Dalam pidato inaugurasi tiga ilmuwan anggota Komisi Ilmu Kedokteran-Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia 2021, dipaparkan bahwa upaya mengatasi penyakit membutuhkan basis riset yang kuat.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya untuk mengatasi berbagai penyakit yang mengancam kehidupan manusia, termasuk pandemi Covid-19, tidak akan bisa dilakukan tanpa dukungan riset yang kuat. Riset yang dibutuhkan untuk membangun ketahanan individu dan komunitas adalah yang sinergis antara penelitian dasar dan terapan.
Pentingnya riset ini dikemukan oleh tiga ilmuwan anggota Komisi Ilmu Kedokteran-Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia 2021, dalam pidato inaugurasi mereka, secara daring, Kamis (30/9/2021). Ketiga ilmuwan tersebut, yaitu Bachti Alisjahbana dari Universitas Padjajaran, Budi Wiweko dari Universitas Indonesia, dan David Handojo dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman-BRIN.
Bachti menyampaikan tentang pentingnya kemampuan dan pemerataan diagnosis untuk mengatasi tuberkulosis, sebagaimana yang dibutuhkan terhadap penanganan Covid-19. Menurut dia, tuberkulosis merupakan penyakit yang sudah ada sejak lebih dari 3.000 tahun lalu, sebagaimana tercatat dalam praktik pengobatan kuno di India dan China, tetapi sampai sekarang masih jadi ancaman di banyak negara.
Bahkan, Indonesia saat ini menjadi negara dengan penderita tuberkulosis terbesar nomor dua di dunia, setelah India. ”Indonesia menyumbang 8,5 persen dari seluruh kasus tuberkulosis di dunia,” ujarnya.
Insiden baru kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 845.000 kasus per tahun, di mana sebanyak 33.366 adalah tuberkulosis pada anak. Dibandingkan negara lain, upaya eliminasi penyakit ini di Indonesia juga berjalan lambat.
Dalam kurun 19 tahun, Indonesia hanya bisa menurunkan tingkat insidensi tuberkulosis dari 360 per 100.000 penduduk menjadi 314 per 100.000 penduduk. Sementara itu, Vietnam bisa menurunkan insidensi dari 300 per 100.000 penduduk hingga 160 per 100.000 penduduk dalam waktu yang sama.
”Padahal, target kita bisa menurunkan 65 per 100.000 penduduk pada tahun 2030, sama dengan tingkat di Singapura saat ini,” ujarnya.
Salah satu kendala terbesar di Indonesia adalah kelemahan dalam deteksi dini, selain pelaporan yang cenderung underreported atau di bawah dari situasi terkini (real). ”Hingga tahun 2019 ada 33 persen yang belum terlaporkan, sehingga masih terus menularkan,” katanya.
Kelemahan dalam deteksi dini dan pelaporan kasus yang terjadi dalam penanganan tuberkulosis ini mirip dengan kegagalan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. ”Covid-19 menunjukkan, penapisan gejala sangat penting, demikian juga diagnosis dengan tes, ataupun pemeriksaan lain. Demikian juga pada tuberkulosis,” katanya.
Masalah di negara berkembang adalah tidak seimbang antara masalah dan kapasitas mengatasinya.
Oleh karena itu, Bahcti menyarankan, sistem kesehatan kita seharusnya memudahkan pada semua alat diagnostif sesuai tempatnya, melibatkan semua layanan kesehatan, dan fleksibel dalam penggunaan dana. ”Selain itu sangat penting terbuka menerima inovasi, teknologi, atau strategi baru, serta mandiri dalam evaluasi strategi di Indonesia,” katanya.
Penggunaan mahadata
Budi Wiweko, profesor bidang obstetri dan ginekologi, menunjukkan pentingnya translasi kedokteran presisi menuju perbaikan tingkat kesehatan publik dalam pelayanan kesehatan. ”Ini bisa dilakukan dengan teknologi jika tiap individu melaporkan datanya secara menerus,” ujarnya.
Hal ini dimungkinakan karena saat ini banyak orang telah menggunakan teknologi wearable, seperti jam cerdas, yang bisa memantau kondisi tubuh saat melakukan aktivitas keseharian, termasuk saat tidur. ”Inggris sudah menggunakan data ini untuk memantau kesehatan penduduknya,” katanya.
Di Indonesia, penggunaan data ini juga telah diterapkan dalam salah satu riset yang memanfaatkan 25.000 data ibu hamil dari BPJS. Dari data ini kemudian algoritma untuk mendeteksi risiko ibu hamil yang bakal menderita preklampsia.
”Preklampsia ini menyebakan kematian nomor satu ibu hamil di Indonesia. Data riset ini, bisa diolah untuk mendeteksi 9 bulan sebelum hamil, seorang ibu akan menderta preklamsia berat,” katanya.
Sinergitas sains
Sementara itu, David menekankan pentingnya sinergi antara riset ilmu dasar dan ilmu terapan. ”Masalah di negara berkembang adalah tidak seimbang antara masalah dan kapasitas mengatasinya. Salah satunya adalah penguasaan dan pemanfaatan pengetahuan, teknologi, dan materi yang ada. Termasuk juga menerjemahkan hasil penelitian menjadi tindakan. Kita juga terbatas dalam menciptkan pengetahuan dan cara baru,” ujarnya.
Riset yang multidisiplin, interface, dan menggunakan berbagai pendekatan, menurut David, menjadi kunci ketahanan sistem, baik di level individu atau kelompok. ”Ketahanan ini dimaknai sebagai kemampaun untuk untuk beradaptasi dan memberi respons secara efektif sehingga bisa mempertahakan kesehatan dan sembuh,” ujarnya.
Untuk memperkuat ketahanan terhadap penyakit, menurut David, pencegahan menjadi sangat penting. Misalnya, untuk mencegah terjadinya penyakit noninfeksi, faktor genetik, kebiasan merokok, minum-minuman keras, hingga pola makan menjadi sangat menentukan. Berikutnya adalah deteksi dini.
David menambahkan, terkait dalam upaya mengatasi pandemi, kesiapan menghadapinya berasosiasi erat dengan kapasitas riset dan pengembangan yang bisa menggerakkan semua sistem riset, mulai dari riset dasar sampai ke riset terapan, yang akhirnya membuahkan produksi dengan cepat. Tanpa ini, kita dinilai akan kesulitan keluar dari Covid-19, maupun mengantisipasi pandemi berikutnya.