Badan POM Temukan Bahan Kimia Obat pada Obat Tradisional
Ditemukan kecenderungan baru adanya bahan kimia obat pada produk obat tradisional, produk suplemen kesehatan, dan kosmetik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan menemukan kecenderungan baru adanya bahan kimia obat pada produk obat tradisional, produk suplemen kesehatan, dan kosmetik. Pengawasan terus dilakukan disertai dengan peningkatan kesadaran masyarakat.
Berdasarkan hasil sampel dan pengujian yang dilakukan selama periode Juli 2020 hingga September 2021, BPOM menemukan 53 jenis produk obat tradisional dengan kandungan bahan kimia obat (BKO), satu jenis suplemen kesehatan mengandung BKO, serta 18 item produk kosmetik mengandung bahan dilarang ataupun bahan berbahaya.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM Reri Indriani di Jakarta, Rabu (13/10/2021), mengatakan, berdasarkan pengawasan selama masa pandemi Covid-19, bahan kimia obat yang dipakai dalam obat tradisional adalah efedrin dan pseudoefedrin.
”Obat tradisional yang mengandung efedrin dan pseudoefedrin berisiko dapat menimbulkan gangguan kesehatan, yaitu pusing, sakit kepala, mual, gugup, tremor, kehilangan nafsu makan, iritasi lambung, reaksi alergi, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan, dan kesulitan buang air kecil,” katanya.
Menurut Reri, selain berupa senyawa sintetis, efedrin dan pseudoefedrin juga merupakan bahan aktif dari tanaman Ephedra sinica atau Ma Huang. Bahan ini lazim ditemukan pada obat tradisional China, termasuk Lianhua Qingwen Capsules (LQC) tanpa izin edar.
Senyawa efedrin dan pseudoefedrin merupakan salah satu bahan dilarang dalam obat tradisional dan suplemen kesehatan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka serta Peraturan Badan POM Nomor 11 tahun 2020 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Suplemen Kesehatan.
Reri mengatakan, berdasarkan hasil kajian yang melibatkan para ahli dan beberapa asosiasi profesi kesehatan, produk obat tradisional yang mengandung efedrin dan pseudoefedrin tidak terbukti menahan laju keparahan, tidak menurunkan angka kematian, dan tidak mempercepat konversi tes usap menjadi negatif. ”Penggunaannya malah dapat membahayakan kesehatan, yaitu mempengaruhi sistem kardiovaskular, bahkan dapat menyebabkan kematian,” katanya.
Obat tradisional yang mengandung efedrin dan pseudoefedrin berisiko dapat menimbulkan gangguan kesehatan, yaitu pusing, sakit kepala, mual, gugup, tremor, kehilangan nafsu makan, iritasi lambung, reaksi alergi, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan, dan kesulitan buang air kecil.
Selain kedua jenis BKO tersebut, ditemukan juga BKO lain pada obat tradisional seperti temuan di tahun-tahun sebelumnya, antara lain sildenafil sitrat dan turunannya, tadalafil, deksametason, dan fenilbutazon. Selain itu, ditemukan pula kandungan allopurinol, prednison, parasetamol, asetosal, natrium diklofenak, furosemid, sibutramine HCl, siproheptadin HCl, dan tramadol.
Direktur Pengawasan Obat Tradisional Suplemen Kesehatan BPOM Irwan mengatakan, sejumlah upaya telah dilakukan untuk melindungi masyarakat dari produk obat tradisional yang mengandung bahan obat kimia. BPOM pun memastikan agar produk tersebut tidak lagi beredar di masyarakat.
BPOM memerintahkan produsen untuk menarik produk tersebut dari peredaran dan memusnahkannya. Pemerintah juga akan melakukan pembersihan sehingga produk yang berbahaya tersebut tidak ditemukan di sarana distribusi serta retail penjualan.
”Masyarakat diharapkan lebih waspada dan memeriksa produk yang akan dikonsumsi. Semua produk yang berbahaya ini tidak boleh dikonsumsi agar terhindar dari risiko buruk,” ucap Irwan.
Selain temuan bahan obat kimia di obat tradisional, BPOM juga menemukan bahan yang dilarang dan berbahaya pada produk kosmetik. Bahan dilarang dan bahan berbahaya yang paling banyak ditemukan di produk kosmetik adalah hidrokinon dan pewarna yang dilarang.
Reri mengatakan, penggunaan kosmetik yang mengandung hidrokinon dapat menimbulkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar, serta ochronosis atau kulit berwarna kehitaman. Sementara pewarna merah K3 dan merah K10 yang ditemukan pada produk kosmetik ini merupakan bahan yang berisiko menyebabkan kanker.
”BPOM kembali menegaskan agar pelaku usaha menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Masyarakat juga diimbau agar lebih waspada serta tidak menggunakan produk-produk yang tercantum dalam lampiran public warning,” katanya.