Disrupsi digital menjadi tantangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Untuk menjawab kebutuhan di masa depan, orientasi pendidikan harus diubah menjadi fokus pada pemecahan masalah dan kreativitas.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Kompas
Kuliah inaugurasi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) 2021, pada Jumat (1/10).
JAKARTA, KOMPAS—Pendidikan di Indonesia dinilai masih berorientasi untuk menyiapkan industri poin 2.0 dan dikhawatirkan gagal menjawab kebutuhan di masa depan. Karena itu, perubahan pembelajaran dibutuhkan untuk mendorong upaya pemecahan masalah dan kreativitas.
" Pendidikan di Indonesia masih berorientasi menyiapkan industri poin 2.0, yang bisa dilihat dari kompetensi, ekonomi yang diandalkan, hingga produk obyeknya. Padahal, dalam industri poin 4.0 tuntutannya lain dan tren pekerjaan ke depan berubah," kata Johannes Haryatmoko, pengajar filsafat di Universitas Sanata Dharma, dalam kuliah inaugurasinya sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) 2021, pada Jumat (1/10/2021).
Di masa depan, pekerjaan di sektor pertanian semakin turun, demikian juga pekerjaan kantor. "Layanan jasa mungkin masih bertahan, tapi yang akan berkembang adalah pekerjaan kreatif, maka startup (usaha rintisan) akan menjadi pemicu ekonomi. Ini masalah utama yang akan dihadapi pendidikan kita," ujarnya.
Pendidikan di Indonesia masih berorientasi menyiapkan industri poin 2.0, yang bisa dilihat dari kompetensi, ekonomi yang diandalkan, hingga produk obyeknya.
Dalam kuliah ini, Johannes mempresentasikan tentang bagaimana menjawab tantangan pendidikan agar anak muda bisa menghadapi disrupsi digital. Selain itu, model pembelajaran harus bisa menghadapi disrupsi inovatif, serta membantu pendidik mengubah pola pikir.
Terkait hal itu, orientasi pendidikan perlu diubah menjadi fokus pada pemecahan masalah dan kreatif inovatif. "Ini bukan berarti saya terlalu pragmatis, hanya menekankan tujuan pendidikan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Tapi, tujuan pendidikan juga berorientasi humanistik. Selain untuk menjawab tantangan sosial ekonomi, keadilan dan kemajuan ilmu pengetahuan," kata dia.
Kompas/Priyombodo
Siswa mempersiapkan karya penelitian ilmiah mereka untuk dipamerkan dan dipresentasikan pada acara pembukaan pameran pengalaman belajar dengan tema "Merdeka Belajar" oleh siswa kelas XII SMA Kanisius di Jakarta, Senin (20/1/2020). Lewat kegiatan ini, diharapkan para siswa dapat membagikan hasil penelitian mereka kepada masyarakat luas, menghasilkan perubahan yang nyata, dan mampu membangun sebuah komitmen diri menjadi pemimpin yang visioner dalam memecahkan persoalan zaman pada era revolusi industri 4.0.
Oleh karena itu, selain mendorong pendidikan bidang sains, teknologi, keteknikan matematika, liberal art perlu dikembangkan. "Seperti dilakukan China, Singapura, dan Hong Kong, mulai memperhatikan mata kuliah liberal art," ungkapnya.
Johannes menawarkan visi baru pendidikan yang harus bisa membentuk orang muda berkepribadian, berintegritas, kreatif, dan inovatif untuk menjawab profesionalisme di era disrupsi digital. Visi ini dirinci dengan pembelajar yang berhasrat untuk maju dan siap untuk belajar lagi, penyumbang kreatif, pekerja keras, serta menjadi warga negara yang kompeten, dan hidup bahagia.
Ada enam keterampilan yang dituntut dalam pendidikan yang menjawab disrupsi inovatif ke depan, meliputi keterampilan menyampaikan gagasan, penalaran analitis dan kritis, keterampilan di bidang teknologi informasi, dan keterampilan komunikasi dan kerjasama. Selain itu juga dituntut keterampilan manajemen organisasi dan jejaring, serta perencanaan dan pengorganisasian dalam kerangka inovasi.
