Perubahan iklim nyatanya membuat sinar Matahari yang dipantulkan Bumi ke luar angkasa makin sedikit. Akibatnya, Bumi makin redup sehingga dikhawatirkan makin memicu pemanasan Bumi di masa depan.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
Kecerlangan Bumi ditentukan oleh banyaknya sinar Matahari yang dipantulkan kembali oleh awan di Bumi ke luar angkasa. Sementara, banyaknya tutupan awan juga menjadi penanda perubahan iklim. Karena itu awan bisa dijadikan medium untuk mendeteksi perubahan iklim ataupun perubahan kecerlangan Bumi.
Karena itu, mengetahui perubahan kemampuan awan Bumi memantulkan sinar Matahari dan memantau keberadaan awan menjadi poin penting dalam studi ini. Selain itu, pengamatan aktivitas Matahari diperlukan guna mengetahui seberapa besar pengaruh aktivitas Matahari itu pada kemampuan Bumi memantulkan kembali sinar Matahari tersebut.
Untuk mengukur kemampuan Bumi memantulkan kembali sinar Matahari alias perubahan kecerlangan Bumi, peneliti dari Observatorium Matahari Big Bear di California Selatan, Amerika Serikat, seperti dikutip dari Space, Jumat (1/10/2021), mengamati cahaya Bumi atau earthshine yang terlihat di permukaan Bulan saat Bulan sabit.
Jika anda melihat Bulan sabit, kadang kita masih bisa menyaksikan bagian piringan Bulan yang gelap. Cahaya pucat di piringan Bulan sabit itulah yang dinamakan earthshine. Jika cahaya Bulan sabit yang terang itu berasal dari sinar Matahari secara langsung, earthshine berasal dari sinar Matahari yang dipantulkan Bumi.
Selain itu, data lain yang dibutuhkan adalah data pengamatan albedo Bumi melalui pantauan satelit. Albedo adalah nilai yang menggambarkan perbandingan antara sinar Matahari yang sampai ke permukaan Bumi dan sinar Matahari yang dipantulkan kembali oleh permukaan Bumi ke angkasa.
Albedo Bumi yang diukur dari atmosfer bagian atas berkisar 30-35 persen. Nilai albedo Bumi itu sangat bervariasi, tergantung dari kondisi geologis dan lingkungan Bumi.
Lautan memantulkan sinar Matahari lebih sedikit dibandingkan daratan karena daratan memantulkan sinar Matahari dua kali lebih banyak dibandingkan lautan. Awan memantulkan sekitar setengah sinar Matahari yang mengenai awan, sedangkan salju memantulkan sebagian besar sinar Matahari yang jatuh di permukaannya.
Dari pengukuran yang dilakukan selama dua dekade, tim ilmuwan dari Observatorium Matahari Big Bear memperoleh data fluktuasi cahaya Bumi atau earthshine dalam skala yang terentang dari periode harian hingga dekade. Data itu juga digabungkan dengan pengamatan awan oleh program Sistem Energi Radian Awan dan Bumi (CERES) dari Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS NASA sejak 1997.
Hasilnya, kemampuan Bumi memantulkan kembali sinar Matahari selama dua dekade tersebut atau albedo Bumi turun 0,5 persen atau setara dengan 0,5 watt cahaya per meter persegi. Perubahan albedo terbesar terjadi pada tiga tahun terakhir, tahun 2017-2019.
”Penurunan albedo selama tiga tahun terakhir itu mengejutkan karena data pengamatan 17 tahun sebelumnya menunjukkan tingkat albedo Bumi datar-datar saja (relatif tidak berubah),” kata pimpinan studi Philip Goode dari Institut Teknologi New Jersey kepada Sciencedaily. Studi peredupan Bumi ini dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters, 21 Agustus 2021.
Selama masa studi itu, aktivitas Matahari mengalami dua periode maksimum dan satu kali periode minimum. Aktivitas maksimum Matahari itu biasanya ditandai dengan munculnya banyak bintik hitam di permukaan Matahari. Namun nyatanya, perubahan aktivitas Matahari itu tidak banyak memengaruhi perubahan kemampuan Bumi memantulkan sinar Matahari.
Penurunan albedo selama tiga tahun terakhir itu mengejutkan karena data pengamatan 17 tahun sebelumnya menunjukkan tingkat albedo Bumi datar-datar saja (relatif tidak berubah).
Sementara itu, hasil pantauan CERES menunjukkan hilangnya awan pada ketinggian rendah di sisi timur Samudra Pasifik atau di sebelah barat Benua Amerika. Hilangnya awan di atas lautan itu membuat sinar Matahari tidak dipantulkan kembali ke luar angkasa, tetapi langsung menembus ke permukaan Bumi.
Dampaknya, suhu permukaan air laut di timur Samudra Pasifik melonjak. Peningkatan suhu permukaan air laut itu menjadi salah satu ciri terjadinya perubahan iklim. Karena itu, perubahan kecerlangan Bumi ini diyakini akan meningkatkan laju perubahan iklim di masa depan.
”Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius,” kata ilmuwan keplantean dari Universitas California Riverside, Amerika Serikat. Pada beberapa tahapan, banyak ilmuwan berharap pemanasan Bumi akan meningkatkan jumlah awan dan menaikkan albedo Bumi hingga membuat keseimbangan baru iklim dan suhu yang moderat. ”Nyatanya, data ini justru menunjukkan kebalikannya,” katanya.