Lagi-lagi Planet Jupiter Tertabrak Asteroid
Setiap tahun diperkirakan ada 10-65 tabrakan Jupiter dengan asteroid berdiamater kecil, yaitu 5-20 meter atau lebih besar. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 4-25 tabrakan per tahun yang teramati dari Bumi.
Untuk kesekian kalinya, planet terbesar di Tata Surya, yaitu Jupiter, tertabrak asteroid. Besarnya gaya gravitasi sebagai konsekuensi dari besarnya massa Jupiter membuat obyek-obyek langit berukuran kecil, seperti asteroid atau komet, akan dengan mudah tertarik gravitasi Jupiter dan menghantam planet gas tersebut.
Citra pertama tabrakan asteroid dengan Jupiter pada Jumat (15/10/2021) itu diperoleh astronom amatir Jepang dengan akun Twitter @yotsuyubi21. Dia melihat kilatan cahaya terang pada atmosfer atas di belahan utara Jupiter. ”Sinar terang itu terlihat cukup lama,” ujarnya, seperti dikutip Space, Jumat (22/10/2021). Astronom amatir itu memotret tabrakan tersebut menggunakan teleskop Celestron C6.
Temuan tersebut kemudian dikonfirmasi oleh tim astronom dari Universitas Kyoto, Jepang, yang dipimpin Ko Arimatsu. Tim Arimatsu ini tergabung dalam proyek Survei Peristiwa yang Kebetulan Terjadi dengan Teleskop Terorganisasi (Organized Autotelescopes for Serendipitous Event Survey/OASES).
Dalam proyek OASES ini, tim melakukan pengamatan optik untuk mendeteksi dan menyelidiki peristiwa okultasi bintang oleh obyek Trans-Neptunus (TNO) alias tergerhanainya bintang-bintang oleh obyek-obyek Tata Surya yang terletak setelah Planet Neptunus, baik itu planet katai, asteroid, komet, maupun batuan lain. Peristiwa ini mampu mengidentifikasi peristiwa langka yang ditemukan dalam waktu singkat.
Setiap beberapa bulan sekali setidaknya ada satu asteroid dengan diameter sekitar 45 meter menabrak Jupiter.
Meski demikian, astronom belum bisa memastikan apakah ada puing-puing debu yang dihasilkan dari tabrakan tersebut. Demikian pula ukuran dari asteroid yang menabrak Jupiter tersebut serta dampak di atmosfer yang ditabrak asteroid itu juga belum diketahui pasti.
Tabrakan asteroid dengan Jupiter pada 15 Oktober 2021 itu hanya berselang satu bulan dengan tabrakan asteroid lain dengan Jupiter yang berhasil diabadikan astronom Brasil, José Luis Pereira, pada 13 September 2021.
Saat itu, Pareira, seperti dikutip Space, 15 September 2021, sedang mengamati oposisi Mars, Jupiter, dan Saturnus. Namun, saat baru mulai merekam citra Jupiter, dia menangkap cahaya terang di atmosfer atas Jupiter.
Semula, dia tidak mengira jika cahaya terang itu adalah akibat tertumbuknya Jupiter oleh asteroid. Kepastian cahaya terang itu merupakan tabrakan asteroid diperoleh setelah Pereira mengirimkan citra Jupiter yang diperolehnya ke Marc Delcroix dari Himpunan Astronomi Perancis (French Astronomical Society). Benturan asteroid dengan Jupiter itu memang terjadi pada 13 September 2021 pukul 22.39 waktu Greenwich, Inggris (GMT).
Sering terjadi
Tabrakan antara asteroid dan Jupiter adalah peristiwa yang tidak bisa terhindarkan. Sebagai planet terbesar di Tata Surya, Jupiter memiliki massa yang sangat besar. Massa besar itu juga membuat Jupiter memiliki gaya gravitasi yang sangat besar sehingga memengaruhi benda-benda kecil di sekitarnya, mulai dari asteroid, komet, hingga planet-planet lain.
Studi yang dipimpin R Hueso dari Spanyol dan rekan yang meneliti data berbagai tabrakan asteroid dengan Jupiter selama delapan tahun pada 2010-2017 dan dipublikasikan di jurnal Astronomy & Astrophysisc, September 2018, menemukan setiap beberapa bulan sekali setidaknya ada satu asteroid dengan diameter sekitar 45 meter menabrak Jupiter.
Lebih rinci lagi, setiap tahun diperkirakan ada 10-65 tabrakan Jupiter dengan asteroid berdiamater kecil, yaitu 5-20 meter atau lebih besar. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 4-25 tabrakan per tahun yang teramati dari Bumi.
Dari berbagai tabrakan benda langit dengan Jupiter, tabrakan komet Shoemaker-Levy 9 dengan Jupiter pada Juli 1994 adalah cerita tabrakan yang paling dramatis yang teramati hingga kini. Saat itu, seperti dikutip dari situs Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), komet terpecah menjadi 21 bagian dengan diameter sejumlah bagiannya hanya sekitar 1 kilometer.
Komet yang jatuh meluncur ke permukaan Jupiter dengan kecepatan 60 kilometer per detik itu meningkatkan suhu di atmosfer Jupiter hingga 30.000 derajat celsius. Tubrukan itu juga menyebabkan naiknya material atmosfer bawah Jupiter hingga setinggi 3.000 kilometer. Tumbukan itu juga menciptakan awan gelap di atmosfer Jupiter yang terlihat selama beberapa bulan.
