Polusi Udara Membunuh 7 Juta Orang Per Tahun, WHO Terbitkan Pedoman Baru
WHO merilis pedoman baru akan kualitas udara. Pengetatan ini mengingat polusi udara menimbulkan jutaan kematian dini umat manusia.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Kondisi udara di kawasan Grogol, Jakarta Barat, Jumat (4/6/2021). Polusi udara di Jakarta hingga kini masih tinggi dan beberapa kali melebihi baku mutu nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Polusi udara menjadi salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia yang menyebabkan 7 juta kematian dini per tahun. Menyikapi hal ini, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengeluarkan pedoman baru tentang tingkat kualitas udara yang lebih rendah untuk enam polutan, termasuk ozon, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida.
”Hampir semua orang di seluruh dunia terpapar polusi udara dengan tingkat yang tidak sehat,” kata Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat merilis pedoman baru ini pada Rabu (22/9/2021).
Menurut dia, menghirup udara kotor meningkatkan risiko penyakit pernapasan, seperti pneumonia dan asma, serta meningkatkan risiko Covid-19 yang parah. Paparan polusi udara dinilai beban penyakitnya setara dengan merokok dan makan tidak sehat.
Menurut laporan WHO, kualitas udara meningkat tajam sejak tahun 1990-an di negara-negara berpenghasilan tinggi. Namun, korban global dalam kematian dan yang mengalami sakit tidak menurun karena kualitas udara memburuk di sebagian besar negara lain, sejalan dengan perkembangan ekonomi mereka.
Pada pedoman baru, kadar PM2,5 harian (24 jam) menjadi 15 mikrogram per meter kubik. Pedoman sebelumnya sebesar 25 mikrogram. Standar di Indonesia, 55 mikrogram per meter kubik.
”Setiap tahun, paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan 7 juta kematian dini dan mengakibatkan jutaan orang sakit,” kata WHO.
Pada anak-anak, polusi udara bisa menurunkan pertumbuhan dan fungsi paru-paru, infeksi pernapasan, serta asma yang memburuk. Pada orang dewasa, hal ini memicu penyakit jantung iskemik atau juga disebut penyakit jantung koroner dan stroke yang menjadi penyebab paling umum kematian dini akibat polusi udara di luar ruangan.
Bukti-bukti juga menunjukkan, polisi udara bisa memberi efek lain, seperti diabetes dan kondisi neurodegeneratif. ”Polusi udara memengaruhi semua bagian tubuh, mulai dari otak hingga bayi yang sedang tumbuh di dalam rahim ibu,” kata Tedros.
Pedoman baru
WHO terakhir mengeluarkan pedoman kualitas udara atau AQGs pada 2005, yang memiliki dampak signifikan pada kebijakan pengurangan polusi di seluruh dunia. Namun, 16 tahun sejak itu, WHO menyatakan lebih banyak bukti telah muncul yang menunjukkan polusi udara memengaruhi kesehatan pada konsentrasi yang lebih rendah daripada yang dipahami sebelumnya.
”Bukti yang terkumpul cukup untuk membenarkan tindakan untuk mengurangi paparan populasi terhadap polutan udara utama, tidak hanya di negara atau wilayah tertentu, tetapi juga dalam skala global,” kata organisasi itu.
Pedoman baru dibuat menjelang KTT Iklim COP26 yang diadakan di Glasgow dari 31 Oktober hingga 12 November. WHO menyatakan bahwa di samping perubahan iklim, polusi udara adalah salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia.
Kepala Perubahan Iklim WHO, Maria Neira mengatakan WHO sedang mempersiapkan laporan untuk dipresentasikan di Glasgow untuk menekankan ”manfaat kesehatan yang sangat besar” dari pengurangan polusi udara melalui mitigasi perubahan iklim. Pedoman WHO yang baru merekomendasikan tingkat kualitas udara yang lebih rendah untuk enam polutan, termasuk ozon, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida.
Dua lainnya adalah PM10 dan PM2,5, partikel yang berdiameter sama atau lebih kecil dari 10 dan 2,5 mikron. Kedua partikel ini a dapat menembus jauh ke dalam paru-paru, tetapi para peneliti mengatakan, PM2,5 bahkan dapat memasuki aliran darah, tidak hanya menyebabkan masalah kardiovaskular dan pernapasan, tetapi juga memengaruhi organ lain.
Pada pedoman baru, kadar PM2,5 harian (24 jam) menjadi 15 mikrogram per meter kubik. Pedoman sebelumnya sebesar 25 mikrogram. Di Indonesia, Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, baku mutu udara ambien nasional harian PM2,5 sebesar 55 mikrogram per milimeter kubik.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivis Gerakan Jeda untuk Iklim aksi damai sebelum dimulainya sidang pembacaan putusan gugatan polusi udara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (16/9/2021).
Pekan lalu, 16 September 2021, dalam putusan sidang gugatan warga negara, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa tujuh pejabat negara, termasuk Presiden Republik Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta, bertanggung jawab atas pencemaran udara di ibu kota Jakarta. Para pejabat ini diminta memperbaiki kualitas udara di Jakarta guna melindungi kesehatan masyarakat.
Pejabat lain yang dituntut bertanggung jawab yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Banten, serta Gubernur Jawa Barat.