Penurunan Emisi dari Sektor Energi Masih Sulit Tercapai
Penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi membutuhkan teknologi dan investasi yang sangat tinggi. Harapan masih ada di sektor kehutanan dan lahan meski juga membutuhkan upaya lebih.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Tongkang-tongkang bermuatan batu bara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (8/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia lebih mengandalkan sektor kehutanan dan lahan untuk menurunkan emisi dengan target bisa mencapai penyerapan bersih karbon atau net sink pada 2030. Penurunan emisi melalui sektor lain, terutama sektor energi, dinilai lebih sulit dipenuhi.
”Sektor FOLU (forest and land use) sudah harus mencapai net sink dengan capaian 540 metrik ton emisi karbon (CO2e) pada 2030,” kata Ruandha Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam diskusi daring yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Kamis (7/10/2021).
Ia menambahkan minggu depan akan membuat konsultasi publik mengenai apa yang harus dikerjakan menuju penyerapan bersih karbon atau net sink 2030 dari sektor FOLU ini. ”Perlu kemitraan dengan masyarakat, pemegang izin, pemda, negara asing. Ini tidak bisa dilakukan KLHK sendiri. Penurunan emisi hanya bisa terjadi jika kegiatan dilakukan di tingkat tapak dan ini banyak pelakunya,” kata dia.
Untuk memenuhi target ini, menurut Ruandha, tantangan terbesarnya adalah pendanaan. Misalnya, anggaran untuk rehabilitasi lahan dibutuhkan sekitar 800.000 hektar per tahun. Namun, APBN untuk ini hanya bisa mencukupi untuk merehabilitasi lahan seluas 200.000-300.000 ha per tahun.
Menurut Climate Action Tracker, Indonesia termasuk negara yang highly insufficient dari peta jalur Paris Agreement.
Sekalipun demikian, Ruandha optimistis target net sink dari sektor FOLU bisa terpenuhi pada 2030. ”Kita sudah bisa turunkan deforestasi dan cegah kebakaran hutan dan lahan. Kalau ini bisa dijaga sampai 2030, akan lebih mudah angkat sektor lain sehingga tahun 2060 Indonesia bisa mencapai target nol emisi,” katanya.
Ruandha mengakui, upaya untuk menurunkan emisi dari sektor lain, khususnya energi, lebih mahal dan lebih sulit dilakukan. ”Untuk sektor energi, kalau tidak ada inovasi teknologi, akan sulit turunkan emisi. Karena itu diupayakan dari sektor kehutanan karena dianggap lebih mudah,” katanya.
Menjauhi target
Agus Sari, CEO Landscape Indonesia, mengatakan, pengelolaan hutan di Indonesia memang sudah membaik. Sebelumnya, pada 2015 kerugian di Indonesia akibat kebakaran hutan mencapai Rp 200 triliun atau sekitar 10 persen dari anggaran negara tahun itu. Padahal, belum semua kerugian ini dimonetasi, misalnya kematian dini yang bertambah.
”Ini menjadi pelajaran bagi Indonesia. Sejak itu, ada perubahan. Dari sejutaan deforestasi pada tahun itu, menurun hingga tinggal 10 persen. Itu capaian yang luar biasa,” katanya.
Namun, Indonesia masih jauh dari target penurunan emisi global. ”Menurut Climate Action Tracker, Indonesia termasuk negara yang highly insufficient dari peta jalur Paris Agreement,” katanya.
Jika semua negara seperti Indonesia, kenaikan temperatur global menjadi 3- 4 derajat celsius. ”Tetapi ini bukan hanya Indonesia, semua negara melakukan ini. Memang target penurunan emisi di tiap negara belum cukup. Jadi, yang harus menaikkan ambisinya bukan hanya Indonesia,” katanya.
Daniel Mudiyarso, dosen IPB, yang juga anggota panel antarpemerintah untuk perubahan iklim (IPCC), mengatakan, dunia tidak mengarah pada jalur yang tepat untuk menekan kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat dibandingkan era Revolusi Industri sekitar tahun 1850.
Ia menambahkan, laporan IPCC terbaru menunjukkan suhu global saat ini sudah naik 1,1 derajat celsius, dari target 1,5 di 2030. Dengan tren yang ada saat ini, menurut Climate Action Tracker, emisi global sekitar 55 miliar ton per tahun. ”Untuk mencapai (agar peningkatan suhu global maksimal) 1,5 derajat pada tahun 2030 harus diturunkan 30 miliar ton sehingga tinggal 25 miliar ton. Ini akan sangat berat sehingga laporan IPCC menjadi alarm bahwa kita belum sampai di mana-mana,” katanya.
Menurut dia, sejauh ini hanya satu negara kecil, Gambia, yang memenuhi target penurunan emisinya. ”Banyak negara besar, termasuk Indonesia, tidak memenuhi target,” katanya.
Daniel menambahkan, untuk Indonesia, tantangan penurunan emisi dari sektor energi masih sangat sulit. Energi terbarukan kita masih di bawah 10 persen, diharapkan sampai 23 persen. Batubara masih 25 persen. Sampai 2045-2050 batubara masih akan tetap bertahan di angka ini. Dengan menaikkan harga karbon dari sektor lahan dan kehutanan, bisa bantu sektor energi,” katanya.