Bunuh Diri Bisa Dicegah, Jangan Abaikan Stres dan Depresi
Ketika merasa hidup ini tidak lagi berarti, segeralah cari pertolongan dan pendampingan yang tepat. Perasaan tersebut perlu dikelola dengan baik untuk mencegah risiko bunuh diri.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak tahun lalu sampai sekarang memunculkan berbagai tekanan hidup, mulai dari tekanan ekonomi, sosial, hingga mental. Perasaan stres dan depresi pun tidak terelakkan.
Sayangnya, perasaan tersebut sering tidak disadari dan cenderung diabaikan. Padahal, jika tidak segera ditangani bisa berakibat fatal dan dapat memunculkan risiko bunuh diri.
Itulah mengapa pengelolaan stres sejak dini menjadi amat penting untuk mencegah terjadinya bunuh diri. Kita perlu menyadari apa yang terjadi pada diri kita masing-masing.
Tanda dan gejala dari risiko bunuh diri bisa diketahui sejak dini. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga orang lain yang berada di sekitar kita. Segera cari pertolongan ketika tanda dan gejala tersebut dialami.
Baca juga: Pandemi Pengaruhi Pemikiran Bunuh Diri
Psikiater dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor, yang juga anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren, menyampaikan, bunuh diri termasuk dalam kondisi kegawatdaruratan dalam kesehatan jiwa. Pada kondisi ini, seseorang biasanya akan mengalami perubahan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku.
Ketika orang ingin melakukan bunuh diri, ia biasanya mulai menampakkan usaha untuk bunuh diri, baik berupa ide, tulisan, pikiran, maupun tindakan. Ini yang dinamakan cry for help atau seruan untuk meminta pertolongan. ”Namun, sayang, sering kali ini tidak cepat ditanggapi oleh orang di sekitarnya,” tuturnya.
Tidak jarang, ketika ada orang yang merasa depresi dan ingin mengakhiri hidupnya justru ditanggapi dengan sikap sinis. Kurangnya rasa bersyukur, kurang ibadah, atau bahkan adanya pengaruh dari hal-hal gaib kerap disangkutpautkan.
Lahargo mengatakan, tanda sederhana dari risiko bunuh diri harus segera disadari. Orang yang ingin bunuh diri biasanya juga menunjukan pesan-pesan kematian, seperti menulis keinginan untuk mati atau membuat wasiat. Bagi mereka, mengakhiri hidup jauh lebih baik daripada melanjutkan hidup. Mereka merasa ketika meninggal, orang di sekitarnya juga tidak akan ada yang peduli.
Pada situasi ini, risiko bunuh diri sudah masuk pada fase awal. Jika tidak diatasi, risiko bunuh diri semakin meninggal pada fase sedang. Di fase ini, seseorang sudah memiliki rencana untuk bunuh diri, misalnya membeli tali, membeli benda tajam, atau menyiapkan pestisida dan obat-obatan yang akan digunakan untuk sarana bunuh diri.
Ini bisa semakin buruk apabila sudah ada usaha untuk melakukan bunuh diri. Percobaan bunuh diri bisa saja dilakukan lebih dari satu kali.
Baca juga: Terkurung dalam Cangkang Kesepian
”Segera kenali dan sadari ketika ada orang yang mulai merasa hidupnya tidak ada harapan. Sering kali juga ucapan selamat tinggal disampaikan, baik secara lisan maupun tulisan. Pendampingan harus cepat diberikan oleh profesional, seperti psikolog atau psikiater,” kata Lahargo.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setiap tahun setidaknya ada 703.000 orang melakukan bunuh diri. Bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak keempat pada kelompok penduduk usia 15-29 tahun. Sebanyak 77 persen kasus bunuh diri terjadi di negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Dari catatan WHO, bunuh diri sangat berkaitan dengan gangguan mental, khususnya terkait depresi dan efek dari konsumsi alkohol. Kejadian bunuh diri biasanya akan meningkat di saat krisis yang menimbulkan tekanan dalam hidup, seperti karena masalah ekonomi, putus hubungan, ataupun penyakit kronis.
