Batubara pernah menjadi penggerak ekonomi dunia. Namun, penggunaan bahan bakar fosil ini mengancam kehidupan di Bumi. Kini, banyak negara berkomitmen mengakhiri penggunaan batubara.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Batubara telah menjadi penopang industri modern. Kini, bahan bakar fosil ini dianggap sebagai kontributor terbesar perubahan iklim sehingga harus diakhiri penggunaannya demi menyelamatkan kehidupan di Bumi.
Jejak awal penggunaan batubara telah terekam dalam catatan ilmuwan Yunani, Theophrastus (371-287 sebelum Masehi), dalam On Stones: ”Di antara bahan-bahan yang digali karena berguna, yang dikenal sebagai batubara terbuat dari tanah, dan setelah dibakar, mereka terbakar seperti arang. Mereka ditemukan di Liguria... dan di Elis saat seseorang mendekati Olympia melalui jalan pegunungan; dan mereka digunakan oleh mereka yang bekerja terkait logam”.
Sejauh yang diketahui sejarawan dan arkeolog, kata-kata Theophrastus termasuk yang pertama mencatat penggunaan batubara dalam pengerjaan logam. Namun, orang China diduga telah menambang batubara di permukaan sejak tahun 3490 sebelum Masehi.
Penggunaan batubara secara masif terutama terjadi setelah era Revolusi Industri. Sebagai kokas, ia menyediakan bahan bakar yang efisien untuk mengubah bijih besi menjadi besi. Batubara kemudian menyalakan mesin-mesin, sebagaimana digambarkan penyair Inggris, William Blake (1757-1827), sebagai dark satanic mills. Batubara telah memungkinkan mesin uap James Watt membawa para petualang dan penjajah Eropa mengarungi lautan, termasuk ke Indonesia.
Sementara sejarah eksploitasi batubara di Indonesia dimulai sejak tahun 1849 di Pengaron, Kalimantan Timur, oleh perusahaan Belanda, NV Oost Borneo Maatschappij. Berikutnya, pertambangan batubara Bukit Asam pada tahun 1919. Perkembangan batubara di era kolonial mencapai puncaknya pada 1941 dengan produksi sebesar 2 juta ton yang kemudian menurun karena perang dan anjloknya harga pasaran di dunia, dan baru bangkit kembali di awal 1980-an.
Titik balik
Seiring dengan waktu, batubara berkembang menjadi tulang punggung industri modern yang kecanduan energi. Hampir semua negara industri maju menggunakan batubara sebagai sumber energi utama, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Strategi yang sama ditempuh China untuk menjadi raksasa ekonomi dunia. China mengandalkan batubara untuk berkisar 70-80 persen energinya, dengan 45 persen digunakan untuk sektor industri dan sisanya pembangkit listrik. Pada tahun 2010, China merupakan 48 persen dari konsumsi batubara dunia.
Dengan munculnya sejumlah kekuatan ekonomi baru yang juga bergantung pada batubara, seperti India dan Indonesia, bahan bakar fosil ini menjadi sumber energi primer dengan pertumbuhan tercepat di dunia antara tahun 2001 dan 2010. Pada kurun itu, konsumsi batubara dunia meningkat sebesar 45 persen.
Selama periode yang sama, total emisi gas rumah kaca antropogenik menjadi yang tertinggi dalam sejarah dan terus berlanjut hingga kini. Selain emisi karbon, batubara juga mengandung logam berbahaya seperti merkuri, timbal, dan arsenik, yang bisa terlepas ke udara saat dibakar.
Pentingnya mengakhiri rezim batubara memang tak terbantahkan. Desakan terutama berasal dari negara-negara maju yang telah beranjak pada energi terbarukan.
Batubara dinilai bertanggung jawab atas lebih dari 800.000 kematian dini per tahun secara global. Kajian yang dipublikasikan Natural Resources Defense Council (NRDC) China pada tahun 2012 menyebutkan, sekitar 670.000 orang di negara itu meninggal dini per tahun akibat polusi udara terkait batubara.
Sementara laporan ”Coal Kills” memperkirakan, di India, batubara menyumbang antara 80.000 dan 115.000 kematian dini setiap tahun. Di Amerika Serikat, batubara membunuh sekitar 13.000 orang setiap tahun dan 23.300 orang di Eropa.
Pentingnya mengakhiri rezim batubara memang tak terbantahkan. Desakan terutama berasal dari negara-negara maju yang telah beranjak pada energi terbarukan.
Inggris, misalnya, yang menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP) Ke-26, berhasil menurunkan penggunaan batubara secara signifikan. Jika lima tahun lalu batubara menyumbang 25 persen listrik di negara itu, pada 2021 sumbangannya turun menjadi 2 persen. Inggris yang menjadi pionir penggunaan awal batubara bahkan berencana akan mengakhiri seluruh konsumsi energi dari bahan bakar ini pada 2024.
Sejak tahun 2013, China juga menyadari bahaya batubara, terutama bagi kesehatan warganya. Perdana Menteri China Li Keqiang, misalnya, berkampanye membuat ”langit kita menjadi biru lagi” (China Daily, 2017) dengan menutup PLTU batubara dan industri kotor lain seperti semen.
Beijing, yang sebelumnya dikenal sebagai kota paling kotor udaranya, menutup PLTU terakhirnya, Sabtu, 18 Maret 2017. Namun, pada saat yang sama, China sangat getol mendanai pembangunan PLTU di banyak negara lain, termasuk di Indonesia. China menjadi pemain utama investasi PLTU batubara di Indonesia, menggeser dominasi Jepang dan Korea Selatan.
Data gerakan #BersihkanIndonesia, sekitar 71 persen dari daftar pembangkit listrik energi kotor batubara di Indonesia saat ini didukung oleh China. Setidaknya ada lebih dari 30 PLTU dengan total kapasitas lebih dari 10 gigawatt (GW) baik dalam fase pendanaan, prakonstruksi, maupun baru saja masuk dalam tahapan awal pembangunan.
Kejutan terjadi saat Xi Jinping, Presiden China, mengumumkan tidak akan lagi mendanai PLTU di luar negeri. Dia mengumumkan komitmen iklim baru ini dalam pidato di Majelis Umum PBB, Selasa (21/9/2021).
Pengumuman China ini memberikan harapan bahwa Indonesia juga akan meninggalkan batubara, sekalipun prosesnya diyakini tidak mudah terutama dari aspek ekonomi politik. Industri batubara telah menjadi sumber kekayaan elite negeri ini. Misalnya, dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia, sebagian di antaranya merupakan pengusaha tambang batubara.
Bahkan, batubara terkait erat dengan politik kekuasaan di Indonesia. Kajian Transparency International Indonesia (TII) terhadap 90 perusahaan pengelola PLTU di Indonesia pada Juni 2021 menunjukkan, 18 perusahaan di antaranya terkait dengan oligarki, sebagian di antaranya terkait dengan pejabat aktif pemerintah.