Keterbatasan Akses Layanan Kesehatan Jiwa Perburuk Risiko Bunuh Diri
Upaya pencegahan bunuh diri perlu intervensi yang cepat dan tepat. Keterbatasan pada akses layanan kesehatan bisa menghambat upaya tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memicu timbulnya stres dan masalah psikososial bagi banyak orang. Hal ini perlu segera diatasi untuk mencegah masalah kesehatan jiwa lebih berat yang dapat berujung pada keinginan bunuh diri.
Namun, keterbatasan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan jiwa menghambat upaya penanganan yang cepat dan tepat. Kondisi itu diperberat dengan adanya stigma serta minimnya kesadaran akan kesehatan jiwa.
”Beberapa hal yang terjadi selama pandemi dapat memicu masalah kesehatan jiwa seseorang. Pada mereka dengan kapasitas mental yang kurang baik, itu dapat berujung pada masalah psikologi dan menjadi trigger untuk melakukan bunuh diri,” ujar Lahargo Kembaren, psikiater dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Ia menyampaikan, setidaknya ada empat hal yang dapat memicu masalah kesehatan jiwa selama pandemi. Pertama, kondisi yang penuh tekanan, seperti tingginya angka kematian, sulitnya mencari layanan perawatan dan alat kesehatan, serta harus kehilangan orang terdekat.
Kedua, adanya infodemik. Masyarakat lebih banyak terpapar informasi yang sifatnya menakutkan dan mengancam tanpa diimbangi dengan informasi yang positif. Ketiga, adanya pembatasan sosial. Pembatasan mobilitas membuat masyarakat tidak leluasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Keempat, kemampuan adaptasi yang terbatas. Di masa pandemi, setiap orang menghadapi dampak yang berbeda-beda, mulai dari dikenai PHK, kehilangan penghasilan, hingga muncul persoalan relasi dengan orang lain.
Hasil swaperiksa yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) di 31 provinsi pada periode 4 April-7 Oktober 2020 memperlihatkan, 68 persen dari 5.661 responden mengalami masalah kejiwaan atau psikologis. Dari jumlah itu, 67,4 persen terkena gangguan cemas, 67,3 persen depresi, dan 74,2 persen mengalami trauma psikologis.
Analisis yang dilakukan PDSKJI mendapati satu dari lima orang bahkan sudah mulai berpikiran bahwa dirinya tidak memiliki harapan untuk hidup. Mereka juga berkeinginan untuk bunuh diri. Sebesar 15 persen dari mereka yang punya keinginan bunuh diri terus memikirkan hal tersebut setiap hari.
”Ketika sudah ada keinginan untuk bunuh diri, seseorang harus cepat dan tepat untuk mendapatkan penanganan. Bunuh diri termasuk pada kegawatdaruratan dalam kesehatan jiwa, yang harus segera didampingi dan mendapatkan pertolongan dari profesional, seperti psikolog atau psikiater,” tuturnya.
Meski begitu, Lahargo menyampaikan, berbagai kendala dihadapi dalam upaya pencegahan bunuh diri di masyarakat. Stigma dan diskriminasi menjadi kendala utama yang masih terjadi. Sebagian orang menilai gangguan jiwa sebagai aib, bahkan gaib. Selain itu, gangguan jiwa juga sering dikaitkan dengan kurangnya rasa syukur dan keimanan.
Kesadaran masyarakat untuk memahami masalah kesehatan jiwa masih kurang. Padahal, menjaga kesehatan jiwa tidak kalah penting dari menjaga kesehatan fisik.
”Akses ke layanan kesehatan jiwa juga sulit bagi sebagian besar masyarakat. Layanan yang tersedia juga belum banyak diketahui, baik layanan yang bisa diakses secara daring maupun tatap muka,” ucapnya.
Berdasarkan Laporan Perilaku Penggunaan Layanan Kesehatan Mental Indonesia 2021 dari Into The Light, komunitas untuk advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri, hanya ada 27 persen responden yang pernah mengakses layanan kesehatan mental. Tidak hanya itu, tiga dari lima orang pun tidak tahu jika ada layanan kesehatan mental di wilayah domisilinya.
Sebanyak tujuh dari sepuluh orang tidak tahu bahwa layanan Jaminan Kesehatan Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat menanggung biaya akses dan pengobatan layanan kesehatan mental. Padahal, layanan konsultasi dan pengobatan untuk kondisi tertentu dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Ketika sudah ada keinginan untuk bunuh diri, seseorang harus cepat dan tepat untuk mendapatkan penanganan. Bunuh diri termasuk pada kegawatdaruratan dalam kesehatan jiwa yang harus segera didampingi dan mendapatkan pertolongan dari profesional.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Celestinus Eigya Munthe menyampaikan, keterbatasan akses pada layanan kesehatan jiwa juga dipengaruhi oleh terbatasnya jumlah sumber daya kesehatan jiwa. Dari sekitar 10.000 puskesmas yang ada di Indonesia, baru 1.000 puskesmas yang memiliki layanan kesehatan jiwa.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya kesehatan jiwa. Pelatihan dokter, perawat, dan kader dilakukan untuk memperkuat layanan kesehatan jiwa di daerah yang masih terbatas.
”Kementerian Kesehatan juga telah menyediakan aplikasi sehat jiwa dan telemedicine yang dapat diakses masyarakat dari jarak jauh. Psikiater dan psikolog klinis telah ditugaskan untuk siap melakukan pendampingan serta deteksi dini pada gangguan kesehatan jiwa melalui aplikasi tersebut,” ucap Celestinus.