Ilmu Sosial Humaniora Penting untuk Respons Pandemi
Mengatasi Pandemi Covid-19 tidak cukup hanya dari aspek medis saja. Kajian sosial humaniora bisa dimanfaatkan untuk menyusun kebijakan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ilmu sosial humaniora perlu menjadi salah satu basis penanganan pandemi Covid-19. Kompleksitas kelompok rentan dalam menghadapi pandemi dapat dikaji dengan ilmu tersebut. Kajian itu diharapkan menjadi dasar menyusun kebijakan yang tepat sasaran.
Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani, penanganan pandemi membutuhkan perspektif luas, tidak cukup hanya dari aspek medis. Memahami resistensi sebagian kelompok terhadap vaksin, penolakan pemakaman dengan protokol kesehatan, hingga penolakan beribadah di rumah bisa dikaji secara sosial humaniora (soshum). Sebab, sebagian hambatan penanganan pandemi berlatar faktor agama, budaya, dan sosial masyarakat.
Kajian soshum juga untuk memahami kerentanan kelompok minoritas selama pandemi. Kerentanan yang mereka alami tidak hanya secara soal ekonomi, tetapi juga sosial. Hal ini tampak dari diskriminasi etnis tertentu selama pandemi karena dianggap sebagai sumber virus. Situasi ini membuat posisi kelompok minoritas semakin rentan.
“Kita perlu melihat berbagai karakter sosial budaya di masyarakat untuk mengatasi pandemi,” kata Najib pada diskusi daring Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi COVID-19?, Selasa (21/9/2021). “Pendekatan soshum membuat kita tetap menjadi manusia, tidak memperlakukan manusia lain seakan mereka tidak punya akar dan koneksi dengan manusia lain,” tambahnya.
Diskusi ini dihadiri pula antara lain oleh Team Leader Knowledge Setor Initiative (KSI) Jana Hertz, peneliti seni dan budaya Universitas Negeri Jakarta Aprina Murwanti, peneliti ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto, dan peneliti kesehatan Universitas Hasanuddin Sudirman Nasir.
Perempuan
Ilmu soshum juga menjadi landasan memahami ketimpangan sosial yang semakin nyata saat pandemi, utamanya terhadap perempuan. Peneliti pendidikan dari Universitas Negeri Semarang Zulfa Sakhiyya mengatakan, pandemi memperjelas ketimpangan itu. Di ranah pendidikan tinggi, dosen perempuan mengalami beban ganda karena harus bekerja sekaligus menangani urusan domestik di rumah. Situasi ini menjadikan perempuan sebagai kelompok rentan.
Pembelajaran jarak jauh menuntut mereka mendesain ulang sistem pembelajaran. Mereka juga harus mendampingi anak belajar di rumah. Akibatnya, kinerja dan produktivitas akademik mereka turun. Kesehatan fisik dan mental pun ikut terdampak.
Kerentanan juga dialami guru pendidikan anak usia dini (PAUD) yang didominasi perempuan. Sebagian dari mereka mengajar secara sukarela atau digaji di bawah upah minimum regional (UMR). Sebagian mereka dipecat atau dinonaktifkan selama pandemi.
Di sisi lain, pandemi meningkatkan kerentanan anak perempuan. Komnas Perempuan mencatat angka pernikahan anak di bawah umur naik hingga 300 persen selama pandemi. Menikahkan anak perempuan dianggap bisa mengurangi beban ekonomi keluarga. Padahal, pernikahan anak berisiko terhadap tingginya angka kematian ibu, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, hingga anak lahir stunting atau tengkes.
“Perkawinan anak di bawah umur merenggut hak kemerdekaan akan pendidikan dan menutup hak aktualisasi anak di masa depan,” ucap Zulfa.
Untuk mengatasinya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) perlu segera disahkan karena di situ perkawinan anak dianggap pemaksaan. Edukasi dan pendampingan sosial juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran publik akan bahaya pernikahan anak.
Sementara itu, dosen dan guru perempuan dinilai perlu diberi jaminan kerja tanpa mempertimbangkan statusnya sebagai ASN, pekerja tetap, maupun pekerja lepas. Bantuan sosial juga dibutuhkan.
Masyarakat adat
Selain perempuan, masyarakat adat juga merupakan salah satu kelompok rentan saat pandemi. Pada 2020, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat di Indonesia. Kasus ini umumnya konflik agraria.
Konflik tersebut dipicu banyaknya wilayah adat yang belum diakui negara. Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat total wilayah adat di Indonesia mencapai 12,4 juta hektar. Namun, wilayah yang sudah disertifikasi baru sekitar 563.000 hektar.
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Maksum Syam mengatakan, identitas masyarakat adat memang sudah diakui negara. Namun, ini tidak diikuti pengakuan atas wilayah adat mereka. Padahal, wilayah adat jadi sumber kehidupan masyarakat adat.
Di sisi lain, posisi masyarakat adat rentan karena ada tumpang tindih klaim penguasaan wilayah adat. Problem meluas dengan adanya kebijakan pemerintah berbasis kawasan, seperti kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) dan food estate.
“Pandemi tidak mengakhiri konflik agraria. UU Cipta Kerja dan aturan-aturan turunannya memberi tempat pada pengembangan ekonomi berskala besar. Sementara itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat mandek. Padahal, RUU itu memberi kepastian dan melindungi masyarakat adat,” tutur Maksum.
Masyarakat adat sebenarnya punya modal sosial untuk menghadapi pandemi. Dengan kearifan lokal masing-masing, masyarakat adat mampu menjaga ketahanan pangan, mencegah penyebaran penyakit, hingga menjaga alam.
“Modal ini hanya bisa optimal jika tidak ada gangguan dari luar, seperti konsesi sumber daya alam yang tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat. Butuh kebijakan yang berpihak pada mereka,” ucapnya
Kebijakan publik
Menurut Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Sri Fatmawati, kelompok rentan kerap terlupakan dalam proses penyusunan kebijakan publik. Selain perempuan dan masyarakat adat, kelompok rentan juga termasuk difabel, penyandang penyakit kronis, dan kelompok agama dan keyakinan minoritas. Hal ini dapat memperdalam ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
Penyusunan kebijakan yang berpihak ke kelompok rentan dibutuhkan. Untuk itu, kajian soshum diperlukan.
“Dengan ilmu ini, kita akan memahami fenomena sosial, memecahkan masalah, dan mengomunikasikan berbagai masalah itu ke pemangku kebijakan. Ini agar kebijakan efektif dan bisa beradaptasi ke perubahan masyarakat,” ucap Sri.
Kepercayaan pemerintah terhadap ilmuwan dalam menyusun kebijakan dinilai masih perlu ditingkatkan. Padahal, kontribusi mereka bisa membantu penyusunan kebijakan yang berbasis bukti ilmiah dan tepat sasaran. Kebijakan yang tepat akan turut menyokong penanganan pandemi yang optimal.