Rehabilitasi 1,8 Juta Hektar Hutan dan Lahan untuk Capai Penyerapan Bersih 2030
Rehabilitasi hutan dan lahan menjadi salah satu aspek penting dalam mengatasi perubahan iklim. Saat ini, Indonesia masih perlu merehabilitasi hutan dan lahan seluas 1,8 juta hektar untuk mencapai net sink 2030.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/ NIKSON SINAGA
Ilustrasi rehabilitasi hutan. Sudaryono, petani, menebang tanaman nonkehutanan, seperti sawit, di zona rehabilitasi Taman Nasional Gunung Leuser di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Kamis (6/9/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Upaya rehabilitasi hutan dan lahan menjadi upaya penting dalam mengatasi perubahan iklim dan mencapai penyerapan karbon bersih (net sink) pada 2030. Sampai saat ini, Indonesia masih perlu merehabilitasi hutan dan lahan seluas 1,8 juta hektar untuk mencapai net sink 2030.
Direktur Konservasi Tanah dan Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Zainal Arifin menyatakan, ketahanan manusia sangat bergantung pada ketersediaan air, bahan makanan, dan energi. Namun, saat ini dunia tengah dihadapkan pada situasi perubahan iklim yang berpengaruh pada daya tampung dan daya dukung lingkungan.
”Keberadaan kita sangat dipengaruhi dari semua aktivitas untuk memperbaiki dan memulihkan lingkungan. Kegiatan memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan sumber daya hutan ataupun lahan merupakan bagian dari rehabilitasi,” ujarnya dalam diskusi di Paviliun Indonesia Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim (COP 26), di Jakarta, Rabu (3/11/2021).
Seluas 7 juta hektar lahan agroforestri hilang selama 20 tahun terakhir dan berubah menjadi permukiman, infrastruktur, hingga lahan pertanian semusim yang lebih intensif.
Rehabilitasi hutan dan lahan menjadi salah satu strategi jangka panjang (LTS) Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim dan mencapai net sink kehutanan dan tata guna lahan (FoLU) 2030. Menurut Zainal, hasil penghitungan menunjukkan Indonesia masih perlu merehabilitasi hutan dan lahan seluas 1,8 juta hektar untuk mencapai net sink 2030.
Luas area rehabilitasi tersebut diakui Zainal menjadi tantangan besar dan berat. Untuk memenuhi target rehabilitasi ini, Indonesia perlu bekerja sama dengan berbagai pihak. Ini agar tindakan yang dilakukan tidak hanya sebatas membangun sistem penganggaran.
KOMPAS/NINA SUSILO
Presiden Joko Widodo bersama Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua dari kanan), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kedua dari kiri), Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (kiri) serta masyarakat menanam vertiver atau akar wangi di Desa Pasirmadang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (3/2/2020).
Meski demikian, anggaran memang merupakan salah satu aspek penting dalam rehabilitasi hutan dan kawasan. Strategi yang telah dilakukan untuk mengatasi tantangan anggaran adalah dengan menyiapkannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta dana alokasi khusus.
Strategi lainnya, kata Zainal, adalah dengan meningkatkan keterlibatan sektor swasta atau pelaku industri dan komunitas seperti perhutanan sosial. Para pemegang konsesi telah diwajibkan untuk menanam dan merehabilitasi daerah aliran sungai (DAS).
Zainal menegaskan bahwa konsep rehabilitasi hutan dan lahan ialah membangun DAS yang tangguh dan memiliki fungsi ekologi maupun hidrologi yang baik. Namun, DAS tersebut tetap menyediakan ruang produktivitas bagi kegiatan sosial dan ekonomi. Beberapa produk yang dihasilkan dapat berupa biomassa, biodiesel, bioetanol, dan pengembangan minyak atsiri.
Citra satelit
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (PEPDAS) KLHK Saparis Soedarjanto menambahkan, citra satelit dapat digunakan untuk mengetahui kondisi dan topografi lahan kritis di Indonesia. Saat mengalokasikan anggaran, data kondisi dan topografi lahan kritis ini perlu diketahui untuk memetakan tantangan dan potensi kendala.
”Saat ini sudah banyak tersedia citra satelit dengan resolusi tinggi, sedang, maupun rendah yang bisa dipakai untuk melakukan pemonitoran dan perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan,” katanya.
Secara nasional, pemulihan dengan penanaman pohon melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan selama 2015-2020 telah menjangkau hingga 574.556 hektar. Angka ini termasuk dengan penanaman mangrove seluas 18.704 hektar. Sementara jumlah bibit yang ditanam lebih dari 658 juta batang.
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tahun 2021 ditargetkan penanaman seluas 48.875 hektar dan pemeliharaan seluas 215.950 hektar. Sebanyak 136 juta bibit disediakan dari 57 unit persemaian permanen, 973 unit kebun bibit rakyat, dan 135 unit kebun bibit desa.
Kontribusi agroforestri
Country Programme Coordinator Indonesia World Agroforestry (ICRAF) Sonya Dewi mengatakan, kegiatan agroforestri pada skala bentang lahan atau lanskap dapat berkontribusi pada net sink FoLU 2030. Sebab, kegiatan agroforestri juga dapat mengikat karbon sehingga menjadi salah satu faktor dalam menurunkan emisi.
”Dengan adanya pepohonan di daerah hulu pada akhirnya akan meningkatkan fungsi penyangga dari daerah aliran sungai. Ini tentunya akan mempunyai dampak yang positif terhadap adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat,” ucapnya.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Lahan pertanian dan perkebunan di Desa Kanaan, Dumoga Timur, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Jumat (10/9/2021), rusak akibat limbah pertambangan emas PT Bulawan Daya Lestari. Perusahaan yang menduduki lahan seluas 99.05 hektar itu beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) selama dua tahun terakhir.
Selain itu, agroforestri skala bentang lahan juga dapat membantu meningkatkan pengelolaan biodiversity (keanekaragaman hayati), mengurangi erosi, dan meningkatkan kesuburan tanah. Semua kelebihan tersebut membuat agroforestri memiliki jasa lingkungan yang cukup tinggi.
Meski memiliki banyak keuntungan dan potensi termasuk berkontribusi dalam pencapaian penyerapan bersih, selama ini peta sebaran maupun luasan agroforestri Indonesia belum banyak disusun. Menurut Sonya, catatan luasan agroforestri Indonesia pernah disusun pada 1990, yakni mencapai 19 juta hektar. Saat diperbarui kembali tahun 2010, luasan agroforestri justru mengalami penurunan menjadi 12 juta hektar.
”Seluas 7 juta hektar lahan agroforestri hilang selama 20 tahun terakhir dan berubah menjadi permukiman, infrastruktur, hingga lahan pertanian semusim yang lebih intensif. Tren penurunan ini yang mungkin perlu dilihat ke depan mengingat potensi agroforestri yang cukup tinggi,” tuturnya.