Tidak hanya pada kesehatan dan ekonomi, pandemi Covid-19 juga telah berdampak pada ketahanan pangan keluarga. Dalam jangka panjang ini bisa menyebabkan kelaparan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah memperburuk situasi kerawanan pangan, termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat. Survei terbaru menemukan hampir 15 persen rumah tangga di AS melaporkan kerawanan pangan selama pandemi Covid-19.
Rumah tangga yang memiliki anak lebih berisiko lagi, yaitu sebanyak 18 persen melaporkan rawan pangan. Padahal, sebelum pandemi, sekitar 11 persen rumah tangga di AS rawan pangan, tidak memiliki akses yang konsisten pada makanan yang cukup, baik dalam kualitas maupun kuantitas, untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
Survei yang dilakukan melalui media sosial oleh para peneliti di NYU School of Global Public Health ini dipublikasikan di Nutrition Journal. ”Kerawanan pangan selain dapat menyebabkan kelaparan, lama-kelamaan, bisa juga menyebabkan obesitas dan disregulasi metabolik terkait lainnya,” kata Niyati Parekh, profesor nutrisi kesehatan masyarakat di NYU School of Global Public Health sekaligus penulis utama studi tersebut, dalam keterangan pers, Rabu (22/9/2021).
Menurut Parekh, pandemi telah secara signifikan mengubah lanskap makanan kita, dengan pengangguran yang tinggi menghasilkan antrean panjang di bank makanan, gangguan dalam rantai pasokan, dan penguncian yang mendorong beberapa konsumen untuk menimbun bahan makanan. Selain itu, penutupan sekolah mempersulit 30 juta anak yang bergantung pada program Makan Siang Sekolah Nasional di AS untuk mengakses makanan murah atau gratis.
Temuan kami menggambarkan peningkatan kerawanan pangan di awal pandemi, terutama di antara keluarga dengan anak-anak.
Dalam kajian ini, peneliti menggunakan media sosial untuk mengukur kerawanan pangan. Mereka membuat dan melakukan survei daring pada pertengahan April 2020, merekrut peserta melalui Facebook dan Instagram.
Mereka menyurvei lebih dari 5.600 orang dewasa dari seluruh negeri yang 25 persen di antaranya memiliki anak di rumah untuk menilai kerawanan pangan mereka menggunakan kuesioner enam hal yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian AS.
Para peneliti menemukan bahwa 14,7 persen peserta melaporkan memiliki ketahanan pangan yang rendah atau sangat rendah di rumah tangga mereka. Angka ini bertambah menjadi 17,5 persen di antara rumah tangga dengan anak-anak.
Mereka yang menganggur, memiliki pendidikan rendah, dan berpenghasilan rendah lebih cenderung rawan pangan. Tinggal di daerah perkotaan versus pedesaan tidak terkait dengan kerawanan pangan.
”Dibandingkan dengan populasi umum AS, sampel survei kami tentang pengguna media sosial didominasi kulit putih dan memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi. Meskipun demikian, temuan kami menggambarkan peningkatan kerawanan pangan di awal pandemi, terutama di antara keluarga dengan anak-anak,” kata Parekh.
Para peneliti menyerukan pendekatan jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi kerawanan pangan di AS, termasuk perubahan kebijakan seperti perluasan kupon makanan. Mereka juga sedang dalam proses mengembangkan alat inovatif untuk mencegah sisa makanan dibuang ke tempat sampah dan sebaliknya, menyalurkannya ke keluarga yang membutuhkan.
”Studi menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari semua makanan secara global terbuang, terutama makanan padat nutrisi seperti buah-buahan, sayuran, dan susu,” kata Parekh. ”Bagaimana kita bisa mengalihkan makanan, terutama yang mudah rusak, dari yang terbuang dan mengalihkannya ke mereka yang rawan pangan?”
Parekh dan rekan-rekannya di kelompok riset Nutrisi Kesehatan Masyarakat NYU membuat aplikasi seluler yang disebut Food2Share yang dirancang sebagai pasar digital untuk menghubungkan restoran lokal dengan individu yang rawan pangan. Setelah aplikasi diluncurkan, orang akan dapat mengklaim makanan dari restoran lokal yang bersedia memberikan makanan gratis atau diskon tinggi yang disumbangkan oleh pelanggan lain.
Prototipe aplikasi dijelaskan dalam jurnal tahunan Komite Tetap Sistem PBB tentang Nutrisi pada 23 September ini. ”Meningkatkan inisiatif ini dan upaya penyelamatan pangan lainnya dengan menggunakan teknologi dan menerapkannya pada konteks global dapat membantu mengurangi kerawanan pangan yang telah kita saksikan selama krisis,” katanya.
Kondisi global
Laporan terbaru dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), 2021, menunjukkan, sistem pangan dunia saat ini tengah menghadapi masalah serius. Satu dari sepuluh orang kekurangan gizi dan pada saat yang sama satu dari empat orang kelebihan berat badan. Lebih dari sepertiga populasi dunia tidak mampu membeli makanan yang sehat. Situasi ini diperburuk oleh pandemi Covid-19 yang menyebabkan jumlah orang yang kelaparan pada 2020 meningkat 15 persen dibandingkan dengan 2019.
Sejauh ini kajian tentang kaitan pandemi dengan kerawanan pangan belum ada. Namun, sesuai laporan Konsorsium Pangan Bijak (2021), berdasarkan pantauan media massa di Indonesia pada periode April-Mei 2020, diketahui sekurangnya terdapat 11 keluarga yang mengalami kelaparan. Kasus tersebut muncul di Jakarta, Depok, Bogor, Bandung, Medan, Muara Enim, Batam, Pekanbaru, Maluku, Bengkalis, dan Polewali Mandar.