Biskuit Jali dan Kelor untuk Tingkatkan Daya Tahan Tubuh
Pusat Riset Teknologi Tepat Guna Badan Riset dan Inovasi Nasional mengembangkan biskut dengan bahan dasar tanaman jali dan kelor. Biskuit ini diklaim bisa memenuhi kebutuhan gizi warga dan memperkuat daya tahan tubuh.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Disiplin menjalankan protokol kesehatan dengan mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan menjaga jarak menjadi keharusan untuk mencegah penularan Covid-19. Namun, perlindungan dari dalam tubuh dengan meningkatkan imunitas juga penting untuk diperhatikan.
Daya tahan tubuh ini dapat dijaga salah satunya dengan mengonsumsi makanan bergizi tinggi yang berasal dari sayur dan buah. Daya tahan tubuh ini tidak hanya diperlukan untuk mencegah penularan Covid-19, tetapi juga berbagai penyakit lainnya.
Sayangnya, konsumsi sayur dan buah di Indonesia masih rendah. Dari data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, sebanyak 95,5 persen penduduk di Indonesia kurang mengonsumsi buah dan sayur. Jumlah ini semakin tinggi pada usia anak, yakni 96,9 persen pada usia 5-9 tahun dan 96,8 persen pada usia 10-14 tahun.
Hal inilah yang mendasari para peneliti dari Pusat Riset Teknologi Tepat Guna Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai mengembangkan produk pangan bergizi yang sekaligus dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Berbagai jenis makanan pun diteliti. Itu terutama makanan yang mengandung zat yang dapat mencegah infeksi dari SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
”Kami berusaha mencari bahan dasar makanan yang menstimulasi sel T dan sel B pada tubuh agar menghasilkan antibodi. Akhirnya ditemukan bahwa tanaman kelor berpotensi meningkatkan sel T dan sel B tersebut,” kata Ashri Indriati, peneliti dari Pusat Riset Teknologi Tepat Guna BRIN.
Imunomodulator merupakan zat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun tubuh yang terganggu. Zat ini memperbaiki sistem imun dengan cara menstimulasi atau menekan reaksi umum yang abnormal.
Kami mencari bahan dasar makanan yang menstimulasi sel T dan sel B pada tubuh agar menghasilkan antibodi. Akhirnya ditemukan bahwa tanaman kelor berpotensi meningkatkan sel T dan sel B.
Selain menyeimbangkan sistem imun, imunomodulator juga berfungsi untuk meningkatkan dan menguatkan daya tahan tubuh. Sistem imun ini penting untuk melawan berbagai risiko penyakit, termasuk Covid-19.
Sebelum pandemi terjadi, para peneliti sebenarnya telah mengembangkan biskuit yang terbuat dari jali (Coix lacima-Jobi L). Biskuit ini dibuat untuk mengurangi konsumsi terigu yang saat ini masih harus diimpor. Selain itu, jali mengandung gizi yang tinggi.
Setelah pandemi, ketika kebutuhan pangan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh meningkat, para peneliti pun mulai mengembangkan biskuit jali dengan kandungan tambahan dari tanaman kelor.
Kelor merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai imunostimulan, yaitu senyawa yang dapat memodulasi sistem imun yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Selain itu, kelor (Moringa oleifera) memiliki kandungan karbohidrat tinggi yang dapat memenuhi syarat untuk dijadikan tepung. ”Kelor ini juga tinggi akan kalsium serta magnesium, Zinc, dan zat besi,” ucap Ashri.
Tanaman jali pun memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan protein, lemak, dan vitamin B1 pada jali jauh lebih tinggi dibandingkan tanaman serealia lainnya. Selain itu, tanaman jali mempunyai beberapa keunggulan yakni dapat tumbuh di daerah kering dengan kondisi tanah marjinal. Dengan begitu, budidaya tanaman ini menjadi lebih mudah.
Penyebaran tanaman jali di Indonesia sebenarnya juga sudah cukup merata mulai dari Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Umumnya, jali pada umumnya diolah menjadi bubur, dikukus, sup, makanan manis, dan minuman. Namun, saat ini jali semakin terlupakan bahkan mulai langka di pasaran. Ini juga yang membuat budidaya jali tidak lagi banyak ditemui di masyarakat.
Praktis
Ashri mengungkapkan, produk biskuit dipilih karena praktis untuk dikonsumsi setiap waktu. Biskuit juga cocok untuk berbagai kelompok usia masyarakat. Bahkan, biskuit menjadi kegemaran bagi sejumlah orang.
Dari data Statistik Konsumsi Pangan di Indonesia, konsumsi biskuit dalam rentang waktu antara 2014 dan 2018 mengalami peningkatan. Proses produksinya juga mudah dan tidak memerlukan peralatan khusus.
Masa simpan yang relatif cukup lama dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan energi yang cukup baik menjadi kelebihan lain dari produk biskuit. Karena itu, biskuit jali dan kelor ini diharapkan dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan gizi, terutama pada anak-anak.
Terkait pengembangan produk biskuit jali dan kelor juga tidak rumit. Cara pengolahannya sama dengan pembuatan biskuit pada umumnya. Jali dan kelor yang sudah diproses menjadi bentuk tepung kemudian dicampur. Untuk sementara, tepung terigu masih digunakan untuk menghasilkan tekstur biskuit yang diinginkan.
Setelah semua bahan tercampur, biskuit pun dicetak dan kemudian dipanggang. Setelah itu, proses pendinginan dilakukan di suhu ruangan dan akhirnya siap untuk dikonsumsi.
Setiap 100 gram biskuit jali dan kelor ini mengandung kalsium sebesar 3.327,74 miligram. Selain itu, biskuit ini juga mengandung serta pangan sebesar 9,01 persen dari berat kering produk, 64,35 milligram magnesium, 2,73 miligram Zinc, dan 3,87 miligram zat besi (Fe).
Penelitian ini sudah mendapatkan nomor paten P002020009704. Namun, proses pengembangan kini masih terus dilakukan, terutama untuk mengukur kadar efektivitas produk pangan ini sebagai imunomodulator.
”Kami juga masih berupaya untuk menghilangkan rasa langu yang muncul karena campuran dari daun kelor. Mungkin bagi sebagian orang, rasa dari kelor ini cukup mengganggu,” tutur Ashri.
Seluruh pengembangan ini diharapkan bisa selesai pada akhir 2021. Dengan begitu, transfer teknologi juga lisensi sudah diberikan untuk industri yang akan mengembangkannya.
Produk ini dinilai memiliki daya jual yang tinggi. Selain karena dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan meningkatkan daya tahan tubuh masyarakat, banyak warga yang sudah memilih produk rendah gluten yang terkandung pada tepung terigu.
Secara terpisah, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko mengatakan, pemerintah telah berkomitmen untuk mendukung pengembangan riset dan inovasi di Indonesia, termasuk riset terkait dengan penanganan Covid-19. Dukungan ini tidak hanya pada skala laboratorium riset, tetapi sampai pada proses hilirisasi di industri.
”Kita selama ini tidak memiliki atau tidak mampu memfasilitasi ranah riset yang bisa menjadi penengah antara ranah riset dari para periset dan industri. Itu sebabnya belum pernah ada hasil riset terkait vaksin, obat, dan imunomodulator di Indonesia yang bisa sampai ke industri,” tuturnya.