Ironi Orang Moi Mencari Kesejahteraan lewat Sawit
Selama berpuluh-puluh tahun, suku Moi yang tersebar di Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat, tidak pernah merasakan kesejahteraan. Ini menjadi celah perusahaan sawit untuk merambah hutan mereka.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak daerah terpencil, khususnya di Indonesia timur, yang belum mendapatkan sarana dan prasarana yang layak dan memadai. Kampung Waimon di Distrik Segun, Sorong, merupakan salah satu contohnya.
Butuh waktu sekitar tujuh jam perjalanan darat dan air untuk sampai ke Kampung Waimon dari pusat Kota Sorong. Selama tiga jam waktu dihabiskan untuk perjalanan darat dan empat jam perjalanan air. Perjalanan darat harus menggunakan mobil jenis offroad, yaitu bergardan ganda yang tahan terhadap jalanan curam, bergelombang, dan berlumpur. Sementara perjalanan di air menggunakan perahu dengan kapasitas lima hingga 10 penumpang.
Hampir mustahil menempuh perjalanan satu hari pergi-pulang dari Kota Sorong ke Kampung Waimon. Selain karena jarak, perjalanan ke Waimon sangat bergantung pada kondisi alam. Jalur darat yang berlumpur akan sulit dilewati ketika hujan. Begitu juga jalur air sangat berbahaya ketika siang hingga sore hari karena gelombang tinggi.
Jika ada orang sakit di sini dan akan dibawa ke rumah sakit, sampai pantai sudah meninggal karena tidak ada akses.
Waimon dan mayoritas kampung lainnya di Distrik Segun belum tersentuh jaringan telekomunikasi. Sementara untuk memenuhi kebutuhan listrik, masyarakat Waimon masih menggunakan generator set (genset) yang alirannya tidak stabil. Infrastruktur berupa sistem panel surya memang sudah terpasang di Waimon sejak tahun lalu. Namun, panel surya tersebut sampai saat ini belum difungsikan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
Keterbatasan di Waimon tidak hanya dari aspek prasarana, tetapi juga sarana pendidikan dan kesehatan. Di Waimon hanya ada satu sekolah dasar dan belum ada satu warga pun yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Sarana kesehatan juga tidak ada di Waimon sehingga masyarakat harus menempuh jarak puluhan kilometer dengan waktu berjam-jam untuk berobat.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sorong mengategorikan Waimon sebagai kampung yang sulit mencapai sarana pendidikan dari jenjang SMP hingga perguruan tinggi. Bahkan, BPS mengategorikan Waimon sebagai kampung yang sangat sulit mencapai sarana kesehatan, baik rumah sakit, poliklinik, rawat inap, hingga apotek.
Menurut Sekretaris Kampung Waimon Demianus Yapen, belasan tahun lalu Waimon memiliki jalur darat untuk akses ke wilayah lain. Namun, jalur tersebut sudah terputus karena kondisi alam dan belum ada perbaikan kembali. Perangkat kampung pun sudah sering meminta pemenuhan sarana dan prasarana kepada pemerintah daerah, tetapi sampai saat ini belum ada realisasi nyata.
”Waimon ini sangat tertinggal. Jika ada orang sakit di sini dan akan dibawa ke rumah sakit, sampai pantai sudah meninggal karena tidak adanya akses,” ujarnya.
Dengan segala keterbatasan tersebut, dan tidak adanya perhatian dari pemerintah daerah, kesejahteraan seolah hanya menjadi angan-angan bagi masyarakat Waimon. Namun, asa untuk mencapai penghidupan yang lebih baik datang dari perusahaan yang ingin membuka lahan perkebunan sawit pada 2014.
Demianus mengakui bahwa perusahaan datang menawarkan pemenuhan sarana dan prasarana, khususnya pembukaan akses jalan dan penerangan apabila diizinkan membuka perkebunan sawit di wilayah Kampung Waimon. Meski awalnya menolak, melalui sejumlah pendekatan dan desakan dari berbagai pihak, akhirnya masyarakat dari marga Kasilit dan Malalu menandatangani persetujuan pelepasan hutan untuk perkebunan sawit.
Namun dalam perjanjian tersebut, perwakilan dari marga Malalu, Hendrikus Malalu menegaskan bahwa masyarakat tidak menjual tanah kepada perusahaan. Masyarakat hanya meminjamkan lahannya kepada perusahaan. Sementara tanah dan sumber daya alam yang diberikan kepada perusahaan tetap menjadi milik suku Moi di Waimon.
Baca juga : Orang Moi Ingin Hutannya Kembali ke Pangkuan
Namun, setelah lima tahun sejak perjanjian tersebut ditandatangani, perusahaan tak kunjung melakukan aktivitas perkebunan sawit. Perusahaan tiba-tiba datang kembali pada April 2021 dan menyatakan sanggup memberikan uang tunai Rp 150 juta kepada setiap marga, tempat tinggal berupa dua unit rumah di kota Sorong, dan biaya pendidikan.
Beberapa waktu kemudian, masyarakat akhirnya mendapatkan kabar bahwa perusahaan sawit yang beroperasi di Waimon telah dicabut izinnya oleh Pemerintah Kabupaten Sorong. Kabar tersebut tidak membuat masyarakat resah. Semua marga di Waimon mempersilakan pemerintah mencabut izin sawit. Akan tetapi, mereka tetap menuntut pemenuhan sarana dan prasarana yang masih tertinggal kepada pemerintah.
