Saat ini, kasus Covid-19 secara nasional di Indonesia cenderung turun, juga tingkat hunian di rumah sakit. Namun, masyarakat tetap diminta waspada dan jangan sampai euforia agar kasus tak meningkat lagi.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus Covid-19 dan tingkat kematian secara nasional menunjukkan penurunan signifikan. Namun, kita tidak boleh lengah dengan mengabaikan protokol kesehatan karena risiko penularan Covid-19 masih ada, termasuk dari kemunculan varian baru yang dikhawatirkan bisa menyiasati vaksin.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 4.413 orang pada Senin (6/9/2021) sehingga total menjadi 4.133.433 kasus. Adapun kasus aktif mengalami penurunan sebesar 9.248 kasus sehingga total menjadi 146.271 kasus.
Penambahan kasus baru dan kasus aktif di Indonesia lebih rendah dari sejumlah negara lain di Asia Tenggara. Filipina mengalami penambahan kasus baru sebesar 22.415 kasus dengan total kasus aktif 159.633 kasus. Malaysia memiliki 17.352 kasus baru dan kasus aktif 252.668 kasus. Adapun Thailand mendapatkan 13.988 kasus baru dan kasus aktif 148.622 kasus.
”Saat ini kasus cenderung turun, juga tingkat hunian di rumah sakit. Namun, jangan sampai euforia. Kita harus belajar dari negara lain yang sudah divaksin dan lepas masker, tetapi kasusnya akhirnya naik kembali,” kata Guru Besar dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam.
Ari mengatakan, penurunan kasus di Jawa telah terjadi secara signifikan. ”Namun, di beberapa daerah masih cukup tinggi, pasien juga masih banyak yang di ICU, termasuk di Sumatera Utara masih ada dokter baru meninggal Covid-19,” katanya.
Menurut Ari, protokol kesehatan, terutama masker, harus tetap dipakai. Mengacu pada studi skala besar terbaru di Bangladesh, masker terbukti efektif menurunkan penularan sekalipun tingkat vaksinasi negara tersebut relatif rendah.
Penelitian yang melibatkan lebih dari 340.000 orang di 600 desa di Bangladesh oleh tim peneliti dari Yale University dan Stanford University menemukan, efektivitas masker bedah untuk mengekang penularan Covid-19. Peningkatan 30 persen dalam pemakaian masker menurunkan 10 persen penularan Covid-19. ”Jika ada peningkatan 100 persen atau semua orang memakai masker, akan ada perubahan signifikan,” tulis kajian yang hasilnya dirilis di edisi pracetak pekan lalu.
Ari juga mengatakan, kita harus belajar dari kesalahan strategi penanganan sebelumnya, yang melonggarkan karantina sehingga menyebabkan masuknya varian baru. ”Kita sudah kecolongan dua kali sehingga masuk varian Alfa dan kemudian varian Delta. Jangan sampai kecolongan lagi dengan varian Mu. Karantina harus diperkuat,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan epidemiologinya telah menambahkan varian Mu atau B.1.621 dalam kategori varian baru yang jadi perhatian (variant of concern) sejak pekan lalu. Disebutkan, varian tersebut memiliki mutasi yang menunjukkan risiko resistensi terhadap vaksin dan menekankan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahaminya.
Varian yang awalnya ditemukan di Kolombia pada awal tahun saat ini telah dilaporkan di beberapa bagian Amerika Selatan dan Eropa. WHO mengatakan, prevalensi globalnya telah menurun hingga di bawah 0,1, tetapi di Kolombia mencapai 39 persen dan Ekuador 13 persen dengan tren meningkat. Sejauh ini varian ini belum ditemukan di Indonesia.
”Jangan sampai ada kejadian lonjakan kasus lagi seperti di bulan Juli, yang tidak bisa ditangani oleh fasilitas kesehatan, sehingga angka kematian sangat tinggi, termasuk juga tenaga kesehatan yang meninggal,” katanya.
Ari mengatakan, sebanyak 110 dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah meninggal karena Covid-19. Sebanyak 30 persen di antaranya meninggal selama Juli 2021.
Berdasarkan data dari LaporCovid-19, tingkat kematian nakes di Indonesia saat ini telah menurun signifikan dibandingkan Juli dan Agustus 2021. Selama Juli 2021, jumlah nakes yang meninggal mencapai 487 orang, merupakan rekor tertinggi selama pandemi. Sementara pada bulan Agustus 2021, jumlah nakes yang meninggal 126 orang dan selama minggu pertama September 2021 sebanyak 1 nakes meninggal.
Secara total, jumlah nakes di Indonesia yang meninggal selama pandemi mencapai 1.977 orang. Jawa Timur paling banyak kehilangan nakes, yaitu 624 orang atau sepertiga dari total nakes yang meninggal di Indonesia.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengingatkan, sekalipun kasus telah turun, tetapi penambahan kematian harian karena di Indonesia masih sangat tinggi. ”Kematian karena Covid-19 kita masih tertinggi di ASEAN yang mengindikasikan adanya masalah strategi hulu dan hilir,” katanya.
Berdasarkan data dari Kemenkes, Indonesia memiliki penambahan angka kematian harian tertinggi di Asia Tenggara, bahkan nomor dua secara global. Korban jiwa bertambah 612 orang per hari sehingga total mencapai 136.473 orang. Secara total, jumlah kematian Indonesia merupakan yang tertinggi nomor tujuh di dunia.
Tingginya tingkat kematian di Indonesia dibandingkan jumlah kasus harian ini, menurut Dicky, bisa disebabkan oleh masalah dalam tes dan lacak kita. Faktor lainnya, hal itu dipicu oleh adanya masalah dalam pendataan.
Dicky menyoroti belum adanya perbaikan tes dan lacak di Indonesia. Data Kemenkes menunjukkan, jumlah tes yang dilakukan secara total hanya 96.507 orang. Sebanyak 20.184 dengan polimerase rantai ganda (PCR) dan 389 dengan tes cepat molekuler (TCM), sisanya menggunakan tes cepat antigen. Angka kepositifan atau positivity rate dengan PCR dan TCM sebesar 12,5 persen.
”Saat kasus turun seperti sekarang harusnya dioptimalkan juga tes dan lacak ini agar positivity rate bisa turun hingga di bawah 5 persen,” kata Dicky.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, juga mengingatkan, Covid-19 masih jadi masalah kesehatan sehingga penurunan status dari pandemi menjadi endemi belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.
”Bagaimana dan kapan pandemi berakhir di dunia dan di suatu negara akan bergantung setidaknya pada bagaimana virusnya sendiri, termasuk bagaimana mutasinya. Selain itu, hal tersebut ditentukan bagaimana perilaku kita dalam menjalankan protokol kesehatan dan kebijakan pembatasan, serta bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dalam diagnosis baru, obat baru, hingga vaksin,” katanya.
Untuk perkembangan di suatu negara dianggap status epidemiologinya sudah aman, menurut Tjandra, terdapat beberapa indikator, di antaranya angka reproduksi virus dibawah 1, jumlah kasus dan kematian dapat ditekan amat rendah, pelayanan kesehatan dapat menanggulangi setiap kasus yang ada, serta jumlah yang divaksinasi sudah memadai.
Baik Dicky maupun Ari juga mengingatkan soal ketimpangan vaksin, terutama perkembangan vaksin untuk kelompok lanjut usia yang masih rendah. ”Bahkan, di Jakarta yang tingkat vaksinasinya sudah di atas 100 persen dari target juga masih ada kantong masyarakat yang belum vaksin. Apalagi di daerah-daerah. Ini harus segera dipercepat,” kata Ari.