Mencari Sistem Pangan yang Menjawab Masa Depan
Beban ganda gizi, kondisi lingkungan yang rusak, dan akses terhadap pangan yang tidak merata adalah berlapis masalah pangan global. Saatnya mengedepankan keberagaman ekosistem dan pengetahuan lokal dalam sistem pangan.
Sistem pangan kita di ambang kolaps: satu dari 10 orang di dunia kekurangan gizi, sementara satu dari empat orang kelebihan berat badan. Habitat planet kita pun menderita akibat kekeliruan dalam sistem produksi dan konsumi.
Laporan tentang ketahanan pangan dan nutrisi di dunia tahun 2021 oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) itu menggambarkan sederet persoalan yang dihadapi sistem pangan global. Dilaporkan juga, lebih dari sepertiga populasi dunia tidak mampu membeli makanan yang sehat. Pasokan pangan juga terganggu oleh gelombang panas, banjir, kekeringan, dan perang.
Di sisi lain, jumlah orang yang kelaparan pada tahun 2020 meningkat 15 persen dibandingkan tahun 2019, akibat pandemi Covid-19 dan konflik bersenjata. Sementara itu, sektor pangan telah menyumbang sekitar 30 persen dari gas rumah kaca dunia.
Sumbangan sektor pangan dalam pemanasan global ini terjadi karena perluasan lahan pertanian, padang penggembalaan, dan perkebunan yang menyebabkan hilangnya 5,5 juta hektar hutan per tahun. Sebagian besar terjadi di daerah tropis (Florence Pendril dkk dalam Environmental Research, 2019).
Apakah Bumi kita bisa menyediakan sistem pangan yang baik untuk masa depan. Kita harus memperbaiki praktik dalam sistem pangan, dengan mengubah cara produksi dan konsumsi menjdi lebih baik.
Selain itu, praktik pertanian yang buruk telah merusak tanah, mencemari dan menguras persediaan air, dan menurunkan keanekaragaman hayati. Laporan panel ahli Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) pada 2019 menyebutkan, sektor pangan berkontribusi besar menyebabkan sejuta spesises flora dan fauna menuju ambang kepunahan.
Sederet persoalan pangan global ini, dalam skala yang berbeda juga terlihat di Indonesia. Beban ganda masalah gizi di Indonesia itu terjadi di sejak awal siklus kehidupan, yang menunjukkan adanya ketimpangan.
Baca juga : Sepertiga Spesies Pohon di Dunia Terancam Punah, Termasuk di Indonesia
Data Kementerian Kesehatan tahun 2013, sebanyak 12 persen anak di bawah lima tahun menderita kurus (wasting), sementara 12 persen lainnya mengalami kegemukan (overweight). Data terbaru menurut Riskesdas 2018, terdapat 10,1 persen anak balita kurus dan 7,6 persen balita mengalami kegemukan.
Baik kekurangan gizi maupun kegemukan selama masa kanak-kanak selalu dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi. Kurang gizi menyebabkan 45 persen kematian pada anak usia di bawah lima tahun di seluruh dunia.
Pada saat yang sama, setidaknya 2,6 juta orang meninggal setiap tahun akibat kelebihan berat badan ataupun obesitas (WHO, 2018). Pandemi Covid-19 juga menunjukkan bahwa kegemukan juga bisa menjadi faktor komorbid yang membuat mereka lebih rentan meninggal jika terpapar virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Beban ganda masalah gizi pada anak-anak di Indonesia diduga turut menyebabkan tingginya tingkat kematian Covid-19 pada anak-anak di Indonesia. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia, tingkat kematian anak (case mortality) di Indonesia karena Covid-19) mencapai 3-5 persen, padahal di Amerika Serikat hanya 0,22 persen. Sekalipun tingkat kematian ini dipengaruhi banyak faktor, ini juga bisa menjadi indikator adanya masalah kualitas gizi pada anak-anak kita.
Baca juga : Jangan Abaikan Risiko Covid-19 pada Anak
Dari sisi produsen, kita juga menyaksikan nasib buruk para petani, yang sepertinya kian menjadi. Mulai dari ancaman gagal panen, menyempitnya lahan pertanian, konflik lahan pangan dengan perkebunan dan tambang, hingga jatuhnya harga komoditas saat panen raya, masih terus mewarnai. Situasi ini menyebabkan tidak terjadinya regenerasi petani karena anak-anak muda enggan terjun ke sektor pertanian.
Dari aspek konsumsi, kita melihat tren meningkatnya pangan impor, terutama gandum. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 2018, nilai impor gandum Indonesia mencapai 2,56 miliar dollar AS dan meningkat jadi 2,79 miliar dollar AS pada 2019. Sementara pada 2020 nilainya menjadi 2,6 miliar dollar AS.
Kalau melihat parameter global, seperti Indeks Ketahanan Pangan Global dan Indeks Kelaparan Global, posisi Indonesia juga masih di level menengah ke bawah. Di Asia Tenggara hanya lebih baik daripada Filipina, Myanmar, dan Laos. Jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Thailand, Vietnam, Malaysia, atau Singapura.
