Program lumbung pangan di atas lahan gambut akan sangat berisiko menyebabkan kerusakan dan degradasi. Kegiatan pertanian harus menjaga gambut agar tetap basah untuk mencegah degradasi lahan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program lumbung pangan atau food estate yang dijalankan di atas lahan gambut akan sangat berisiko menyebabkan kerusakan dan degradasi apabila tidak dijalankan secara benar serta berkelanjutan. Kegiatan pertanian harus bisa menjaga gambut agar tetap basah sehingga tidak menyebabkan degradasi yang memicu berbagai kerugian.
Peneliti World Resources Institute (WRI) Indonesia, Dede Sulaeman, mengemukakan, ekosistem gambut merupakan hasil interaksi tiga komponen yang saling terkait, yakni tumbuhan, air, dan tanah gambut. Adanya keterkaitan ini membuat salah satu komponen dapat berubah apabila terdapat perubahan pula pada komponen lainnya.
”Interaksi di antara ketiga komponen ini yang sangat rumit menyebabkan gambut menjadi lahan yang sangat rentan terhadap gangguan khususnya apabila terdapat campur tangan manusia,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Kupas Tuntas Program Food Estate dari Perspektif Lingkungan, Sosial, dan Gizi”, Jumat (29/10/2021).
Lahan gambut memiliki karakteristik kandungan bahan organik yang tinggi dan mampu menahan air. Kapasitas menahan beban, tingkat keasaman, dan kesuburan lahan gambut juga rendah jika dibandingkan dengan lahan mineral.
Dalam jangka panjang, degradasi lahan gambut bahkan akan berefek terhadap sistem pangan dan tata guna lahan.
Menurut Dede, secara umum lahan gambut dikenal tidak ideal untuk budidaya pertanian pada kondisi alaminya. Agar lebih ramah terhadap aktivitas pertanian, perlu dibuat jaringan drainase yang sesuai. Akan tetapi, hal ini akan bertentangan dengan kondisi alami lahan gambut dan menyebabkan degradasi dalam jangka panjang.
Dede menjelaskan, degradasi akan membuat lahan gambut kehilangan kemampuan menyerap air, mudah hanyut, dan mudah terbakar. Ketika hal ini terjadi, lahan gambut akan menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga aspek ekonomi, kesehatan, pendidikan, hingga pariwisata.
Dalam jangka panjang, degradasi lahan gambut bahkan akan berefek terhadap sistem pangan dan tata guna lahan. Sebab, lahan gambut yang kritis tersebut umumnya sudah tidak produktif dan dibiarkan telantar hingga ditumbuhi semak belukar. Pada akhirnya, sumber mata pencaharian masyarakat khususnya di bidang pangan juga akan berkurang.
Meski demikian, lahan gambut, menurut Dede, tetap dapat digunakan untuk aktivitas pertanian bila prosesnya dilakukan secara berkelanjutan. Kegiatan pertanian harus dapat menjaga gambut agar tetap basah dengan cara mengatur tinggi muka air gambut sedekat mungkin ke permukaan. Oleh karena itu, paludikultur atau penanaman varietas yang dapat tumbuh di kondisi basah merupakan praktik terbaik pertanian di lahan gambut.
Selain itu, aktivitas pertanian hanya boleh dilakukan pada gambut dangkal atau kedalaman kurang dari satu meter dan menggunakan lahan yang sudah dimanfaatkan sebelumnya. Hal terpenting lainnya adalah melakukan kajian dan analisis mengenai dampak lingkungan yang lebih komprehensif terhadap kondisi lahan gambut dan kawasan sekitarnya secara spesifik dengan memperhatikan satu kesatuan lanskap hidrologis gambut.
Koordinator Padi Irigasi dan Rawa Kementerian Pertanian Rachmat mengatakan, mengembangkan food estate sebagai kawasan sentra produksi pangan merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Kajian lingkungan hidup strategis untuk menentukan seberapa luas lahan gambut untuk lumbung pangan di lokasi bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar di Kalimantan Tengah juga telah dilakukan.
Setelah analisis tumpang tindih (overlay) terhadap peta penggunaan lahan dilakukan, diperoleh rencana lokasi pengembangan lumbung pangan di Kalteng seluas 164.000 hektar. Rachmat menegaskan bahwa lokasi yang dipilih merupakan bukan lahan gambut melainkan aluvial. Lahan tersebut juga berada di daerah irigasi yang sebelumnya digunakan untuk pertanian.
Menurut Rachmat, proyek lumbung pangan dilakukan berbasis kawasan dan karakteristik wilayah agar ramah lingkungan. Lumbung pangan juga dilakukan melalui pemberdayaan petani dan kemitraan dengan swasta atau badan usaha milik negara (BUMN). Nantinya, setiap kegiatan akan menerapkan pertanian modern dan terpadu dengan dukungan inovasi teknologi.
”Kami akan membentuk korporasi petani dan membuat kluster untuk 1.000 hektar sehingga petani tidak hanya memproduksi padi, tetapi juga produk olahan lain bahkan multi komoditas. Jadi, intinya proyek food estate bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan dilakukan dari hulu hingga hilir,” ucapnya.