Lumbung budaya
Pada acara yang sama, Melani Budianta, Guru Besar Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menyampaikan tentang lumbung budaya berbasis komunitas, yang menjadi kunci kekuatan warga menghadapi berbagai masalah, termasuk pandemi.
Melani menyoroti kondisi desa dan kampung kota yang selama ini cenderung dianggap sebagai komunitas yang tertinggal, tidak bisa menyesuaikan zaman, dan sumber masalah. Padahal, dalam praktik kehidupan perkotaan, pabrik-pabrik besar justru menjadi sumber masalah, misalnya dengan membenton sungai. Sebaliknya, warga kampung menanam bambu dan mengajari anak-anak untuk menghijauan lingkungan. "Contohnya banyak sekali," kata dia.
Dia juga menunjukkan banyak praktik baik di sejumlah pedesaan yang bisa membangun komunitas dengan kekuatan sendiri. Misalnya Kampung Cempluk, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, yang mampu mempertahankan kampung dan keguyuban, hingga membuat festival tahunan yang menjadi asal muasal Jaringan Kampung Nusantara.
"Intinya, teman-teman kampung ini membangun jejaring digital dan menghimpun sumber daya yang ada untuk menyenangkan warganya. Jadi indeksnya bukan pendapatan, tetapi kebahagiaan warganya," tuturnya.
Dalam paparannya, Melani mendorong agar kita mengubah paradigma pembangunan yang berbasis pertumbuhan linier dan mengikis ketahanan sebagai bangsa, dengan mencanangkan skenario lebih mencerahkan.
Pandemi dan radikalisme
Noorhaidi Hasan, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta memaparkan keterkaitan pandemi Covid-19 dengan radikalisme Islam serta demokrasi. Pandemi Covid-19 yang memicu ketidakpastian dan kekecewaan terhadap pemerintah dapat menjadi ladang subur persemaian kelompok radikal.
"Ideologi radikal menyediakan kerangka perlawanan terhadap kemapanan dengan mengartikulasi ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Sementara ilusi tentang masa depan gemilang bisa mengubah perasaan keterpinggiran menjadi kepahlawanan," ujarnya.
Kompleksitas persoalan bertambah karena masyarakat Indonesia makin terpolarisasi. "Di negara yang terpolarisasi, ketegangan akan menguat. Ruang untuk mengekspresikan gagasan dan kritik menyempit. Setiap gagasan kritis menghadapi serangan media sosial oleh influencer (pemengaruh) dan buzzer (pendengung) yang kerap memakai term kadrun dan cebong," katanya.
Kompas/Hendra A Setyawan
Mural bergambar lambang negara Garuda Pancasila menghiasi dinding sebuah gang di kawasan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (25/7/2021). Meskipun nilai-nilai Pancasila terus ditanamkan setiap saat setiap waktu, namun faktanya kini seolah Pancasila masih dijadikan etalase politik saja. Banyak hal yang bertentantangan dengan nilai-nilai Pancasila seperti korupsi yang makin subur, dan maraknya radikalisme.
Di sisi lain, beberapa lembaga survei seperti Freedom Institute menunjukkan indeks demokrasi di Indonesia juga menurun. Situasi ini, menurut Noorhadi, berisiko memperkuat radikalisme.
"Untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme kita harus perlu memperkuat dua hal: demokrasi dan pancasila. Radikalisme lekat dengan masalah ekonomi politik. Jangan kembali pada cengkeraman otorianisme sejak era Soeharto," tuturnya.
Dia menyebutkan, demokrasi merupakan hal krusial untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran, sekaligus mengakhiri ancaman radikalisme. Demokrasi juga mengandung nilai kepercayaan sosial, kewarganegaraan, pluralisme dan multikulturalisme.
Selain itu, demokrasi menolak privilege atau keistimewaan tertentu atas sekelompok pribadi atau golongan dan berdiri tegak menentang oligarki, yang memusatkan kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. "Demokrasi juga menentang keras diskriminasi dalam bentuk apa pun, termasuk terhadap kelompok minoritas," ungkapnya.
Sebagai pamungkas, Noorhadi menekankan bahwa demokrasi juga satu nafas dengan Pancasila. "Muara dari semua ini adalah terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran bersama," kata dia.