Endang Sukara Setia Mengkaji Keanekaragaman Hayati
Endang Sukarna mengabdikan dirinya untuk penelitian keanekaragaman hayati di Indonesia.

Endang Sukara
Selama hampir 50 tahun, Endang Sukara (69) masih tetap setia mencurahkan hati dan pemikirannya untuk mengkaji keanekaragaman hayati Indonesia yang melimpah. Ia meyakini bahwa keanekaragaman hayati harus terus diteliti agar diketahui manfaatnya tidak hanya untuk masyarakat Indonesia, tetapi seluruh umat manusia di dunia.
Tidak pernah terlintas di pikiran Endang menjadi seorang peneliti bioteknologi hingga meraih gelar profesor riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sama seperti bocah pada umumnya, semasa kecil Endang bercita-cita menjadi dokter. Namun, keterbatasan biaya membuat ia akhirnya memutuskan menimba ilmu di Fakultas Biologi Universitas Nasional (Unas), Jakarta, setelah lulus dari SMAN 2 Tasikmalaya pada 1972 silam.
“Saat itu saya juga belum tahu akan melakukan apa setelah masuk Fakultas Biologi. Tetapi iklim kampus Unas yang nyaman didukung kedekatan dari senior dan dosen membuat saya mulai fokus mendalami ilmu biologi,” ujarnya saat berbincang dengan Kompas, pekan lalu.
Kecintaan dan kegigihan Endang menempuh ilmu di bidang biologi dimulai saat ia menjadi rekanan peneliti asing dari University of California, Los Angeles untuk meneliti orang utan di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah pada 1974. Dari sinilah Endang dikenalkan cara melakukan penelitian. Ia meneliti tingkah laku dari jenis primata selain orang utan di Tanjung Puting selama sembilan bulan.
Berbekal pengalamannya mengikuti sejumlah penelitian dan berbagai kegiatan kemahasiswaan berbasis sains, Endang kemudian memutuskan bergabung dengan LIPI pada 1977. Saat itu, LIPI tengah membuka perekrutan peneliti dari sarjana muda. Bergabung dengan LIPI menjadi kebanggaan tersendiri untuk Endang karena pamor dan karisma lembaga sains tersebut yang tengah meningkat.

Tanaman Begonia aketajawensis berbunga di kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Tidore Selatan, Maluku Utara, Minggu (25/3/2018). Begonia aketajawensis yang memiliki bentuk kecil dan tumbuh merayap merupakan salah satu tumbuhan endemik di Pulau Halmahera.
Endang akhirnya diterima di LIPI dengan status masih menjalani program perkuliahan tingkat sarjana. Karir penelitian Endang di LIPI tidak langsung fokus di bidang mikrobiologi. Endang diminta untuk melakukan reorientasi di Lembaga Biologi Nasional dengan fokus bidang herbarium, museum zoologi, dan kebun raya. Ia pun memilih fokus di bidang kebun raya.
Kesempatan berkarir di LIPI tidak disia-siakan Endang. Ia kemudian mengembangkan adiabatic decomposition, sebuah metodologi khusus untuk mengetahui bagaimana terjadinya proses pengomposan. Metode ini dilakukan menggunakan media termos skala kecil tetapi proses pengomposan yang terjadi seperti timbunan sampah besar dengan suhu mencapai 90 derajat celcius.
Setelah lulus pada tahun 1979, karir penelitian Endang kemudian fokus ke bidang mikrobiologi. Ia mendapat ilmu dan pengalaman yang besar di bidang mikrobiologi saat menjalani pelatihan selama tiga bulan di lembaga ilmu pengetahuan di Filipina pada 1980. Kegiatan utama Endang saat menjalani pelatihan itu ialah membuat benih, budidaya, hingga pemanenan segala jenis jamur yang bisa dikonsumsi.
Saat Endang pulang ke Indonesia, ia menuangkan semua hasil ilmu dan pengalaman budidaya jamur dari Filipina ke dalam sebuah buku berjudul "Cara Bertanam Jamur Merang". Buku ini diakui Endang sebagai awal karirnya mendalami bidang mikrobiologi lingkungan.
Endang semakin tertarik mendalami mikrobiologi saat melanjutkan studi di University of Queensland, Australia pada 1981. Namun, ia juga mempelajari bidang lain seperti taksonomi, fisiologi mikroba, hingga keteknikan.