Baca juga: Jupiter dan Saturnus Terlihat Menyatu, Bangkitkan Memori Bintang Natal
Banyaknya tabrakan yang terjadi di Jupiter tidak bisa dilepaskan dari besarnya ukuran Jupiter. Planet gas raksasa ini memiliki diamater 11 kali lebih panjang dari diameter Bumi dan massanya 318 kali lebih besar dari massa bumi. Massa Jupiter setara dengan 2,5 kali massa gabungan seluruh planet di Tata Surya selain Jupiter. Sedangkan satu volume Jupiter setara dengan 1.300 volume Bumi.
Namun, seperti dikutip dari Universe Today, 18 Juli 2016, kerapatan Bumi lebih besar 4 kali dari kerapatan Jupiter. Kondisi itu terjadi karena Bumi merupakan planet batuan dan Jupiter adalah planet gas.
Sementara itu, dibandingkan dengan Matahari, seperti dikutip dari The Nine Planets, Matahari 11 kali lebih lebar dari Jupiter. Satu volume Matahari bisa diisi sekitar 1.000 volume Jupiter. Ukuran Jupiter yang besar itu terjadi karena Jupiter diyakini sebagai planet pertama yang terbentuk di Tata Surya pada 1 juta tahun setelah terbentuknya Matahari atau pada 4,5 miliar tahun yang lalu. Umur Matahari saat ini diperkirakan mencapai 4,6 miliar tahun.
Sebagai planet pertama, maka dia bisa mengumpulkan debu dan gas lebih banyak sebagai materi pembentuknya. Besarnya ukuran Jupiter membuat sejumlah astronom menyebut Jupiter sebagai kembaran Matahari karena umumnya bintang-bintang ditemukan dalam formasi ganda atau kembar, tidak sendirian seperti Matahari.
Selain itu, elemen gas utama dalam Jupiter dan Matahari juga sama, yaitu hidrogen dan helium. Namun, seperti dikutip dari Scientific American, 21 Oktober 1999, massa Jupiter terlalu kecil untuk menimbulkan tekanan dan temperatur tinggi yang diperlukan guna membentuk reaksi fusi yang mengubah hidrogen menjadi helium. Reaksi fusi ini menjadi bahan bakar utama pembentukan bintang.
Massanya yang besar membuat Jupiter juga memiliki gaya gravitasi yang lebih besar. Gaya gravitasi di permukaan Jupiter 2,5 kali lebih besar dibanding gaya gravitasi di permukaan Bumi. Artinya, jika seseorang memiliki berat 100 kilogram di Bumi, maka di Jupiter beratnya akan menjadi 250 kilogram.
Gravitasi Jupiter yang sangat besar itu juga membuat planet ini memiliki bulan atau satelit alami terbanyak kedua di Tata Surya setelah Saturnus. NASA mencatat Jupiter memiliki 79 bulan, yang terdiri dari 53 bulan yang sudah memiliki nama dan 26 bulan lainnya belum memiliki nama resmi.
Jumlah bulan Jupiter itu hanya sedikit lebih kecil daripada Saturnus yang memiliki 82 bulan, yaitu 53 bulan sudah memiliki nama dan 29 bulan belum punya nama.
Potensi di Bumi
Jika tabrakan asteroid, komet, atau obyek kecil lain cukup sering terjadi di Jupiter, potensi serupa sebenarnya juga terjadi di Bumi. Seperti dikutip dari Live Science, 25 Oktober 2013, tubrukan asteroid di masa awal pembentukan Bumi pada 4,6 miliar tahun lalu membuat Bumi menjadi planet yang memiliki air.
Baca juga: Planet Seukuran Jupiter Mengelilingi Bintang Mati WD 1856
Tumbukan asteroid di lautan Bumi, seperti dikutip dari Sciencedaily, 8 Juli 2020, juga diyakini menjadi pemicu pembentukan senyawa molekul yang penting bagi pembentukan kehidupan, yaitu asam amino. Molekul yang ada dalam protein ini dianggap sebagai pemicu munculnya berbagai organisme hidup yang memicu kehidupan di Bumi dari dulu hingga sekarang.
Namun, tabrakan asteroid juga menjadi malapetaka. Musnahnya dinosaurus pada 66 juta tahun yang lalu juga gara-gara asteroid besar yang menabrak Bumi. Padahal, saat itu hewan raksasa ini telah menjadi penguasa Bumi selama 180 juta tahun.
Kini, saat lebih dari 7 miliar manusia tersebar di seluruh permukaan Bumi, tabrakan asteroid tetap menjadi ancaman. Peristiwa jatuhnya asteroid berdiamater 100 meter di Tunguska, Siberia, Rusia, pada 30 Juni 1908 yang menumbangkan 80 juta pohon di lahan seluas 2.000 meter persegi bisa jadi ingatan. Demikian pula jatuhnya meteorit berdiamater 30 meter di Chelyabinsk, Rusia, pada 15 Februari 2013 yang merusak 7.200 bangunan dan melukai lebih dari 1.500 orang. Semua itu menunjukkan ancaman tabrakan Bumi dengan asteroid itu nyata.
Meski potensi tabrakan Bumi dengan asteroid atau meteor ada, masyarakat tak perlu khawatir. Selain potensi tabrakannya kecil akibat banyaknya wilayah tidak berpenghuni di Bumi, sejumlah lembaga astronomi sudah memiliki sistem untuk memantau asteroid atau meteorit yang berpotensi mengancam Bumi. Sejumlah rencana kontingensi pun telah disiapkan, termasuk menggelar latihan global untuk menyiapkan diri saat peritistiwa yang tidak diinginkan itu benar-benar terjadi.