Risiko Terendamnya Jakarta dan Utara Jawa Bisa Diperlambat
Sejumlah upaya bisa dilakukan untuk mengerem tenggelamnya wilayah pantai utara di Jawa, termasuk Jakarta. Itu seperti membuat tempat parkir air, zonasi bangunan, serta sejumlah mitigasi dan adaptasi lain.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kombinasi antara kenaikan muka air laut, penurunan tanah, dan hujan ekstrem menjadi ancaman nyata bagi wilayah utara Jawa, termasuk Jakarta. Ancaman terendamnya kawasan pesisir dinilai tak terelakkan. Namun, bencana bisa diperlambat dengan mitigasi dan adaptasi yang tepat.
Profesor riset di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, dalam Seri Seminar Daring Majelis Profesor Riset (MPR)- BRIN, Rabu (6/10/2021), mengatakan, terendamnya beberapa lokasi di Jakarta dan beberapa kota pesisir di sepanjang pantura Jawa terjadi akibat tiga faktor utama. Ketiga faktor itu ialah perubahan iklim yang mengarah pada kenaikan muka air laut, laju penurunan muka tanah (land subsidence), dan kondisi lokal setempat.
Kenaikan muka air laut secara global, menurut Eddy, cenderung meningkat sejak tahun 2000 dengan kisaran 3-10 milimeter per tahun. Namun, ini masih relatif kecil dan terjadi secara lambat. ”Ini terkait erat dengan mencairnya es kutub dan tidak bisa distop kita sendiri,” katanya.
Di Jakarta, amblesan tanah menjadi faktor utama karena kompaksi batuan, di sana batuannya masih sangat muda.
Sementara penurunan daratan terutama terjadi pada tanah lunak. Tidak hanya terjadi di pantai utara Jakarta, hal ini juga terjadi di beberapa kawasan utara Jawa.
”Banyak tanah lembek di pantura Jawa. Hampir semua kena. Buku ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) 2019 menunjukkan dampak penurunan tanah di beberapa kota di Jawa. Untuk DKI Jakarta, laju penurunnnya 0,1-8 sentimeter per tahun. Yang sangat besar Pekalongan, bisa mencapai 11 cm per tahun, Semarang 0,9-6 cm per tahun,” katanya.
Menurut Eddy, kawasan gambut di Sumatera bagian timur dan Kalimantan bagian selatan juga mengalami penurunan. ”Kalau hanya dari kenaikan muka air laut, sampai tahun 2050 memang yang terendam belum menyentuh kawasan Monas. Namun, jika dikombinasikan dengan penurunan tanah, dampaknya bisa berbahaya,” katanya.
Selain itu, ancaman bagi kawasan pesisir juga bisa dari hujan ekstrem, sebagaimana terjadi di Jakarta pada tahun 2020. Hujan ekstrem yang diakibatkan perubahan iklim bisa memperparah dampak penurunan tanah dan akan semakin besar dampaknya jika berbarengan dengan air rob.
Penyebab penurunan tanah
Profesor riset bidang Geoteknologi-Hidrologi Air Tanah BRIN, Robert Delinom, mengatakan, amblesan tanah di Jakarta disebabkan empat faktor, yaitu kompaksi batuan (endapan batuan lempung), pengambilan air tanah secara berlebihan, beban bangunan, dan aktivitas tektonik.
”Di Jakarta, amblesan tanah menjadi faktor utama karena kompaksi batuan. Di sana, batuannya masih sangat muda,” katanya.
Penurunan tanah di wilayah Jakarta bervariasi, tergantung kondisi geologinya. Misalnya, di Jalan Tongkol dekat Sunda Kelapa, secara umum penurunan tanahnya 0,8 cm per tahun yang tidak terlalu tinggi. ”Yang berperan penting adalah batuan lempung yang permeabilitasnya cukup tinggi, bisa tertekan dan masuk ke akuifer,” ujarnya.
Namun, di kawasan sekitar Sunda Kelapa, dari dokumen tahun 1914 menunjukkan muka air laut dan Sungai Ciliwung masih sama. Namun, tahun 2011 perbedaan muka Sungai Ciliwung dan muka air laut bedanya sudah 2,2 meter.
”Di daerah ini penurunan intensif. Kalau bendungan di Penjaringan dilepas, air laut akan masuk. Daerah lain yang penurunannya tinggi juga ialah Pantai Indah Kapuk, dan sekitar Marunda,” katanya.
Robert menambahkan, pantura Jawa pada umumnnya disusun oleh batuan muda dan di beberapa tempat batuan lempungnya dominan. Ia bahkan menyebut di Semarang batuan lempungnya lebih tebal dibandingkan Jakarta.
Dengan data ini, menurut Robert, sebagian Jakarta dan pantura Jawa memang bisa terendam air laut, tetapi tidak dalam waktu segera. ”Lempung juga ada batasnya. Suatu saat akan berhenti turun. Semarang, misalnya, akan butuh waktu 1.000 tahunan turunnya. Jakarta akan lebih stabil,” ujarnya.
Pencegahan
Robert mengatakan, untuk mencegah tenggelamnya Jakarta dalam periode jangka pendek, diperlukan sosialisasi kepada masyarakat agar memahami masalahnya. Sementara untuk jangka panjang, dengan melakukan integrasi secara tuntas terkait penyelesaian masalahnya.
”Yaitu dengan kombinasi konsep mitigasi dan adaptasi yang tidak tumpang tindih, zero run off dan no land subsidence city, serta mengubah pola pikir masyarakat,” ujar Delinom.
Robert juga menyarankan perlunya upaya mitigasi dengan melakukan pembangunan pertahanan di garis pantai, pertahanan di sungai, dan bantarannya, serta membuat tempat parkir air dan mengantisipasi penyebab penurunan tanah. Robert juga mengusulkan adanya zonasi bangunan.
”Bagian utara jangan lagi bangunan masif, tetapi lebih ringan. Bagian tengah boleh bangunan bertingkat. Bagian selatan adalah zona penyangga air tanah, zona resapan untuk Jakarta. Mulai dari Depok ke utara,” ujarnya.
Adapun untuk adaptasi, bisa dilakukan dengan menenggalamkan daerah yang memang selalu terendam setelah memindahkan penduduknya. Tujuannya menjadikan lokasi itu sebagai kolam resapan air.
Eddy menyarankan adanya penahan berupa beting gesik atau rawa daripada tanggul raksasa di laut. ”Intinya jauhkan permukiman dari pantai dan ditinggikan. Bukan hanya Jakarta, melainkan justru paling berisiko Pekalongan, Semarang, baru Jakarta. Juga di Kalimantan Selatan,” katanya.
Eddy juga menyarankan kita untuk meniru kota-kota lain, seperti Tokyo, yang berhasil mengatur aliran air hujan sehingga bisa kembali mengisi cadangan akuifernya. Hal ini dinilai sebagai salah satu upaya memperlambat penurunan tanah.
Menurut Eddy, solusi tanggul laut raksasa tidak akan efektif jika ancamannya berupa hujan ektrem. ”Seperti terjadi pada tahun 2020. Sehebat apa pun tanggul dibangun, kalau bencananya dari atas, akan tetap kolaps,” katanya.