Antisipasi Gelombang Ketiga Covid-19, Protokol Kesehatan Tetap yang Utama
Protokol kesehatan, upaya tes, lacak, isolasi, serta vaksinasi tetap menjadi upaya yang efektif untuk menekan laju penularan Covid-19. Tes PCR yang berlaku sebagai syarat bepergian agar diikuti karantina ketat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setiap terjadi peningkatan mobilitas penduduk, kasus penularan Covid-19 cenderung akan melonjak. Hal tersebut telah terbukti sepanjang masa pandemi ini. Berbagai antisipasi pun harus dilakukan menjelang libur akhir tahun, terutama dengan memperketat protokol kesehatan.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (26/10/2021), mengatakan, protokol kesehatan melalui 3M atau menjaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker, serta upaya 3T dengan tes, lacak, dan isolasi serta vaksinasi merupakan upaya yang paling efektif untuk menekan laju penularan Covid-19. Upaya ini pula yang mampu mencegah terjadi gelombang ketiga.
Terkait dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan tes PCR sebagai syarat perjalanan dengan pesawat udara, Ede berpendapat, langkah tersebut dinilai kurang tepat. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak disertai dengan syarat karantina yang ketat.
”Ketika masyarakat diwajibkan untuk tes PCR tetap tidak ada kewajiban untuk karantina setelah tes dilakukan, itu menjadi kurang efektif. Kita tidak pernah tahu risiko yang terjadi setelah tes PCR dilakukan,” katanya.
Ede menambahkan, pemeriksaan Covid-19 dengan tes PCR sebenarnya diperuntukan bagi pemeriksaan epidemiologi, bukan untuk penapisan (screening). Tes PCR dilakukan pada orang yang memiliki gejala Covid-19 atau kontak erat pada pasien Covid-19.
Menurut dia, upaya pencegahan penularan Covid-19 lebih efektif dilakukan dengan memperketat protokol kesehatan, memperkuat upaya 3T, serta memperluas cakupan vaksinasi. Sekalipun ada kewajiban untuk melakukan tes PCR, ketika ketiga upaya tersebut tidak dijalankan dengan maksimal, risiko penularan tetap tinggi.
”Jika memang tetap akan menggunakan syarat tes PCR, protokol kesehatan tetap harus diutamakan. Sementara terkait dengan harga yang berlaku saat ini, itu sudah menjadi ranah ekonomi,” ujar Ede.
Ketika masyarakat diwajibkan untuk tes PCR tetap tidak ada kewajiban untuk karantina setelah tes dilakukan, itu menjadi kurang efektif. Kita tidak pernah tahu risiko yang terjadi setelah tes PCR dilakukan.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan pers terkait dengan evaluasi program PC-PEN (Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) dan Optimalisasi Anggaran Program PEN 2021 menuturkan, pemerintah belum berencana untuk menurunkan harga tes PCR. Dengan harga tertinggi sebesar Rp 900.000, itu sudah masuk dalam 25 persen harga tes PCR termurah di semua bandara di seluruh dunia. Besaran tarif ini, menurut dia, juga tidak bisa dibandingkan dengan India dan China yang mampu memproduksi alat tersebut secara mandiri.
”Pemerintah tidak merencanakan pula adanya subsidi dari tes PCR. Kalau kita lihat harganya juga sudah diturunkan sebelumnya. Untuk alatnya juga saat ini masih kita impor,” ujarnya.
Ia mengatakan, pemerintah tetap berpedoman pada empat strategi utama dalam penanganan pandemi, yakni deteksi, terapeutik, perubahan perilaku, dan vaksinasi. Akselerasi vaksinasi Covid-19 terus dilakukan. Saat ini tercatat sudah ada 114,8 juta penduduk yang mendapatkan suntikan dosis pertama atau sekitar 55 persen dari total sasaran vaksinasi Covid-19. Sementara untuk suntikan dosis kedua mencapai 69,4 juta penduduk atau 33,3 persen dari target sasaran.
”Kita juga sudah mencapai angka tertinggi harian pada 21 Oktober lalu sebanyak 2,34 juta suntikan per hari. Ini sesuai dengan arahan Presiden. Ditargetkan pada akhir Desember sudah ada 80 persen orang yang mendapatkan dosis pertama dan 59 persen orang dari total target yang mendapatkan dosis kedua,” ucap Budi.
Vaksinasi dosis penguat
Budi mengatakan, pemberian vaksinasi dosis ketiga sebagai dosis penguat direncanakan akan diberikan mulai tahun 2022. Saat ini, kajian masih dilakukan oleh lembaga pendidikan dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI). Kajian tersebut khususnya untuk menentukan jenis vaksin yang akan diberikan sebagai dosis penguat.
Pemberian dosis penguat ini nantinya akan diutamakan bagi masyarakat yang berisiko tinggi, seperti tenaga kesehatan dan lansia, serta masyarakat yang mengalami defisiensi imunitas. Selain itu, pemerintah juga masih menunggu hasil kajian terkait dengan pemberian vaksinasi untuk usia anak di bawah 12 tahun.
”Diharapkan sampai dengan akhir tahun bisa keluar hasil kajian (penggunaan vaksin untuk usia di bawah 12 tahun) dari ketiga vaksin (Sinovac, Sinopharm, dan Pfizer). Dengan begitu, kita bisa mulai gunakan di awal tahun depan,” kata Budi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan untuk Vaksinasi Covid-19 Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemberian vaksinasi dosis ketiga masih diberikan terbatas untuk tenaga kesehatan. Per 26 Oktober 2021 tercatat ada 1,1 juta tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan dosis ketiga atau sekitar 75 persen dari semua tenaga kesehatan yang harus divaksinasi.
”WHO sendiri mengutamakan agar vaksinasi diperluas untuk dosis satu dan dosis dua dulu secara maksimal, baru kemudian memulai vaksinasi dosis ketiga,” ucapnya.