Dokter Spesialis Onkologi Tidak Merata, Jejaring Para Ahli Dioptimalkan
Teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperkuat jejaring komunitas onkologi yang tersebar di seluruh Indonesia. Harapannya, kesenjangan kualitas dan kuantitas dokter spesialis onkologi pun bisa diatasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya meningkatkan pelayanan kanker di Indonesia terkendala jumlah sumber daya manusia kesehatan yang kurang dan tidak merata. Pemanfaatan teknologi digital pun diharapkan bisa menjadi solusi untuk mengatasi hal tersebut, termasuk dengan memanfaatkan kekuatan jejaring ahli di tingkat nasional ataupun global.
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi onkologi di Indonesia sebanyak 139 orang yang tersebar di 17 provinsi. Selain itu, jumlah dokter spesialis bedah onkologi hanya 217 orang di 28 provinsi. Jumlah dokter spesialis onkologi radiasi lebih sedikit lagi, yaitu sebanyak 118 orang, dan dokter spesialis anak konsultan hematologi dan onkologi anak hanya 80 orang.
Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Aru W Sudoyo di Jakarta, Selasa (2/11/2021), menyampaikan, selain jumlah dokter spesialis onkologi yang minim, distribusinya juga tidak merata. Bahkan, disparitas dokter spesialis onkologi ini juga terjadi di Pulau Jawa karena sebagian besar dokter berada di kota besar.
”Ini jadi tantangan kita semua. Perbandingan jumlah dokter dengan pasien amat besar. Akibatnya, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien menjadi tidak maksimal,” ujarnya.
Data Global Burden of Cancer (Globocan) yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah kasus kanker sampai 2018 sebesar 18,1 juta kasus dengan jumlah kematian mencapai 9,6 juta kasus. Kematian akibat kanker diperkirakan terus meningkat hingga lebih dari 13,1 juta pada 2030.
Dari kasus kanker yang tercatat di RS Kanker Dharmais pada 2018, kanker payudara menempati jumlah kasus yang tertinggi, yakni 19,18 persen. Jumlah itu disusul dengan kasus kanker serviks sebesar 10,6 persen dan kanker paru sebesar 9,89 persen.
Aru mengatakan, tingginya beban kasus kanker di Indonesia, khususnya kanker payudara, membutuhkan upaya yang besar untuk mewujudkan pelayanan yang optimal bagi pasien. Di tengah keterbatasan sumber daya kesehatan, optimalisasi jejaring ahli onkologi pun sangat dibutuhkan.
”Komunikasi antarspesialis (onkologi), baik di skala lokal maupun internasional, penting untuk ditingkatkan. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan sekaligus meratakan kapasitas dokter dalam memberikan pelayanan kepada pasien,” ucapnya.
Perbandingan jumlah dokter dengan pasien amat besar. Akibatnya, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien menjadi tidak maksimal.
Terkait dengan optimalisasi jejaring para ahli onkologi, Head of Partnership Docquity Indonesia Karina Andini mengatakan, teknologi bisa dimanfaatkan untuk memperkuat hal tersebut. Melalui teknologi, para ahli onkologi yang tersebar di seluruh Indonesia bisa disatukan dalam suatu komunitas khusus yang dapat memfasilitasi pertukaran informasi dan pengalaman dalam layanan kanker.
Hal itu pula yang menjadi dasar pembentukan Breast Cancer Experts Network atau Jejaring Para Ahli Kanker Payudara. ”Lewat jejaring ini, para dokter bisa bertukar informasi dan tatalaksana terbaru dengan cara yang cepat dan mudah dalam pelayanan kanker payudara bagi pasien,” ucapnya.
Karina berharap, penguatan jejaring para ahli ini membuat penanganan pasien kanker payudara lebih baik sehingga angka kesintasan pasien bisa meningkat. Menurut dia, tingginya angka kematian akibat kanker di Indonesia disebabkan oleh keterlambatan deteksi. Sekitar 70 persen pasien kanker terdeteksi sudah pada stadium lanjut, yakni stadium 3B.
Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia Cabang Jakarta Raya Cosphiadi Irawan menambahkan, penguatan jejaring onkologi tersebut dapat mendukung pemerataan SDM layanan kanker yang mumpuni di seluruh Indonesia. Setidaknya, jejaring ini bisa menjembatani ketimpangan pemahaman dan penanganan kanker yang sudah berkembang pesat. Layanan ini juga diharapkan tidak hanya dimanfaatkan untuk layanan pengobatan, tetapi juga untuk pencegahan, deteksi dini, dan paliatif.
Subkoordinator Evaluasi RS Pendidikan Kementerian Kesehatan, Wiwi Ambarwati, menyampaikan, pemerintah telah berupaya mengatasi disparitas SDM kesehatan melalui pemanfaatan teknologi digital layanan kesehatan. Setidaknya ada tiga agenda utama yang akan dilakukan, yakni memperluas layanan telemedicine, penerapan aplikasi rekam medis elektronik, serta menyiapkan regulasi digitalisasi pelayanan kesehatan.
Selain itu, Kementerian Kesehatan juga telah membentuk Digital Transformation Office (DTO) yang bertugas mengembangkan produk kesehatan digital terintegrasi. Produk yang dihasilkan akan difokuskan pada pengguna dan pengambilan kebijakan berbasis data.
Wiwi mengatakan, program utama yang akan dijalankan oleh DTO meliputi pembentukan data kesehatan berbasis individu, penyederhanaan layanan kesehatan, serta penguatan ekosistem digital kesehatan.
”Kementerian Kesehatan pun sudah mengeluarkan aturan tentang strategi kesehatan nasional dan aturan mengenai layanan telemedicine antarfasilitas kesehatan,” ucapnya.