”Silakan saja pemerintah mencabut izin perusahaan sawit. Masyarakat tidak mengemis kepada perusahaan, tetapi merekalah yang datang sendiri kepada kami. Tetapi tolong penuhi akses jalan tembus ke Waimon, penerangan, dan pendidikan,” ungkap Hendrikus.
Pendekatan serupa
Pendekatan perusahaan sawit dengan menjanjikan kesejahteraan bagi orang Moi tidak hanya terjadi di Waimon, tetapi juga Kampung Gisim, Klajaring, dan Segun. Menurut pengakuan Kepala Kampung Klajaring Daniel Kayaru, perusahaan sawit yang masuk pada 2005 sepakat memberikan biaya hidup hingga pendidikan.
Dari peninjauan langsung dokumen kontrak, perusahaan juga memberikan uang Rp 500 juta yang bisa ditarik masyarakat secara bertahap. Namun sebagai balasannya, masyarakat harus memberikan lahannya seluas 13.000 hektar untuk perkebunan sawit. Dari perbandingannya, artinya 1 hektar lahan dari masyarakat hanya dihargai sekitar Rp 39.000.
”Saat perusahaan masuk, kami belum tahu dampak dari perkebunan sawit ini. Apalagi mereka menjamin biaya hidup dan pendidikan. Ternyata setelah kami baca dan melihat perkembangannya di kampung-kampung lain, perusahaan sawit ini sepertinya tidak benar menghasut kami dengan uang dan kesejahteraan,” ucap Daniel.
Ketua Umum Dewan Adat Suku Moi Paulus Safisa mengatakan, pada dasarnya kehidupan suku Moi sangat bergantung pada alam dan memiliki ikatan yang sangat erat dengan hutan. Bagi suku Moi, hutan sudah seperti ibu kandung yang melahirkan dan menyusui.
Sebagian suku Moi juga mengibaratkan hutan sebagai tulang belakang. Kehidupan suku Moi pun akan terancam apabila sudah tidak memiliki ”ibu kandung” atau ”tulang belakang” telah rusak.
Hidup suku Moi yang bergantung dari hasil hutan juga diakui Paulus telah memberikan ketahanan terhadap dampak pandemi Covid-19. Dari hasil hutan ini, kebutuhan pangan maupun pengobatan orang Moi tetap terjaga selama pandemi di saat beberapa daerah lain justru sempat terputus distribusi logistiknya karena adanya kebijakan pembatasan wilayah.
Ia pun menilai bahwa pemerintah telah gagal dalam menjaga hutan maupun sumber daya alam lainnya, khususnya di Papua sekaligus melindungi orang Moi. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya deforestasi untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Deforestasi bahkan membuat masyarakat kesulitan mencari kayu atau hasil hutan lainnya.
Kondisi perusahaan
Saat ini, suku Moi di Distrik Segun tinggal menunggu lahan yang sempat diberikan kepada perusahaan kembali ke tangan mereka. Hal ini menyusul pencabutan 14 izin perusahaan sawit dengan luasan lebih dari 200.000 hektar di Sorong termasuk Distrik Segun.
Pencabutan izin dilakukan karena perusahaan sawit tersebut tidak menjalankan kewajibannya seperti pengembangan kebun plasma hingga mengurus persyaratan hak guna usaha. Bahkan, beberapa perusahaan sudah tidak ada aktivitas dan tidak memiliki dokumen apa pun yang tercatat di Pemkab Sorong.
Kepala Dinas Perkebunan Sorong Frenky Wamafma menduga, ketiadaan dokumen perusahaan sawit yang beroperasi di bawah tahun 2015 terjadi akibat kelalaian petugas karena terdapat peleburan dinas pada 2016. Di sisi lain, perusahaan tersebut juga tidak pernah melaporkan kembali perkembangan usahanya kepada Pemkab Sorong.
”Perusahaan baru melaporkan kembali setelah ada surat keputusan pencabutan izin dari Bupati Sorong. Bahkan, izin pemanfaatan kayu dari perusahaan juga baru dimohonkan setelah pencabutan keluar. Namun, pemkab menolak dan mengembalikan permohonan izin tersebut setelah dilakukan evaluasi,” tuturnya.
Baca juga : Izin Konsesi 52.151 Hektar Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut
Agar masyarakat tidak menggantungkan hidupnya pada perusahaan sawit, Bupati Sorong Johny Kamuru berjanji akan memenuhi sarana dan prasarana di Waimon dan kampung lainnya. Pemerintah juga sudah pernah mendesak perusahaan minyak dan gas yang beroperasi di wilayah Waimon untuk membuka akses jalan ke kampung tersebut.
”Kami sudah memerintahkan Dinas Pekerjaan Umum untuk mengukur jalan sehingga dapat membuka akses ke Waimon. Ini sudah kami rencanakan dua hingga tiga tahun yang lalu sebelum adanya pencabutan perusahaan sawit. Kesejahteraan masyarakat juga tetap menjadi kewajiban pemerintah,” katanya.