Pembangunan Berketahanan Iklim Hindarkan dari Kerugian Ekonomi
Pembangunan berketahanan iklim tidak hanya fokus pada isu adaptasi perubahan iklim, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi, sosial, dan ekologis. Strategi ini bisa menghindarkan dari sejumlah ancaman.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan berketahanan iklim tidak hanya fokus pada isu adaptasi perubahan iklim, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi, sosial, dan ekologis. Langkah ini pun bisa menghindarkan atau setidaknya mengerem kerugian ekonomi yang berpotensi ditimbulkan perubahan iklim.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam, Senin (11/10/2021), mengemukakan, intensitas kejadian bencana terus mengalami peningkatan setiap tahun.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat, dalam kurun waktu 1970-2019 terdapat 22.326 bencana yang mengakibatkan 4,6 juta kematian dan kerugian ekonomi mencapai 4,92 triliun dollar AS. Khusus di Asia, nilai kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi selama 2010-2019 mencapai 465 miliar dollar AS.
Sementara dari hasil studi Bappenas, Indonesia berpotensi mengalami kerugian hingga mencapai Rp 544 triliun akibat bencana iklim selama periode 2020-2024 jika tidak dilakukan intervensi. Sektor kelautan dan pesisir tercatat berpotensi mengalami kerugian ekonomi terbesar hingga mencapai Rp 408 triliun, disusul pertanian Rp 78 triliun, kesehatan Rp 31 triliun, dan air Rp 28 triliun.
Intinya bila melakukan intervensi ketahanan iklim ini, kita bisa menghindari kerugian ekonomi.
”Menyikapi hal ini, Bappenas pada tahun 2021 menyusun sebuah kebijakan pembangunan berketahanan iklim berbasis kajian ilmiah. Dokumen ini sebenarnya juga menekankan pentingnya beberapa komitmen global,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Pembangunan Berketahanan Iklim sebagai Upaya Mengurangi Kerugian Ekonomi akibat Bahaya Iklim”.
Menurut Medrilzam, dalam pembangunan berketahanan iklim, pemerintah mencoba mengharmonisasi dan menyinkronisasikan berbagai elemen dari tingkat nasional, daerah, hingga desa. Pembangunan berketahanan iklim kemudian dijadikan strategi penguatan ketahanan ekonomi, sosial, dan ekologis.
Komisi Adaptasi Global memperkirakan bahwa menginvestasikan 1,8 triliun dollar AS secara global di lima bidang dapat membuka manfaat senilai 7,1 triliun dollar AS hingga 2030. Lima bidang itu ialah meningkatkan kemampuan peringatan dini bencana, membuat infrastruktur yang resilien, memperbaiki lahan kering, melindungi mangrove, dan membuat manajemen sumber daya air.
”Intinya, bila melakukan intervensi ketahanan iklim ini, kita bisa menghindari kerugian ekonomi. Bahkan, mendapatkan manfaat ekonomi yang positif, termasuk sosial dan lingkungan yang lebih luas,” ujarnya.
Dari evaluasi yang dilakukan Bappenas, program dan kegiatan ketahanan iklim kementerian/lembaga tahun 2020 mampu menurunkan kerugian ekonomi sebesar Rp 44,39 triliun. Bila dimasukkan dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sebanyak 84 persen target telah tercapai yang berasal dari 170 aksi.
Untuk mencapai ketahanan sosial, program pembangunan berketahanan iklim juga dapat diarakan pada lokasi prioritas dengan tingkat kemiskinan tinggi. Perlindungan sosial adaptif yang diterapkan sebagai salah satu aksi ketahanan iklim di antaranya membuat asuransi pertanian, kapal nelayan, perikanan budidaya, bantuan pembiayaan, dan wirausaha sektor produksi.
Sementara untuk ketahanan ekologis, aksi dan pedekatan yang dapat dilakukan di antaranya menanam mangrove dan struktur pelindung pantai. Selain itu ada budidaya perikanan pesisir yang ramah lingkungan, peningkatan efektivitas penangkapan ikan, dan rehabilitasi karang.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto menyatakan, Bappenas telah menentukan lokasi prioritas ketahanan iklim dengan mempertimbangkan potensi bahaya pada tiap-tiap sektor. Data dan informasi ini kemudian diperkuat oleh validasi pemerintah daerah dan obervasi lapangan.
Dalam sektor kelautan dan pesisir, lokasi super proritas ketahanan iklim terbanyak berada di wilayah pesisir barat Sumatera. Lokasi prioritas untuk sektor air tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa-Bali dan Nusa Tenggara. Sementara untuk sektor pertanian, prioritas perlu dilakukan di Jawa-Bali, Sumatera, dan Sulawesi.
Fenomena La Nina
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan, terjadinya bencana hidrometeorologi tidak terlepas dari faktor pengendali iklim atau cuaca. Bencana ini tidak hanya sebatas kekeringan, banjir, dan puting beliung, tetapi juga mencakup fenomena El Nino, La Nina, hingga gelombang panas atau dingin.
Menurut Dwikorita, secara umum kondisi La Nina saat ini masih netral tanda-tandanya. Namun, masih terdapat peluang 60-70 persen La Nina akan muncul pada akhir tahun. Upaya mitigasi pun perlu menjadi perhatian meski peluang terjadinya La Nina yang membawa cuaca akan cenderung basah, tidak setinggi tahun lalu.