.
Seseorang dapat dikatakan mengalami obesitas apabila indeks massa tubuhnya lebih dari 27 kilogram per meter persegi. Pada obesitas sentral yang biasanya ditandai dengan kondisi perut yang buncit bisa diukur dari lingkar perut. Laki-laki yang mengalami obesitas sentral akan memiliki lingkar perut lebih dari 90 sentimeter, sedangkan perempuan lebih dari 80 sentimeter.
Sumber penyakit
Marya mengatakan, kondisi obesitas yang dialami seseorang tidak boleh dibiarkan. Obesitas menjadi awal dari berbagai macam penyakit, seperti hipertensi dan diabetes yang bisa berujung pada gangguan jantung, stroke, gagal ginjal, dan kanker.
Berbagai penyakit yang termasuk dalam penyakit tidak menular tersebut sudah menjadi beban berat bagi biaya kesehatan di Indonesia. Pada program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, total biaya untuk penyakit katastropik, seperti jantung, stroke, kanker, dan gagal ginjal, mencapai Rp 12,7 triliun pada Januari-September 2020.
Penyakit tidak menular ini juga menjadi penyumbang kematian terbesar. Setidaknya ada 41 juta orang di seluruh dunia yang meninggal setiap tahun karena penyakit tidak menular. Kematian dini pun tidak terelakan. Situasi ini semakin berat dengan adanya pandemi Covid-19. Penyakit tidak menular menjadi faktor risiko dari perburukan kondisi pasien yang tertular Covid-19.
Baca juga : Obesitas Tingkatkan Risiko Kematian akibat Covid-19 hingga 48 Persen
Karena itu, Marya mengatakan, penanganan sejak dini harus dilakukan, termasuk dalam mengelola obesitas. Seseorang dengan obesitas harus segera mengubah pola makan dan aktivitas fisik yang dijalani.
”Mengubah pola makan ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasti butuh proses. Namun, hal itu harus dimulai saat ini jangan terus ditunda,” ujarnya.
Bagi masyarakat yang belum mengalami obesitas, upaya pencegahan perlu diperhatikan. Selain mengatur konsumsi gula, garam, dan lemak, kebiasan untuk rutin melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit dalam sehari juga sangat penting. Kebiasaan ini sebaiknya sudah mulai dibangun sejak dini sehingga kesadaran dan pengetahuan orangtua perlu dibangun secara optimal.
Selain itu, Koordinator Standardisasi Pangan Olahan Keperluan Gizi Khusus Badan POM Yusra Egayanti menambahkan, pengetahuan masyarakat untuk memilih jenis pangan yang hendak dikonsumsi juga harus terus ditingkatkan. Banyak masyarakat yang belum paham membaca tabel kandungan gizi yang tertera dalam makanan kemasan. Padahal, tabel ini bisa membantu mengetahui kandungan gula, garam, dan lemak yang ada di dalam makanan tersebut.
Untuk membantu masyarakat, saat ini juga sudah disematkan logo pilihan lebih sehat di kemasan makanan. Makanan atau minuman dengan logo ini setidaknya memiliki kadar gula kurang dari 6 gram per 100 mililiter, lemak kurang dari 20 gram per 100 gram, dan garam 900 miligram per 100 gram.
Baca juga : Waspadai Obesitas Selama Kerja dari Rumah
”Logo pilihan lebih sehat diharapkan dapat memudahkan konsumen dalam memilih pangan olahan yang didasarkan pada kandungan gizinya,” kata Yusra.