Dikembangkan Mesin Pintar untuk Diagnosis Covid-19 di Indonesia
Mesin untuk mengukur risiko Covid-19 berbasis perilaku atau CLM 2.0 merupakan pengembangan dari CLM 1.0 yang sebelumnya telah dikembangkan di Jakarta. Penggunaannya diharapkan bisa meringankan beban sistem kesehatan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan tes polimerase rantai ganda di Indonesia menuntut metode yang mampu mendeteksi Covid-19 secara cepat, akurat, dan terjangkau. Penyediaan mesin pintar sebagai metode deteksi Covid-19 dinilai dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi masalah ini.
Pengembangan mesin pintar (machine learning) untuk mendeteksi dini potensi Covid-19 berbasis perilaku responden saat ini tengah dikembangkan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bersama Nalagenetics. Untuk saat ini, metode ini akan diujikan untuk petugas kesehatan dan staf yang bertugas di fasilitas kesehatan.
”Mesin ini bisa meningkatkan kapasitas penapisan Covid-19 pada populasi berisiko tinggi seperti petugas kesehatan dan staf di lingkungan kesehatan, yang sering kali terhambat karena mahalnya biaya dan keterbatasan akses pengujian,” kata Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI, dalam diskusi daring, Kamis (28/10/2021).
Olivia mengatakan, mesin untuk mengukur risiko Covid-19 berbasis perilaku (Covid-19 likelihood meter/CLM) 2.0 ini merupakan pengembangan dari CLM 1.0 yang sebelumnya telah dikembangkan di Jakarta. ”Pada prinsipnya, ini seperti kalkulator untuk mengukur apakah kita berpotensi positif korona dan perlu untuk tes PCR,” katanya.
Mesin pintar untuk mendeteksi potensi terpapar Covid-19 ini sudah diterapkan di beberapa negara.
Mesin CLM 1.0, yang dikembangkan oleh alumni Harvard di Indonesia dan diketahui dibangun dari data 2.000 data penduduk Jakarta di awal pandemi, memiliki sensitivitas 78 persen. Sementara CLM 2.0 merupakan pengembangan dengan data baru yang lebih banyak dengan populasi yang spesifik, yaitu tenaga kesehatan.
”Ini berangkat dari asumsi bahwa populasi ini (tenaga kesehatan) memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat umum,” kata Olivia.
Dalam sistem CLM 2.0 ini, timnya akan membuat kalkulator yang dapat menghitung profil tenaga kesehatan dan staf di fasilitas kesehatan yang berpotensi terinfeksi Covid-19. Selain itu, diharapkan bisa mengetahui determinan risiko infeksi Covid-19 pada populasi tenaga kesehatan dan staf fasilitas. Akurasi sistem akan semakin tinggi dengan semakin banyaknya data yang masuk.
”Studi ini membutuhkan setidaknya 11.000 responden untuk mengisi kuisioner berisi 60 poin pertanyaan yang mencakup demografi, kecenderungan perilaku, status vaksinasi, gejala yang daialami, riwayat penyakit, dan tingkat paparan Covid-19,” paparnya.
Skor risiko ini akan dihitung berdasarkan pengisian data dengan kuisioner dan validitasnya kemudian akan diuji dan dibandingkan hasil tes PCR. ”Skema yang sedang dilakukan, untuk nakes di Jabodetabek dan Semarang diberi PCR gratis di beberapa lokasi tertentu. Sejauh ini data yang masuk sudah 4.200-an dan kami masih butuh kolaborasi para pihak untuk mendukung studi ini agar datanya semakin banyak,” paparnya.
Peneliti dari Nalagenetics, Shreyash Sonthalia, mengatakan, analisis sementara terhadap data dari 3.979 petugas kesehatan yang terlibat dalam studi ini menunjukkan,74 persen responden berjenis kelamin perempuan dan rata-rata berusia 30 tahun. Petugas kesehatan saat ini menjadi kelompok prioritas penerima vaksin Covid-19 di Indonesia dan 86 persen responden telah menerima setidaknya dosis pertama vaksin.
Sebagian besar responden (98 persen) juga telah dilatih dalam menggunakan alat perlindunagn diri (APD) dan teknik cuci tangan enam langkah (97 persen). Sekitar 18 persen responden mengisolasi diri setelah melakukan kontak dekat dengan pasien Covid-19 dan 30 persen terlibat dalam prosedur yang menghasilkan aerosol pada pasien Covid-19.
Selanjutnya, sekitar setengah dari kasus positif saat ini sedang melakukan isolasi mandiri. Selain itu, 73 persen dan 59 persen responden dilaporkan melakukan aktivitas di ruangan tertutup dan melakukan aktivitas di luar ruangan minimal 1-3 kali dalam sebulan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa 76 persen responden selalu menggunakan masker di luar rumah, 53 persen selalu menghindari berjabat tangan, dan 53 persen selalu menjaga jarak fisik. Di dalam dari segi penggunaan angkutan umum, 83 persen responden tidak pernah menggunakan angkutan umum massal.
Sekitar 80 persen kasus positif bergejala, dengan gejala yang tertinggi adalah batuk (48,52 persen), sakit kepala (44,43 persen), pilek (39,34 persen), menggigil (38,36 persen). Sebanyak 90 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak memiliki penyakit penyerta. Sementara penyakit paru-paru (3,11 persen), hipertensi (2,46 persen), dan kehamilan (2,30 persen) adalah komorbiditas yang paling banyak dilaporkan di antara mereka yang Covid-19 positif.
Di negara ain
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher mengatakan, mesin pintar untuk mendeteksi potensi terpapar Covid-19 ini sudah diterapkan di beberapa negara. Misalnya, di Israel dilakukan pengembangan mesin pintar berbasis gejala yang menemukan sensitivitas hingga 87,3 persen dan spesifisitas 71,98 persen.
Di Slovenia dikembangkan berbasis tes darah yang memiliki sensitivitas 81,9 persen dan spesifisitas 97,9 persen. Sementara di China dikembangkan berdasarkan CT scan yang memiliki sensitivitas hingga 87 persen dan spesifisitas 88 persen.
”Ini artinya, dengan mesin dan metode lebih sederhana ini kita bisa capai akurasi yang lumayan tinggi. Dengan cara ini, kami mencoba menerapkan mesin pintar ini untuk petugas kesehatan. Kita belum tahu, sampai kapan akan hidup bersama Covid-19 ini sehingga hal ini masih akan perlu ke depan,” katanya.
Metode ini, menurut Akmal, diharapkan bisa meringankan beban sistem kesehatan Indonesia yang disebabkan Covid-19, melalui penerapan metodologi penapisan yang cepat, mudah diakses, dan tersebar luas. Lebih jauh, diharapkan bisa memungkinkan dilakukan triase yang akurat dan alokasi pengujian PCR yang lebih sistematis untuk tenaga kesehatan.