Kenaikan muka air laut yang diprediksi terjadi semakin ekstrem abad ini perlu diantisipasi karena bakal berdampak serius pada permukiman dan kehidupan masyarakat.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laju pemanasan global telah mendekati titik kritis dengan dampak semakin meluas, termasuk di antaranya berupa kenaikan muka air laut yang diprediksi semakin ekstrem di abad ini. Tak hanya mengancam permukiman di pesisir, kenaikan muka air laut di negara kepulauan seperti Indonesia juga bakal berdampak serius terhadap pertanian.
”Dampak perubahan iklim sudah semakin nyata dan harus diantisipasi. Daerah pesisir akan semakin terancam, tidak hanya area permukiman, tapi juga berbagai sektor lain, di antaranya pertanian dan infrastruktur,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan, di Jakarta, Selasa (31/8/2021).
Menurut Dodo, kenaikan muka air laut juga bisa memicu terjadinya intrusi air laut ke daratan yang bakal mengganggu pasokan air tanah, infrastruktur, dan sektor pertanian. ”Area pertanian kita akan berkurang. Bahkan, yang tidak terendam akan mengalami intrusi air laut. Kita harus melakukan mitigasi dan upaya adaptasi sejak sekarang,” katanya.
Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial (BIG), Gatot H Pramono, dalam diskusi di BMKG, beberapa waktu lalu, mengatakan, kenaikan muka air laut dipengaruhi tiga hal, yaitu perubahan iklim yang memanaskan suhu laut sehingga mengembang berkontribusi 30 persen. Kemudian mencairnya es yang juga berkontribusi 30 persen dan faktor lain berupa penurunan tanah yang berkontribusi 40 persen.
Dampak perubahan iklim sudah semakin nyata dan harus diantisipasi. Daerah pesisir akan semakin terancam, tidak hanya area permukiman, tapi juga berbagai sektor lain, di antaranya pertanian dan infrastruktur.
Menurut Gatot, jika tanpa memperhitungkan penurunan daratan, kenaikan muka air laut global pada periode 1900-1930 hanya 0,6 mm per tahun, tetapi pada 1930-1992 menjadi 1,2 mm per tahun. Pada 1993-2015 kenaikan muka air laut menjadi 3,2 mm per tahun dan pada 2010-2015 menjadi 4,4 mm per tahun.
Semakin ekstrem
Kajian terbaru oleh tim peneliti internasional yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change pada 30 Agustus 2021 menunjukkan, kenaikan permukaan laut ekstrem akan terjadi hampir setiap tahun pada akhir abad ini, di mana Indonesia termasuk negara yang bakal terdampak serius. Penulis pertama kajian ini adalah Claudia Tebaldi dari Pacific Northwest National Laboratory, College Park, Amerika Serikat.
Seperti diketahui, Kesepakatan Paris memfokuskan kebijakan mitigasi iklim global untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 atau 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri atau sekitar tahun 1850. Dalam kajian ini, peneliti menggunakan pendekatan multimetode untuk menggambarkan perubahan permukaan laut ekstrem yang didorong oleh perubahan rata-rata permukaan laut yang terkait dengan berbagai tingkat pemanasan global, dari 1,5 hingga 5 derajat celsius.
”Kami memperkirakan bahwa pada tahun 2100 atau sekitar 50 persen dari 7.283 lokasi yang dikaji akan mengalami peristiwa permukaan laut ekstrem setidaknya sekali setahun, bahkan hal ini terjadi pada kondisi di bawah kenaikan suhu 1,5 derajat celsius,” tulis kajian ini.
Kajian tersebut juga menyimpulkan, daerah tropis lebih berisiko terdampak dibandingkan dengan lintang tinggi Utara yang di beberapa lokasi tidak mengalami perubahan, bahkan dengan tingkat pemanasan global tertinggi sekalipun. Sejumlah wilayah yang bakal mengalami frekuensi permukaan laut yang ekstrem termasuk di belahan bumi selatan dan daerah subtropis, Laut Mediterania dan Semenanjung Arab bagian selatan. Pantai Pasifik Amerika Utara dan daerah-daerah yang termasuk berisiko tingggi adalah Hawaii, Karibia, Filipina, dan Indonesia.
Peningkatan frekuensi permukaan laut ekstrem ini akan terjadi dengan peningkatan suhu global sebesar 1,5 derajat celsius. Perubahan itu kemungkinan akan terjadi lebih cepat dari akhir abad ini, dengan banyak lokasi mengalami peningkatan kejadian ekstrem 100 kali lipat pada 2070.
Tebaldi, dalam keterangan pers, mengatakan, tidak mengherankan kenaikan permukaan laut akan dramatis bahkan pada kenaikan suhu 1,5 derajat celsius dan akan memiliki efek substansial terhadap frekuensi dan tingginya permukaan laut yang ekstrem.
”Studi ini memberikan gambaran yang lebih lengkap di seluruh dunia. Kami dapat melihat tingkat pemanasan yang lebih luas dengan detail spasial yang sangat rinci,” kata Tebaldi.
Para peneliti menyerukan studi yang lebih rinci untuk memahami bagaimana perubahan akan berdampak pada masyarakat di sejumlah negara. Mereka menambahkan bahwa perubahan fisik yang dijelaskan oleh studi ini akan memiliki dampak yang bervariasi pada skala lokal, bergantung pada beberapa faktor, termasuk seberapa rentan lokasi tersebut terhadap kenaikan air dan seberapa siap masyarakat untuk berubah.
Para pembuat kebijakan publik harus memperhatikan studi ini dan bekerja untuk meningkatkan perlindungan pantai dan langkah-langkah mitigasi. Beberapa upaya itu, di antaranya, membangun tanggul dan tembok laut, mundur dari garis pantai, dan menerapkan sistem peringatan dini.