Anggrek Langka - Paphiopedilum atau anggrek selop, salah satu jenis anggrek endemik Jawa Timur yang keberadaannya mulai langka, Jumat (28/10). Anggrek langka ini dikonservasi di Kebun Raya Purwodadi Pasuruan.
Minat keorganisasian Endang pun masih tetap melekat saat berkuliah di Queensland. Tercatat ia pernah menjadi sekretaris jenderal Himpunan Peneliti Pelajar Indonesia di Australia dan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia.
"Setelah pulang ke Indonesia saya kembali ke LIPI dan dibebani persoalan birokrasi. Tetapi kegiatan penelitian tetap saya lakukan. Fokus penelitian saya yang belum banyak dilakukan di Indonesia yaitu mencoba mengkonversi tepung ubi kayu menjadi protein dengan menggunakan mikroba ragi tempe," ucapnya.
Karir dan penghargaan
Selama berkiprah di dunia saintis sejak 1977, tercatat Endang telah memublikasikan 15 jurnal internasional, 26 jurnal nasional, 16 buku, dan 2 paten.
Ilmu dan pengalaman panjang Endang di bidang bioteknologi ini membuat ia ditunjuk sebagai Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Bioteknologi LIPI tahun 1997. Pada 2001, Endang dipercaya menjabat sebagai Deputi Kepala LIPI bidang Ilmu Hayati. Selain itu, ia juga banyak terlibat sebagai dewan penasihat di bidang biodiversitas di Indonesia.
Tidak hanya karier yang cemerlang, berbagai penghargaan dari sejumlah pihak dan lembaga juga turut menyertai Endang. Penghargaan yang ia raih antara lain Bintang Jasa Pratama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2006, ASEAN Meritorius Award 2009, Australian Alumni Award dari Kedutaan Besar Australia 2011, Queensland University Award 2012, dan International Alumnus of the Year dari University of Queensland, Australia, 2014.

Pelaksana harian (Plh) Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agus Haryono (kiri) memberikan penghargaan LIPI Sarwono Award tahun 2021 kepada profesor riset bidang mikrobiologi Endang Sukara secara daring, Senin (23/8/2021).
Terbaru pada Agustus lalu, Endang dan profesor riset bidang taksonomi Dwi Listyo Rahayu, mendapat penganugerahan LIPI Sarwono Award XIX 2021. Mereka dinilai berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama terkait keanekaragaman hayati di Indonesia.
Namun, di balik semua penghargaan yang telah Endang raih, ia masih menyimpan semangat dan cita-cita untuk mengkaji berbagai manfaat spesies tumbuhan yang ada di Indonesia. Sebab, sampai saat ini masih banyak spesies tumbuhan di Indonesia yang diprediksi memiliki manfaat untuk berbagai bidang termasuk kesehatan tetapi belum dikaji lebih dalam oleh para peneliti dalam negeri.
"Indonesia mempunyai peluang untuk menghasilkan nilai ekonomi hingga miliaran dolar dengan mengembangkan tumbuhan khas Indonesia atau endemik yang tidak ditemui di negara manapun. Tumbuhan ini tidak hanya berpotensi menghasilkan nilai ekonomi, tetapi juga memperbaiki lingkungan. Semua ini bisa didapat hanya bermodalkan karbondioksida, air, dan tanah vulkanik," katanya.
Dengan segala kerendahan hati, Endang bahkan memandang dirinya gagal sebagai seorang ilmuwan bidang biologi karena belum bisa mengangkat harkat dan martabat tumbuhan endemik Indonesia di dunia. Padahal, tumbuhan endemik Indonesia memiliki daya saing dan fasilitas Herbarium Bogoriense di Cibinong, Bogor, memiliki koleksi tumbuhan terlengkap serta terbesar ketiga di dunia.
Ia berharap, ke depan ada sebuah perubahan fundamental untuk membuat masyarakat menyadari pentingnya keanekaragaman hayati khususnya tumbuhan yang dimiliki Indonesia sejak dini. Dengan begitu, ketertarikan masyarakat untuk meneliti tumbuhan semakin meningkat dan dengan dukungan fasilitas yang memadai akan muncul peneliti-peneliti muda baru yang kompeten. Tumbuhan Indonesia pun akan mulai dipandang dan manfaatnya bisa dirasakan oleh jutaan umat manusia di dunia.
Endang Sukara
Lahir : Tasikmalaya, Jawa Barat, 9 September 1952
Pekerjaan :
- Profesor Riset Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
- Guru Besar Fakultas Biologi Universitas Nasional
Pendidikan :
- S1 Universitas Nasional
- S2 Universitas Nasional
- S3 University of Queensland
Penghargaan :
- Bintang Jasa Pratama 2006
- ASEAN Meritorius Award 2008
- Australian Alumni Award 2011
- International Alumnus of The Year University of Queensland 2014
- LIPI Sarwono Award XIX 2021