Mengupayakan Sinergi Konservasi Penyu dengan Aspek Budaya
Pertemuan para pandita dari Bali memberikan rekomendasi bahwa penyu laut hanya diperlukan dalam upacara adat yang besar. Penggunaannya pun harus melalui izin kepada otoritas yang berwenang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski telah dilindungi, masyarakat Bali masih mengunakan penyu laut sebagai sarana upacara adat dan keagamaan. Agar tidak terjadi benturan antara aspek budaya dan konservasi, penggunaan penyu untuk upacara adat harus melalui permohonan izin kepada otoritas yang berwenang.
Pakar konservasi penyu dari Universitas Udayana, Ida Bagus Windia Adnyana, menyampaikan, sudah banyak ahli biologi, konservasionis, hingga masyarakat umum yang memandang bahwa penyu laut merupakan satwa yang karismatik. Publikasi tentang penyu laut juga sangat banyak, baik yang bersifat saintifik, edukasional, manajemen, maupun politis.
”Kepopuleran penyu telah memengaruhi para pengambil kebijakan untuk membangun dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pro konservasi di tingkat lokal maupun internasional. Bahkan, sejak awal 1990-an, isu penyu laut telah menjadi perdebatan organisasi internasional,” ujarnya dalam diskusi daring, Sabtu (11/9/2021)
Menurut Bagus, kehadiran penyu laut di hampir semua wilayah kecuali daerah kutub membuat satwa ini memiliki nilai atau simbol tersendiri dan membentuk budaya bagi masyarakat lokal. Di Indonesia, nilai-nilai bersimbol penyu banyak ditemui di Bali, Kepulauan Derawan, Kepulauan Aru, Kei di Maluku, dan Kepala Burung di Papua.
Sebelum adanya pengawasan yang semakin ketat, kata Bagus, Bali bahkan pernah menjadi pusat perdagangan penyu laut terbesar di Indonesia. Dikombinasikan dengan berbagai faktor, perdagangan penyu di Bali ini diduga bertanggung jawab terhadap penurunan populasi penyu hingga 40-80 persen di wilayah Indo-Australia.
Meski demikian, banyak persepsi lokal yang menyebut pelarangan perdagangan penyu dapat mengancam budaya Bali karena satwa ini juga digunakan sebagai sarana ritual keagamaan. Masyarakat lokal juga menilai pelarangan perdagangan penyu ini menghilangkan sumber ekonomi desa mengingat mereka tidak memiliki pemasukan dari kegiatan lain.
Melalui perjalanan panjang, hasil pertemuan para pandita dari Bali memberikan rekomendasi bahwa penyu laut hanya diperlukan dalam upacara adat yang besar dengan jangka waktu pelaksanaan lima hingga sepuluh tahun sekali. Jumlah penggunaan penyu untuk upacara adat juga seminimal mungkin dan harus melalui permohonan izin kepada otoritas yang berwenang seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
”Untuk meminimalisasi dampak ekologis, ukuran panjang lengkung karapas penyu yang boleh digunakan untuk upacara adat tidak boleh lebih dari 40 sentimeter. Pengadaan penyu untuk kepentingan ini juga seharusnya tidak dilakukan oleh pihak swasta atau pribadi untuk menghindari penyimpangan mekanisme formal,” kata Bagus.
Penyu laut merupakan satwa bersiklus hidup kompleks. Sejak tukik hingga dewasa, penyu laut terbawa arus laut dan berenang ribuan kilometer melintasi dan mendiami secara temporer kawasan laut dengan berbagai ragam norma legal. Penyu laut juga spesies bermigrasi yang kerap dianggap sebagai pembawa pesan lautan.
Selain itu, penyu laut juga memiliki peran ekologis, yakni membantu mengontrol mangsa dan memberikan nutrien untuk vegetasi pantai saat bertelur. Kehadiran satwa ini juga penting untuk ekonomi masyarakat pesisir karena jenis penyu hijau dapat menjaga kesehatan padang lamun.
Bagus mengatakan, keistimewaan penyu laut membuat mereka menjadi sumber daya alam milik bersama. Jadi, tidak ada satu negara pun termasuk daerah yang bisa mengakui status kepemilikan satu populasi penyu laut. Sebab, setiap wilayah atau negara hanya bisa disebut sebagai inang temporer.
Pendiri Bali Sea Turtle Society I Wayan Wiradnyana mengatakan, tidak semua upacara adat di Bali menggunakan sarana penyu. Penyu hanya digunakan pada upacara tertentu yang bersifat besar atau nyatur muka pada tingkatan tinggi dan menggunakan sanggar tawang.
”Dalam sumber sastra yang dibuat pada zaman leluhur, penggunaan hewan untuk upacara adat juga bisa diganti. Ada banyak satwa yang bisa digunakan dan diganti dengan hewan atau bentuk lain. Dalam praktiknya, ketika ada upacara yang menggunakan satwa dilindungi mereka akan membuat surat ke PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) dan setelah itu keluar rekomendasi surat ke BKSDA Bali,” ucapnya.