Transformasi sistem pangan
Berbagai latar belakang itulah yang mendasari sejumlah organisasi sipil yang tergabung dalam Konsorsium Pangan Bijak menggelar dialog tentang sistem pangan Nusantara pada akhir Agustus 2021 lalu. Sejumlah organisasi yang tergabung dalam koalisi di antaranya CIFOR, EntreVA, Hivos, KRKP, WRI Indonesia, WWF Indonesia, dan Yayasan Kehati.
Mewakili konsorsium, Direktur Hivos Indonesia Tunggal Pawestri mengatakan, ketimpangan akses terhadap pangan dan memburuknya kualitas lingkungan dan keragaman hayati karena aktivitas manusia dalam penyediaan pangan, menjadi alarm bahaya. ”Apakah Bumi kita bisa menyediakan sistem pangan yang baik untuk masa depan. Kita harus memperbaiki praktik dalam sistem pangan, dengan mengubah cara produksi dan konsumsi menjdi lebih baik,” katanya.
Dengan mengundang pelaku dari akar rumput, termasuk pemuda, perempuan, dan masyarakat adat, dialog ini diharapkan bisa bisa memberi masukan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Lembaga ini sendiri bakal mewakili Indonesia dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Sistem Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma, pada 23 September 2021.
Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Anang Noegroho yang membuka dialog ini mengaku berupaya mendesain sistem pangan secara inklusif. ”Sejak 27 April 2021 dan 12-13 Agustus 2021, kami sudah melakukan dialog multipihak,” katanya.
Baca juga : Anak Muda Kunci Kedaulatan Sistem Pangan Indonesia
Anang mengatakan, pangan lokal harus menjadi pilar utama dalam membangun sistem pangan ke depan. ”Sebagai negara dengan kepulauan terbesar, keragaman pangan menjadi sangat penting di masa datang. Karena itu, harus ada regionalisasi pangan,” katanya.
Sementara itu, sejumlah aktor terkait pangan menyuarakan berbagai persoalan di daerah masing-masing. Dosen pertanian dan pangan di Universitas Negeri Papua, Ludia T Wambrauw, mengatakan, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia selalu menempatkan wilayah Papua dengan nilai sangat terendah. ”Ini karena indikatornya menggunakan beras. Ketersediaan sumber pangan lokal belum jadi indikator ketahanan pangan,” katanya.
Nikolas Djemris Imunuplatia dari Gemapala Fakfak, Papua Barat, mengatakan, pangan lokal asli Papua sangat beragam, sesuai kondisi geografisnya. ”Merauke dengan Jayapura beda. Di Fakfak beda lagi. Sagu di Fakfak tidak banyak, tapi ubi banyak,” katanya.
Kerentanan pangan, menurut Nikolas, terjadi ketika masyarakat meninggalkan sumber pangan lokalnya dan bergantung pada pangan yang tidak bisa diproduksi sendiri. ”Terutama, anak-anak semakin kurang mengonsumsi pangan lokal ini,” katanya.
Baca juga : Sagu dan Ubi Bersaing dengan Beras di Sangihe
Hampir semua perwakilan di daerah menyebutkan tentang kekayaan sumber pangan lokal yang mulai tergusur oleh dominasi beras dan bahan pangan berbasis gandum. ”Kurangnya literasi pangan, misalnya ubi lebih baik dibandingkan beras bagi orang di pulau kecil, yang tidak bisa menanam padi. Masyarakat harus dikembalikan kepercayaan dirinya untuk mengonsumsi pangan lokalnya,” kata Idham Keley, pegiat pangan lokal dari Banda Neira, Maluku.
Selain pergeseran pola konsumsi, menurut Azhari dari Tunas Maluku, ekspansi perkebunan sawit juga mengancam pangan lokal. ”Maka dari itu perlindungan hutan adat dan hutan desa, sebagai tempat tumbuh beragam pangan lokal, menjadi sangat penting bagi kami,” katanya.
Sejumlah peserta juga menunjukkan, praktik pertanian yang ramah lingkungan sebenarnya juga bisa mencukupi kebutuhan pangan. Nissa Wargadipura, pendiri pesantren ekologi Ath Thaariq dari Kampung Citeureup, Garut, Jawa Barat, mengatakan, dengan mengelola lahan 1 hektar secara organik bisa mencukupi kehidupan 30 orang, termasuk keluarganya dan para santri.
”Sawah kami hanya 6.000 meter persegi, tapi hasil panennya berlebih karena karbohidrat kami beragam. Selain padi, kami juga tanam sorgum, talas, dan lain-lain. Ada akuakultur juga. Ada sayur, bumbu, dan lain-lain. Sistem pertanian berbasis zonasi itu bisa mencukupi kebutuhan gizi,” katanya.
Dari dialog dengan beragam aktor ini, setidaknya ada berlapis masalah yang harus dijawab dalam sistem pangan di Indonesia. Pertama, tren penyeragaman produksi dan konsumsi pangan dengan mengabaikan pangan lokal. Selain itu, ada kecenderungan budidaya pangan yang tidak ramah lingkungan, bias kepentingan korporasi, termasuk perkebunan, dan meminggirkan pengetahuan lokal.
Lapis persoalan ini berakar pada kegagalan memahami keberagaman ekosistem dan budaya masyarakat Nusantara. Pada akhirnya, kita menyia-nyiakan keberagaman sumber pangan dan jalan pangan kita yang selama ribuan tahun telah menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara.