Pandemi Covid-19 telah meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Di tengah pembatasan sosial, layanan konseling daring menjadi jalan keluar bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
Kesehatan mental Resa Nur Azizah (19) sampai pada titik nadir ketika pandemi Covid-19 melanda. Beberapa kali, mahasiswi ini ingin mengakhiri hidupnya. Beruntung, dukungan dari keluarga hingga tenaga profesional turut menjaganya.
Ketidakstabilan emosi dirasakan Resa ketika neneknya pergi untuk selamanya saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. ”Orangtua sering di luar kota. Saya sama nenek. Waktu nenek meninggal, saya merasa kesepian,” kenangnya.
Pandemi Covid-19 semakin membuatnya kian dekat dengan kesunyian. Kadang ia berteriak sendiri. Resa pun meyakini, dirinya tidak baik-baik saja. Ia membutuhkan bantuan profesional, seperti psikolog dan psikiater.
Resa adalah salah seorang anak muda yang mengalami gangguan mental saat pandemi dan berkonsultasi dengan psikolog Herlina S Dhewantara di Cirebon, Jawa Barat.
Tingginya kasus kesehatan mental ketika pandemi, terutama saat puncak kasus beberapa bulan lalu lalu, membuat Herlina tidak hanya melayani pasien di rumah sakit. Ia juga bergabung dengan sukarelawan psikolog Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) memberikan layanan psikologis daring gratis.
Saking sibuknya, ibu dua anak itu tumbang juga terpapar Covid-19, Juli lalu. Di hari ke-10 isolasi mandiri, perempuan berusia 53 tahun ini masih melayani konseling daring.
Pandemi Covid-19 semakin membuatnya kian dekat dengan kesunyian. Kadang ia berteriak sendiri. Resa pun meyakini, dirinya tidak baik-baik saja. Ia membutuhkan bantuan profesional, seperti psikolog dan psikiater.
Hal serupa dilakukan psikolog lain di Cirebon, Rini S Minarso, yang mencurahkan waktu dan tenaganya untuk kesehatan mental warga di tengah pandemi. Selain bertugas di Puskesmas Plered, Puskesmas Beber, dan RSUD Arjawinangun, ia juga sukarela berbagi ilmu.
Juli lalu, misalnya, ia membuka layanan konsultasi gratis untuk jurnalis di Cirebon. ”Ini bentuk empati. Kalau ada yang bisa saya lakukan, mengapa tidak?” katanya.
Layanan konseling gratis bagi masyarakat juga disediakan tim konselor dari Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata, Semarang. Konseling dan terapi dilakukan secara daring ataupun luring di lokasi, termasuk dengan menggelar kegiatan kreatif bagi para pasien Covid-19.
Di Jakarta, Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia wilayah Jakarta pun turut membuka layanan konsultasi gratis, khususnya untuk warga DKI Jakarta.
Ketua IPK Indonesia wilayah Jakarta Anna Surti Ariani menyampaikan, pendaftar layanan ini mencapai 2.000 orang. Namun, karena keterbatasan sumber daya, kuota layanan dibatasi 200 orang selama Oktober ini. ”Ini menandakan kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan jiwa sebenarnya sangat besar,” katanya.
Tidak hanya tenaga kesehatan atau psikologi, tokoh agama pun turut menginisiasi layanan konsultasi gratis bagi mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Koordinator Kelompok Kerja Insani (KKI) orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) Nusa Tenggara Timur, Pastor Aven Saur SVD, misalnya, harus mendatangkan psikolog dan mengerahkan sejumlah anggotanya yang memiliki keterampilan pendampingan rohani untuk membantu orang yang membutuhkan terapi kejiwaan akibat pandemi Covid-19.
”Masyarakat yang butuh terapi oleh psikolog ini banyak, tetapi banyak yang diam saja. Mereka bisa terpantau langsung, tetapi ada pula yang sulit, kecuali mereka sendiri mengakui masalah yang sedang dialaminya,” kata Saur.
Sekretaris Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO) Kristiana Haryanti berharap warga yang merasa mengalami kecemasan atau stres mau menghubungi tenaga profesional. ”Misalnya, menelepon gerakan komunitas, termasuk organisasi profesi. Kantong-kantong ini bisa memberikan pelayanan bagi masyarakat. Sementara pemerintah membantu melalui berbagai kebijakan,” katanya.
Pendiri KALBU, platform daring untuk kesehatan mental masyarakat, Iman Hanggautomo, menyampaikan, platform untuk melakukan konsultasi psikologis secara daring di Indonesia sudah banyak tersedia. Layanan ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
”Kita harus menghilangkan stigma negatif tentang konsultasi psikologis, bahwa kesehatan mental bukanlah hal yang tabu. Oleh karena itu, edukasi pentingnya kesehatan mental juga harus ditingkatkan sejak dini. Misalnya, dengan menyisipkan pendidikan tersebut ke dalam pelajaran sekolah,” tutur Iman.
Menurut intelektual entrepreneur Denny JA, dampak pandemi, khususnya terkait kesehatan mental, tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah. Masyarakat juga harus turut berperan mengatasi permasalahan ini. Sebab, masyarakat di Indonesia memiliki solidaritas sosial dan sikap gotong royong yang tidak dimiliki negara lain. Inilah yang akan semakin menguatkan masyarakat dalam menghadapi pandemi. (IKI/TAN/KOR/DIT/MTK)