Sejumlah indikator Covid-19 yang menurun diharap tak menjadikan kita euforia. Waspadai penularan akibat sejumlah pelonggaran dan kegiatan besar maupun lonjakan di negara tetangga.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus, okupansi rumah sakit, dan tingkat kematian karena Covid-19 secara nasional telah menurun. Namun, masyarakat harus tetap waspada mengingat terjadi lonjakan di negara tetangga setelah dilakukan pelonggaran kegiatan. Apalagi, saat ini sekolah tatap muka dan kegiatan melibatkan massa, seperti Pekan Olahraga Nasional, mulai berjalan.
Peringatan tentang risiko lonjakan kembali kasus Covid-19 ini disampaikan epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama, secara terpisah, Jumat (24/9/2021).
”Singapura, pada 10 Juli 2021, kasus barunya hanya enam orang dengan rata-rata tujuh hari 11 orang. Pada 23 September 2021, kasus baru naik menjadi 1.504 orang. Itu merupakan angka tertinggi negara itu sejak awal pandemi,” kata Tjandra.
Padahal, sebanyak 82 persen warga Singapura sudah mendapat vaksinasi Covid-19 secara lengkap. Menurut Tjandra, ini menunjukkan bahwa penularan masih bisa terjadi di negara yang tingkat vaksinasinya tinggi.
Saya khawatir gelombang kasus akan kembali membesar seiring pembukaan sekolah dan nanti setelah liburan akhir tahun.
”Kenaikan kasus (di Singapura) ini terjadi sesudah beberapa pelonggaran sehingga nampaknya pemerintah setempat akan mulai mempertimbangkan bagaimana bentuk pelonggaran selanjutnya,” katanya.
Menurut Tjandra, dengan penurunan kasus, pelonggaran memang dapat dilakukan. Namun, ada empat syarat yang harus dipenuhi, seperti dilakukan secara bertahap, berhati-hati, dipantau ketat dengan tes memadai, termasuk whole genome sequencing (WGS) untuk mendeteksi varian baru, dan kalau ada peningkatan maka bentuk pelonggaran perlu ditinjau kembali.
Sementara itu, laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 2.557 kasus pada Jumat, sedangkan kasus aktif turun 2.194 kasus sehingga total 45.803 kasus aktif. Adapun korban jiwa bertambah 144 orang hingga total sebanyak 141.258 orang.
Penambahan kasus ini didapatkan dari pemeriksaan terhadap 172.973 orang, dengan 35.487 orang menggunakan polimerase rantai ganda (PCR) dan 242 orang dengan tes cepat molekuler (TCM), serta sisanya menggunakan tes cepat antigen. Dengan jumlah tes ini, angka kepositifan di Indonesia dengan PCR dan TCM sebesar 5,35 persen, mendekati ambang aman WHO sebesar 5 persen.
Dicky Budiman mengatakan, angka kasus yang menurun secara nasional ini perlu disyukuri. Namun, dia mengingat lonjakan kasus bisa kembali terjadi karena tes dan lacak yang masih bermasalah, terutama di luar Jawa.
”Masih ada laporan bahwa banyak pelacakan yang tidak tepat sasaran. Kontak erat tidak dilacak, atau sebaliknya kontak erat tidak dites, guna mengejar angka positivity rate agar rendah,” katanya.
Dia mengkhawatirkan, tes dan lacak yang tidak memadai akan menyebabkan respons yang keliru, terutama adanya euforia masyarakat setelah sekian lama terbatasi aktivitasnya. Apalagi, tingkat vaksinasi di Indonesia belum merata.
”Saya khawatir gelombang kasus akan kembali membesar seiring pembukaan sekolah dan nanti setelah liburan akhir tahun,” katanya.
Laporan terbaru WHO tentang situasi Covid-19 di Indonesia juga menyoroti tentang masih rendahnya vaksinasi di sejumlah daerah. ”Mengacu data per 22 September, provinsi dengan persentase tertinggi tenaga kesehatan yang tidak divaksinasi (zero dose) adalah Papua (611 orang atau 3,1 persen),” sebut laporan ini.
Selain itu, sebanyak 30 dari 34 provinsi, lebih dari 60 persen populasi lanjut usia belum divaksinasi. Lima provinsi yang memiliki proporsi populasi lanjut usia yang tidak divaksinasi lebih besar dari atau sebesar 90 persen, antara lain, Sumatera Barat, Aceh, Papua, Maluku Utara, dan Lampung.
Antisipasi PON
Sementara itu, epidemiolog kolaborator LaporCovid-19, Iqbal Elyazar, dalam diskusi daring, mengingatkan bahwa penyelenggaraan acara besar seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021 berisiko meningkatkan penularan. Diperkirakan sebanyak 6.300 atlet, 3.000 orang tim (official), dan 9.000 pendukung acara bakal terlibat kegiatan ini.
Sekalipun pemerintah mensyaratkan seluruh pihak yang terlibat dalam PON sudah divaksin dan melaksanakan protokol kesehatan yang ketat saat acara berlangsung, tingkat vaksinasi masyarakat di Papua masih rendah. ”Baru 14 persen masyarakat di Papua yang sudah menerima dosis vaksin kedua,” katanya.
Selain itu, vaksinasi juga tidak menjamin infeksi tidak terjadi sehingga 3T (tes, lacak, dan perawatan) dan disiplin protokol kesehatan tetap menjadi kunci. Terkait dengan positivity rate yang rendah di kota dan kabupaten penyelenggara, Iqbal mengingatkan, ”Tidak ada informasi terkait dengan sumber spesimen sehingga bisa jadi positivity rate yang rendah ini data yang semu.”
Iqbal memberi contoh Olimpiade di Tokyo beberapa waktu lalu yang telah menyebabkan peningkatan kasus pada atlet dan panitia penyelenggara. Padahal, Jepang sudah menggunakan aplikasi yang mengawasi pergerakan orang, adanya panitia yang mengawasi protokol kesehatan ketat, serta tes dilakukan setiap hari.
Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Papua Hasmi mengatakan, empat venue PON masuk kategori zona merah dengan cakupan vaksin yang rendah. Namun, positivity rate per pekan ini di daerah ini tiba-tiba menurun menjadi 1,42 persen, padahal sebelumnya selalu di atas 15 persen.
”Sementara itu, rasio lacak hanya 1:2,47, padahal menurut WHO untuk 1 kasus perlu dicari 30 kontak erat. Ini masih sangat jauh,” kata Hasmi.
Hasmi menambahkan, dari 24 kabupaten di Papua yang memiliki kasus Covid-19, hanya 6 kabupaten atau 25 persen yang memiliki alat PCR, yang sebagian besar ada di Kota Jayapura. ”Tidak hanya itu, ada juga tantangan lain, yaitu sering kali alat PCR rusak. Jumlah nakes yang melakukan tracing (pelacakan), vaksinasi juga hanya 51 persen,” ujar Hasmi.