Para peneliti menemukan bahwa ”supervolcano” Toba di Sumatera yang meletus 74.000 tahun lalu masih tetap aktif dan berbahaya sampai saat ini. Perlu didorong penelitian untuk memprediksi terjadinya letusan di masa depan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Para peneliti yang telah mempelajari letusan supervolcano Toba di Sumatera, Indonesia, 74.000 tahun lalu menemukan bahwa gunung berapi tersebut masih tetap aktif dan berbahaya selama ribuan tahun. Karena itu, penting untuk mendorong penelitian guna mengungkap dan memprediksi bagaimana rangkaian peristiwa letusan supervolcano ini bisa terjadi di masa depan.
Studi tentang aktivitas geologi di Kaldera Toba ini terbit di jurnal Nature-Earth and Environmental Sciences, 3 September 2021. Studi ini dipimpin para peneliti dari Oregon State University (Amerika Serikat), dan ditulis bersama oleh para peneliti dari Heidelberg University (Jerman), Curtin University (Australia), dan Badan Geologi Indonesia.
Martin Danisik, penulis utama studi tersebut dari Curtin University, mengemukakan, gunung berapi super sering meletus beberapa kali dengan interval puluhan ribu tahun. Namun, sampai saat ini tidak pernah diketahui aktivitas atau peristiwa apa saja yang terjadi selama periode tidak aktif gunung berapi super tersebut.
”Supervolcano adalah salah satu bencana terbesar dalam sejarah bumi karena mengeluarkan magma dalam jumlah besar dalam waktu yang sangat cepat. Peristiwa ini dapat berdampak pada iklim global hingga membuat bumi mengalami musim dingin vulkanik dan gangguan populasi,” ujar Martin dikutip dari situs internet Curtin University, Senin (6/9/2021).
Temuan ini sekaligus membantah pernyataan yang menyebut bahwa gunung supervolcano sudah tidak aktif jika tidak ada magma cair di dalamnya.
Dalam studi ini, tim peneliti mempelajari sisa magma yang tertinggal setelah letusan super Toba menggunakan mineral feldspar dan zirkon. Dengan menggunakan data geokronologis, inferensi statistik, dan pemodelan termal, peneliti menunjukkan bahwa magma terus mengalir keluar di dalam kaldera.
”Aktivitas ini diciptakan oleh letusan magma selama 5.000 tahun hingga 13.000 tahun setelah letusan super. Setelah itu, karapas dari magma sisa yang dipadatkan didorong ke atas seperti cangkang kura-kura raksasa,” kata Martin.
Menurut Martin, semua pihak harus mempertimbangkan bahwa letusan masih dapat terjadi, bahkan jika tidak ada magma cair yang ditemukan di bawah gunung berapi. Hasil temuan ini sekaligus membantah pernyataan yang menyebut bahwa gunung supervolcano sudah tidak aktif jika tidak ada magma cair di dalamnya. Ia pun menekankan perlunya mengevaluasi ulang konsep dari gunung meletus.
Martin menegaskan, mengetahui aktivitas gunung berapi super selama periode tidak aktif yang panjang akan membantu memprediksi letusan di masa depan. Mempelajari cara kerja supervolcano juga penting untuk memahami ancaman masa depan dari letusan super yang terjadi sekitar 17.000 tahun sekali.
Letusan super-Toba adalah letusan gunung berapi terbesar dalam 2 juta tahun terakhir. Para ahli vulkanologi memperkirakan, saat meletus, Toba mengeluarkan 720-1.300 mil kubik magma dan abu vulkanik mencapai 25 mil atau 40.225 kilometer.
Letusan juga menyebabkan perubahan cuaca ekstrem dan membuat suhu bumi turun drastis selama satu dekade. Perubahan suhu tersebut diperkirakan membunuh sebagian besar tanaman dan makhluk hidup di bumi, termasuk manusia purba.
Prediksi letusan
Dalam hasil studi lainnya dari Cardiff University, Inggris Raya, yang terbit di jurnal Nature Review Earth dan Environment pada 27 Juli 2021, tim peneliti menyatakan tidak ada model tunggal yang dapat menggambarkan bagaimana terjadinya letusan supervolcano. Hal ini membuat para peneliti sangat sulit untuk menentukan dan memprediksi bagaimana supervolcano dapat meletus di masa depan.
Para peneliti menganalisis 13 letusan supervolcano di dunia selama 2 juta terakhir, termasuk Toba. Mereka melakukan tinjauan mendalam terhadap bukti lapangan, geokimia dan petrologi, serta studi geofisika sistem vulkanik modern yang memberikan gambaran terkini tentang sistem magmatik.
Hasil tinjauan tersebut menunjukkan bahwa masing-masing dari 13 peristiwa letusan supervolcano terjadi selama kurun waktu mingguan dan bulanan. Bahkan, terdapat juga letusan langsung dengan aktivitas yang sangat kuat. Sementara supererupsi individu dapat berlangsung selama hitungan hari, minggu, hingga dekade.
”Ketidakpastian rangkaian peristiwa ini membuat letusan supervolcano sangat menantang untuk diteliti. Penelitian bisa mengungkap kapan dan bagaimana gunung berapi ini berpotensi meletus di masa depan,” ujar George Cooper, salah satu penulis laporan tersebut dari Cardiff University’s School of Earth and Environmental Sciences.