Perilaku bunuh diri juga sering dikaitkan dengan situasi konflik, bencana, kekerasan, pelecehan, atau situasi terisolasi. Risiko bunuh diri semakin meningkat pada kelompok rentan yang mengalami diskriminasi, seperti masyarakat adat, lesbian, gay, biseksual, dan transjender, serta tahanan.
Segera kenali dan sadari ketika ada orang yang mulai merasa hidupnya tidak ada harapan. Sering kali juga ucapan selamat tinggal disampaikan, baik secara lisan maupun tulisan. Pendampingan harus cepat diberikan oleh profesional, seperti psikolog atau psikiater.
Pada laporan perilaku penggunaan layanan kesehatan mental di Indonesia yang diterbitkan oleh Into The Light, komunitas untuk advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri, pada periode 25 Mei-16 Juni 2021 ditemukan sebanyak dua dari lima orang merasa lebih baik mati dan ingin melukai diri sendiri. Lebih dari setengah dari partisipan yang merupakan kelompok minoritas seksual dan jender menyatakan hal tersebut.
Faktor risiko
Lahargo menyebutkan, kewaspadaan akan risiko bunuh diri perlu ditingkatkan pada seseorang yang memiliki faktor risiko. Sekalipun persentasenya kecil, orang yang memiliki genetik masalah kesehatan jiwa serta memiliki riwayat bunuh diri lebih berisiko dan rentan melakukan bunuh diri.
Selain itu, konsumsi alkohol dan narkoba juga bisa memicu terjadinya bunuh diri. Alkohol dapat mengganggu sel saraf di otak sehingga dapat mendorong perilaku impulsif seperti bunuh diri.
Risiko bunuh diri juga terjadi pada seseorang yang menunjukkan adanya perubahan perilaku. Itu bisa ditandai dengan adanya gangguan tidur seperti hipersomnia (rasa kantuk yang berlebihan) dan insomnia (sulit tidur), perubahan pola makan baik tidak selera makan atau berlebihan makan, serta perasaan emosi yang sering berubah-ubah.
”Gangguan psikologis seperti stres bisa mengakibatkan pula rasa nyeri di berbagai organ tubuh yang hilang dan timbul. Lambung juga terkadang terasa nyeri serta sesak pada bagian dada. Ketika bernapas juga kerap tidak terasa plong,” ucap Lahargo.
Menurut dia, pengelolaan stres yang dilakukan dengan cepat dan tepat menjadi cara yang efektif untuk mencegah sampai terjadinya bunuh diri. Kemudahan pada akses layanan kesehatan pun penting agar pertolongan bisa segera diberikan.
Penyediaan akses layanan kesehatan jiwa merupakan langkah penting untuk mengurangi tekanan mental yang dialami oleh seseorang. Dukungan berkelanjutan seperti adanya layanan telekesehatan dan swaperiksa gangguan mental juga diperlukan sebagai langkah deteksi dini.
Baca juga: Keterbatasan Akses Layanan Kesehatan Jiwa Perburuk Risiko Bunuh Diri
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Celestinus Eigya Munthe mengatakan, layanan-layanan tersebut sebenarnya sudah tersedia di tengah masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga telah menyediakan aplikasi khusus untuk konsultasi kesehatan jiwa melalui aplikasi sehat jiwa.
Meski begitu, ia mengakui, sosialisasi masih harus ditingkatkan agar layanan tersebut bisa dimanfaatkan oleh lebih banyak masyarakat. Selain itu, diperlukan penguatan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun infrastruktur kesehatan lainnya.
Dengan memperkuat layanan kesehatan jiwa di Indonesia diharapkan bisa membantu masyarakat untuk bisa lebih baik mengelola jiwa mereka. Setiap jiwa itu berarti, tak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga orang lain, bahkan untuk bangsanya.
Masalah bunuh diri pun harus direspons dengan serius. Kesadaran masyarakat perlu terus ditingkatkan. Upaya pencegahan bunuh diri bisa lebih optimal jika tidak ada stigma dan diskriminasi. Setiap orang punya batas dan kemampuannya masing-masing. Pendampingan dan pertolongan yang cepat dan tepat menjadi kunci untuk mencegah bunuh diri.