Masyarakat Belum Bijak Mengonsumsi dan Mengelola Pangan
Kehilangan dan sampah makan di Indonesia selama 2000-2019 berkisar 23-48 juta ton per tahun atau 115-184 kilogram per kapita per tahun. Perilaku masyarakat menjadi penyebab utama persoalan sampah makanan ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepertiga makanan yang diproduksi untuk manusia hilang atau terbuang saat proses panen hingga konsumsi. Perilaku masyarakat yang belum sepenuhnya bijak dalam mengonsumsi dan mengelola pangan menjadi salah satu penyebab utama banyaknya sampah makanan yang tertimbun di tempat pembuangan akhir.
Studi The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2017 menyatakan, Indonesia menjadi negara pembuang makanan terbanyak kedua di dunia dengan rata-rata 300 kilogram per orang per tahun. Sementara kajian lembaga lainnya pada tahun 2018, sebanyak 44 persen timbulan sampah di Indonesia merupakan sampah makanan.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam mengemukakan, studi dari EIU tersebut menjadi dasar Bappenas melakukan kajian serupa. Melalui kerja sama dengan berbagai mitra, pada tahun 2020 Bappenas melakukan kajian kehilangan dan pembuangan pangan (food loss and waste/FLW) di Indonesia selama 2000-2019.
Hasilnya, FLW Indonesia selama 20 tahun berkisar 23-48 juta ton per tahun atau 115-184 kilogram per kapita per tahun. Kerugian ekonomi akibat FLW ini juga setara dengan 4-5 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia, yakni Rp 212 triliun-Rp 551 triliun per tahun.
”Meski angka FLW tidak sebesar hasil kajian Economist Intelligence Unit, angka ini tetap menunjukkan ketidakefisienan dan sangat merugikan. Apabila ini bisa diatasi, tentu akan dapat mengurangi angka kemiskinan, kelaparan, ataupun stunting (tengkes),” ujar Medrilzam dalam diskusi media secara daring, di Jakarta, Selasa (12/10/2021).
Menurut Medrilzam, pada awal tahun 2000-an, persentase food loss lebih besar dibandingkan food waste atau limbah pangan. Namun, tahun 2010 ke atas terdapat pergeseran, yakni persentase limbah pangan lebih besar daripada food loss karena intervensi teknologi di mana proses produksi makanan di Indonesia semakin baik. Akan tetapi, hal ini tidak diiringi dengan perubahan perilaku mengingat persentase masyarakat membuang makanan masih tinggi.
Dari 11 jenis pangan yang diidentifikasi, sayur-sayuran menjadi pangan yang pengelolaannya paling tidak efisien. Sementara padi-padian merupakan jenis pangan yang menimbulkan kerugian ekonomi paling besar.
Kandungan energi yang hilang dari timbulan sampah dan ceceran pangan setara dengan porsi makanan 61 juta-125 juta orang atau 29-47 persen populasi Indonesia. Selain itu, timbulan sampah dan ceceran pangan mengeluarkan emisi total gas rumah kaca 1.702,9 megaton setara karbon dioksida.
”Dari survei lapangan yang dilakukan, komposisi sampah kita terbukti banyak sampah makanannya. Sampah makanan yang tertumpuk di tempat pembuangan akhir akan teurai dan menghasilkan gas metana dan ini lebih berbahaya dari karbon dioksida sehingga berimplikasi pada total emisi kita ke depan,” tuturnya.
Guna menangani masalah sampah makanan ini, pemerintah menerapkan sejumlah strategi kebijakan pengelolaan FLW. Strategi yang dilakukan ini, antara lain, perubahan perilaku, pembenahan penunjang sistem pangan, penguatan regulasi dan optimalisasi pendanaan, pemanfaatan FLW, serta pengembangan kajian dan pendataan FLW. Strategi ini akan diterapkan dalam jangka panjang hingga tahun 2045.
Kepala Tim Kajian FLW Waste4Change Anissa Ratna Putri mengatakan, dari hasil kajian di tingkat nasional, penyebab utama FLW di Indonesia adalah kurangnya implementasi praktik penanganan pangan yang baik, tidak optimalnya kualitas ruang penyimpanan, minimnya edukasi, kelebihan porsi, dan perilaku konsumen.
”Pola pikir masyarakat mengambil makanan dengan porsi banyak daripada kurang ini harus dievaluasi. Apabila kita memang tidak sanggup menghabiskan makanan, seharusnya tidak dipesan. Apabila ada sisa usahakan selalu dibawa pulang untuk dikonsumsi kembali,” katanya.
Level regional
Anissa mengatakan, Waste4Change bersama Bappenas dan lembaga lainnya berencana melakukan kajian kembali, tetapi pada level regional atau provinsi. Lokasi kajian akan berfokus pada provinsi yang sudah berkomitmen menerapkan pembangunan rendah karbon, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali.
”Saat ini kami sedang mengonfirmasi berapa banyak food loss and waste di tiga provinsi ini. Kami baru memulai melakukan pendataan sekunder seperti rata-rata komposisi sampah dari berbagai kota dan kabupaten di tiga provinsi tersebut,” katanya.
Dari pengumpulan data sekunder yang telah dilakukan, sebagian dari komposisi sampah di tiga provinsi tersebut merupakan sampah makanan. Komposisi sampah makanan di Jawa Barat tercatat 49,74 persen, Jawa Tengah 45,79 persen, dan Bali 27,71 persen. Data yang telah terkumpul ini kemudian akan dikonfirmasi dengan cara studi lapangan.