Larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok perlu dipertegas. Impelementasi dari aturan terkait larangan tersebut harus dipastikan. Ini terutama untuk melindungi anak dan remaja dari pengaruh iklan dan promosi rokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Iklan, promosi, dan sponsor rokok berdampak signifikan memengaruhi anak dan remaja untuk mulai merokok. Karena itu, larangan terhadap iklan dan promosi rokok harus lebih tegas. Selain memastikan aturan terkait dapat terimplementasi dengan baik, sistem monitoring dan evaluasi juga harus berjalan optimal.
Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes) M Subuh di Jakarta, Senin (4/10/2021), mengatakan, komitmen pemerintah daerah sangat berpengaruh dalam penegakan aturan larangan iklan dan promosi rokok di masyarakat. Komitmen tersebut tidak hanya diperlukan pada level gubernur, tetapi juga bupati, wali kota, sampai camat dan lurah.
”Aturan mengenai larangan iklan rokok yang menjadi bagian dari regulasi KTR (kawasan tanpa rokok) sudah diterbitkan oleh banyak daerah. Namun, pelaksanaan dari aturan tersebut yang masih belum optimal,” katanya.
Subuh menambahkan, implementasi dari aturan larangan iklan rokok juga perlu disertai dengan sistem monitoring yang kuat. Monitoring ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan sistem digital seperti kamera pengawas. Bagi orang yang melanggar aturan bisa langsung dikenai denda atau hukuman lainnya.
Selain monitoring, proses evaluasi juga bisa dijalankan dengan optimal. Evaluasi diperlukan untuk menilai tingkat keberhasilan dan dampak dari aturan yang sudah dijalankan. Seluruh upaya ini memerlukan komitmen yang kuat dari kepala daerah.
Ia mencontohkan, komitmen kepala daerah terhadap larangan iklan rokok sudah ditunjukkan oleh Bupati Klungkung, Bali. Setelah aturan terbit, implementasi aturan juga dipastikan. Selain menerjunkan satuan polisi pamong praja (satpol PP), bupati turut serta mengamankan iklan dan poster rokok yang masih menyalahi aturan.
Aturan mengenai larangan iklan rokok yang menjadi bagian dari regulasi KTR (kawasan tanpa rokok) sudah diterbitkan oleh banyak daerah. Namun, pelaksanaan dari aturan tersebut yang masih belum optimal. (M Subuh)
Di Jakarta, Koordinator Komunitas Bebas Rokok Jakarta Dollaris Riauaty Suhadi mengatakan, upaya pengendalian produk tembakau tidak hanya dilakukan dengan melarang iklan ataupun reklame produk rokok. Imbauan untuk melarang pajangan bungkus rokok di tempat perbelanjaan sudah dimulai.
Untuk sementara, tempat penjualan rokok masih diperbolehkan untuk ditutup dengan kain. Namun, ke depan diharapkan pengelola tempat penjualan tersebut sudah menyediakan penutup yang permanen.
”Jadi, tidak boleh ada lagi pajangan bungkus rokok. Setiap toko hanya diperbolehkan untuk menuliskan kata ’tersedia rokok’. Sementara tidak boleh menunjukkan jenis dan merek dagang rokok yang tersedia,” tuturnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyampaikan, tujuan utama dari larangan iklan, sponsor, dan promosi rokok adalah untuk mencegah anak dan remaja mulai merokok. Iklan dan promosi rokok sangat memengaruhi anak dan remaja untuk mulai merokok.
Penelitian pada anak dan remaja yang dilakukan Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan, pelajar di Indonesia melihat iklan rokok di berbagai tempat dan media. Sebanyak 60,9 persen pelajar mengaku melihat iklan rokok di luar ruang , 65,2 persen di tempat penjualan , 65,2 persen di televisi , 36,2 persen di internet, dan 23,9 persen di media cetak.
Dari studi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka pada 2007, terdapat sekitar 70 persen remaja yang mulai merokok karena terpengaruh iklan. Sebanyak 46,3 persen di antaranya bahkan menyatakan iklan memiliki pengaruh yang besar untuk mulai merokok.
”Kita harus bisa melindungi anak-anak di Indonesia dari ancaman rokok. Larangan iklan dan promosi rokok, serta larangan pemajangan produk rokok harus dijalankan secara menyeluruh, tidak hanya di ritel modern melainkan juga di ritel tradisional,” katanya.
Adapun data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi perokok anak meningkat dari 7,20 persen pada 2013 menjadi 9,10 persen pada 2018. Usia pertama kali seseorang merokok pun semakin dini. Sebanyak 23 persen perokok di Indonesia mulai merokok di usia 10-14 tahun dan 52 persen perokok mulai merokok di usia 15-19 tahun.