Pengelolaan Plastik Indonesia Tertinggal dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia
Secara umum, Indonesia tertinggal dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam pengelolaan plastik. Bahkan kalah dibandingkan Ghana. Namun, Indonesia unggul soal keterlibatan pemangku kepentingan.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil pengukuran Indeks Pengelolaan Plastik atau Plastics Management Index yang dilakukan pada 25 negara menunjukkan Indonesia secara umum masih kalah dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia soal pengelolaan plastik. Di sisi lain, di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Australia, dan China menduduki 10 besar dalam hal itu.
Dalam siaran pers yang merilis edisi pertama indeks tersebut, Selasa (5/10/2021), disebutkan pengukuran Indeks Pengelolaan Plastik (PMI) menggunakan tiga pilar, yaitu sistem pemerintahan, kapasitas pengelolaan tersistem yang ada, dan keterlibatan pengampu kepentingan. Dari ketiganya, disusun 12 indikator dan 44 sub-indikator.
Dari hasil pengukuran, hanya tiga negara di Asia Pasifik yang masuk 10 besar, yaitu Jepang (nomor 2), Australia (7), dan China (10). Eropa masih memimpin dalam pengelolaan plastik global, sementara Asia tertinggal.
Hanya karena negara-negara tampak berkinerja baik tidak berarti mereka melakukan cukup banyak untuk mengatasi masalah ini.
Sementara China, produsen plastik terbesar di dunia, menduduki peringkat ke-10. Negara yang sempat disorot sebagai produsen sampah plastiknya ini sedang mengembangkan kapasitas untuk mengelola plastik, tetapi tertinggal dalam keterlibatan pemangku kepentingan.
Kondisi di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Secara umum, Indonesia menempati urutan ke-16 di bawah Vietnam (11), Thailand (12), dan Malaysia (13). Bahkan kalah dibandingkan Ghana (15). Hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia ialah dalam hal keterlibatan pemangku kepentingan yang menempatkannya di nomor 8.
Hasil tersebut dirilis oleh program Back to Blue, inisiatif kesehatan laut dari Economist Impact dan The Nippon Foundation. Indeks tersebut memeringkat 25 negara di seluruh dunia di lima benua. Mereka menilai kapasitas suatu negara untuk meminimalkan salah urus plastik sambil mempromosikan produksi dan penggunaan plastik yang optimal sebagai sumber daya.
”Kami telah membuat PMI sebagai tolok ukur baru untuk mengukur bagaimana negara-negara menangani plastik dari awal hingga akhir—sesuai kebutuhan, dan ketertarikan, dan dikembangkan secara global untuk mengelola plastik di seluruh siklus hidupnya. Jadi, bukan dengan pendekatan sedikit demi sedikit seperti pelarangan kantong plastik,” ujar Naka Kondo, editor laporan PMI, Policy and Insights pada Economist Impact, dalam siaran pers.
Beberapa negara terus berjuang meskipun indeks mengidentifikasi arus harapan yang nyata. Akan tetapi, hanya karena negara-negara tampak berkinerja baik tidak berarti mereka melakukan cukup banyak upaya untuk mengatasi masalah ini.
Kini, dunia memproduksi dan menggunakan lebih banyak plastik setiap tahun, dengan 367 juta metrik ton diproduksi pada tahun 2020. Dengan perkiraan produksi yang diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2040, plastik bukan satu-satunya tantangan polusi dunia, tetapi bisa dibilang yang paling menonjol.
Skala tantangan menuntut kerangka kerja baru yang mencakup seluruh siklus hidup produk plastik—mulai dari desain, produksi, konsumsi, pembuangan, dan seterusnya. PMI dirancang untuk memberikan perhatian pada kekhawatiran global yang berkembang seputar penggunaan plastik, menyoroti bagaimana pengelolaannya dapat dibuat berkelanjutan.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Jerman merupakan negara dengan kinerja terbaik secara keseluruhan dalam manajemen plastik, dengan skor 87 poin dari 100. Peringkat pertama untuk tata kelola dan keterlibatan pemangku kepentingan dan ketiga untuk kapasitas sistemik, sebagian besar disebabkan oleh skema daur ulang negara oleh pemerintah dan industri yang telah menghasilkan ekonomi sirkular untuk plastik.
Meskipun memproduksi separuh plastik dunia, Asia tertinggal dalam upaya pengelolaan plastik global dibandingkan dengan Eropa. Sejauh ini, Eropa memimpin peringkat keseluruhan sebagian besar berkat proaktif dari Uni Eropa dan kemampuan kawasan untuk mendanai inovasi dan penelitian. Negara-negara Asia-Pasifik sebagian besar menempati posisi tengah, diikuti negara-negara Amerika Latin dan Afrika.
”Jalan dunia dengan plastik jelas tidak berkelanjutan. Kebocoran plastik sudah menyebabkan kerusakan yang tak terhitung ke laut kita. Skala tantangannya mengejutkan, dan sangat membutuhkan solusi kohesif dan efektif yang dapat mengatasi setiap elemen dari siklus hidup plastik yang kompleks,” kata Yohei Sasakawa, pimpinan The Nippon Foundation.
”Indeks Manajemen Plastik, saya harap, akan menjelaskan di mana kita berada secara global, dan ke mana kita harus menuju untuk mengelola plastik secara lebih efektif dan bertanggung jawab,” ujarnya.