Pemberian vaksin Covid-19 dosis ketiga sebagai penguat atau ”booster” bagi non-tenaga kesehatan mengabaikan prinsip keadilan dan hanya akan memperpanjang pandemi Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Sebuah pesan pendek berisi undangan jadwal vaksinasi Covid-19 ketiga atau booster untuk non-tenaga kesehatan di kantor perusahaan swasta di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, bocor ke publik. Pesan itu juga dibubuhi peringatan agar informasi itu tidak disebar ke orang lain.
Peneliti di salah satu kampus di Jakarta mendapatkan pesan itu dari keluarga pengusaha yang pamer jadwal vaksinasi ketiganya. Penggunaan vaksin dosis ketiga atau booster untuk non-tenaga kesehatan diam-diam telah dilakukan. Laporan mengenai hal ini banyak diterima LaporCovid-19.
Sebelumnya, para pejabat daerah hingga aparat keamanan di Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan, juga mengaku mendapatkan vaksin ketiga (Kompas, 25/8/2021). Rekaman video percakapan yang ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (24/8/2021), juga menampilkan pengakuan sejumlah pejabat pusat dan daerah kepada Presiden Joko Widodo mereka telah mendapatkan vaksin ketiga.
Sebagian pejabat pusat dan daerah yang turut dalam peninjauan vaksinasi Covid-19 di SMPN 22 Kota Samarinda, Kalimantan Timur, itu mengaku mendapat booster vaksin Nusantara yang digagas eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Padahal, vaksin Nusantara hingga saat ini belum menyelesaikan uji klinik, apalagi mendapatkan otorisasi penggunaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sebagian lainnya mengaku mendapat booster vaksin Moderna, sementara Presiden Jokowi saat itu mengaku menunggu vaksin Pfizer (Kompas, 26/8/2021).
Belakangan, rekaman video ini telah dihapus dan diunggah kembali dengan menghilangkan bagian yang berisi percakapan tentang booster vaksinasi. Namun, pembicaraan tentang vaksin ketiga ini menyingkap praktik booster vaksin di kalangan elite.
Padahal, sesuai Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.01/I/1919/2021 yang ditetapkan 23 Juli 2021, vaksin Covid-19 dosis ketiga hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan dan tenaga penunjang di fasilitas kesehatan.
Jelas bahwa, vaksinasi ketiga di luar nakes melanggar aturan dan mengabaikan prinsip keadilan. Itu karena hingga saat ini masih banyak masyarakat yang kesulitan mendapatkan vaksin dosis pertama atau terlambat mendapat suntikan kedua. Misalnya di Lampung baru 12,6 persen target populasi yang mendapat suntikan pertama, Maluku Utara 14 persen, dan Sumatera Barat 16 persen.
Secara nasional, cakupan vaksinasi untuk warga lanjut usia juga masih rendah. Data Kemenkes hingga Selasa (7/9/2021), lansia yang mendapat dosis pertama baru 25,1 persen dari target, sedangkan yang mendapat dosis kedua 17,9 persen. Padahal, lansia merupakan kelompok paling berisiko mengalami keparahan jika terpapar Covid-19.
Ketimpangan vaksinasi yang terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya refleksi dari fenomena global. Data Our World in Data menunjukkan, 81 persen vaksin Covid-19 global telah disuntikkan di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas. Hanya 0,4 persen dosis yang telah diberikan di negara-negara berpenghasilan rendah.
Namun, di tengah situasi ini, orang-orang dari negara kaya telah menyuntikkan booster vaksin. Setelah Israel mulai menyuntikkan vaksin ketiga bulan lalu, Amerika Serikat juga berencana melakukan yang sama bulan ini.
Alasan yang diambil untuk melakukan vaksin ketiga adalah tingkat antibodi penetral yang dihasilkan vaksin Covid-19 menurun setelah enam bulan. Data dari Israel menunjukkan bahwa sekitar 40 persen dari infeksi terobosan terjadi pada individu yang telah divaksin dengan gangguan kekebalan (Nissimov, dkk. CMI, 2021), walaupun gejalanya tidak separah dibandingkan yang tidak divaksin (Bergwerk M, dkk NEJM, 2021).
Saya khawatir (booster) ini hanya akan menghasilkan lebih banyak varian. Dan mungkin kita sedang menuju ke situasi yang lebih mengerikan.
Di sisi lain, sejauh ini belum ada bukti ilmiah yang kuat bahwa booster sangat efektif. Oleh karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tegas menyerukan agar menunda booster vaksin dan memprioritaskan distribusi vaksin ke yang belum mendapatkannya.
Apalagi, di level populasi, selama persentase penduduk yang belum divaksin masih tinggi, pandemi akan sulit berakhir. Mengalihkan dosis dari orang yang tidak divaksinasi ke suntikan booster justru bisa memunculkan mutan lebih berbahaya.
”Saya khawatir (booster) ini hanya akan menghasilkan lebih banyak varian. Dan mungkin kita sedang menuju ke situasi yang lebih mengerikan,” kata Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan.
Virus korona yang menyebabkan Covid-19 telah menunjukkan kemampuannya bermutasi dan para ahli epidemiologi khawatir bahwa dengan terus beredarnya virus ini di populasi yang tidak divaksinasi akan memunculkan varian yang lebih mematikan dan menular.
Selain masalah saintifik ini, pemberian vaksin Covid-19 dosis ketiga juga tidak etis. Seperti dikatakan Kepala Tanggap Darurat WHO Michael Ryan, memberi booster vaksin seperti membagikan pelampung tambahan kepada orang-orang yang sudah memilikinya. Pada saat yang sama, kita justru membiarkan orang lain tenggelam tanpa satu pelampung pun.
Seruan moral dari Ryan ini seharusnya lebih mengena di Indonesia yang cakupan vaksin masih timpang. Sekalipun dari kacamata keadilan global juga dipertanyakan, Israel dan AS memiliki cakupan vaksinasi lebih dari 50 persen. Bahkan, AS juga mengirim bantuan vaksin Moderna ke Indonesia, yang ternyata sebagian di sini justru dipakai untuk booster kalangan elite.
Di Indonesia melakukan booster vaksin seperti merampas peluang hidup saudara, tetangga, atau teman sendiri yang mayoritas belum divaksin. Lebih memprihatinkan jika tindakan korup itu dilakukan pejabat dan aparat yang seharusnya paling bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya....