Dukungan Psikososial Diperlukan bagi Orang dengan Epilepsi
Dukungan psikososial amat dibutuhkan bagi orang dengan epilepsi. Selain masalah medis, orang dengan epilepsi juga rentan mengalami masalah sosial dan psikologis yang dapat berpengaruh pada kualitas hidup mereka.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma yang masih tinggi membuat orang dengan epilepsi tidak hanya mengalami masalah medis, tetapi juga tekanan psikososial. Kehadiran kelompok pendukung amat dibutuhkan dan kesadaran masyarakat terkait dengan penyakit epilepsi juga perlu ditingkatkan.
Dewan Penasihat Yayasan Epilepsi Indonesia Irawaty Hawari di Jakarta, Kamis (23/9/2021), mengatakan, banyak permasalahan psikososial timbul dari orang dengan epilepsi. Banyak masyarakat yang masih menghubungkan epilepsi dengan hal mistis. Selain itu, tidak sedikit yang menganggap epilepsi sebagai penyakit menular.
”Stigma serta mitos yang ada membuat orang dengan epilepsi tidak bisa mendapatkan perawatan dan pengobatan yang optimal. Keluarga cenderung malu dan menutupi anggota keluarganya yang memiliki epilepsi,” katanya.
Stigma tersebut, kata Irawaty, juga menyebabkan orang dengan epilepsi dikeluarkan dari sekolah atau tempatnya bekerja. Kesempatan bekerja dan sekolah pun menjadi minim bagi orang dengan epilepsi.
Kondisi tersebut turut memengaruhi kualitas hidup dari orang dengan epilepsi. Dari survei yang dilakukan oleh Yayasan Epilepsi Indonesia, faktor sosial paling besar memengaruhi kualitas hidup dari orang dengan epilepsi, yakni sebesar 52 persen. Faktor lainnya yang turut memengaruhi ialah faktor medis (38 persen) dan faktor psikologis (10 persen).
”Untuk itulah, adanya komunitas pendukung sangat dibutuhkan oleh orang dengan epilepsi. Mereka membutuhkan wadah untuk sharing dan berdiskusi akan kondisi yang dialami. Komunitas pendukung ini juga diperlukan oleh keluarga,” ujar Irawaty.
Selain itu, ia mengatakan, penyebaran informasi yang benar tentang penyakit epilepsi perlu ditingkatkan, baik melalui tulisan maupun media sosial. Keluarga, masyarakat, guru, dan pemerintah harus berperan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan penyakit epilepsi.
Stigma serta mitos yang ada membuat orang dengan epilepsi tidak bisa mendapatkan perawatan dan pengobatan yang optimal.
Menurut Irawaty, pertolongan pertama pada orang dengan epilepsi juga merupakan hal penting yang perlu diketahui masyarakat. Kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat ialah memasukkan sendok atau benda lainnya ke dalam mulut orang dengan epilepsi yang sedang kejang. Hal ini justru berbahaya apabila benda tersebut sampai masuk ke dalam mulut.
Ketika mengalami kejang, hal pertama yang harus diperhatikan ialah menjauhkan benda-benda berbahaya di sekitar orang dengan epilepsi. Pastikan pula jangan menahan atau melawan gerakan kejang yang terjadi. Biasanya, kejang akan berhenti dengan sendirinya.
”Setelah kejang berhenti, orang dengan epilepsi akan mengalami kebingungan. Karena itu, kita hanya perlu menemaninya saja. Namun, apabila kejang yang terjadi cukup lama, sebaiknya segera bawa ke rumah sakit,” kata Irawaty.
International League Against Epilepsy (ILAE) mencatat, ada sekitar 60 juta orang dengan epilepsi di dunia. Sementara di Indonesia ada sekitar 2 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen epilepsi yang terjadi akan bermanifestasi menjadi bangkitan atau kejang fokal.
Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (Perdossi) Aris Catur Bintoro menjelaskan, manifestasi klinis dari kejang atau bangkitan epileptik bervariasi. Orang dengan epilepsi bisa mengalami kejang umum, kejang fokal, atau kejang kombinasi dari keduanya.
Kejang umum terjadi apabila melibatkan seluruh otak sejak awal dengan manifestasi mengalami gangguan kesadaran, gerak motorik bilateral, serta kejang terjadi secara bersamaan. Sementara kejang fokal terjadi apabila gangguan dimulai dari sebagian otak dan gejala hanya muncul pada sebagian tubuh. Itu, misalnya, hanya pada wajah, lengan, tungkai, atau gejala psikis.
Aris menyampaikan, epilepsi merupakan kelainan kronik pada otak yang ditandai dengan kejang atau bangkitan yang terus-menerus. Kondisi ini berpengaruh pada kondisi neurologis, kognisi, psikologi, dan sosial. Kejang pada epilepsi minimal terjadi sekali.
Ia mengatakan, sejumlah langkah perlu dilakukan untuk mendiagnosis pasien epilepsi. Langkah pertama melalui proses anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, seperti electroencephalogram EEG dan magnetic resonance imaging (MRI). Adapun anamnesis yang biasa ditanyakan oleh dokter, antara lain, ialah waktu epilepsi atau kejang pertama kali muncul, lama waktu kejang terjadi, serta bagian tubuh apa saja yang mengalami kejang.
”Diagnosis ini diperlukan untuk menentukan terapi yang dibutuhkan oleh pasien. Terapi bisa dilakukan dengan obat, non-obat, serta pembedahan,” kata Aris.
Terkait dengan terapi non-obat, ia mengatakan, diet ketogenik bisa menjadi pilihan. Terapi ini dilakukan dengan mengatur pola diet yang tinggi lemak pada pasien. Protein yang dikonsumsi juga harus cukup dengan kandungan karbohidrat yang sangat rendah. Pada pola diet ini, asupan lemak bisa mencapai 60-70 persen, sedangkan umumnya asupan lemak sekitar 20-30 persen. Meski begitu, terapi ini harus berada dalam pengawasan dokter.