Bersiap Memasuki Fase Endemi, Infrastruktur Kesehatan Perlu Diperkuat
Pandemi Covid-19 bisa beralih menjadi endemi jika penyebarannya semakin terbatas pada populasi atau wilayah tertentu. Berbagai persiapan pun harus dilakukan, terutama terkait penguatan infrastruktur kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah lebih dari satu setengah tahun penularan Covid-19, respons penanganan penyakit tersebut seharusnya tidak lagi bersifat darurat. Setiap negara, termasuk Indonesia, perlu bersiap untuk terus berhadapan dengan Covid-19. Intervensi penanggulangan pun perlu terprogram dengan rencana jangka panjang.
Epidemiolog yang juga Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) Riris Andono Ahmad, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (31/8/2021), menyampaikan, pemerintah sudah harus bersiap untuk mengubah respons penanganan Covid-19. Penularan penyakit tersebut bisa berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
”Penularan Covid-19 yang sudah terjadi lebih dari satu setengah tahun ini seharusnya sudah tidak lagi ditangani dengan respons emergency (kedaruratan). Upaya penanganan harus direncanakan untuk jangka panjang. Itu termasuk pada program pengendalian serta perencanaan terkait pendanaan rutin,” ujarnya.
Menurut Riris, pemerintah perlu segera mengevaluasi aktivitas penanganan yang sudah berlangsung selama ini. Kebutuhan yang selama ini menjadi kendala harus dilengkapi untuk menunjang upaya pengendalian Covid-19.
Hal tersebut mulai dari sumber daya manusia, infrastruktur kesehatan, hingga pendanaan. Jika perlu, penanganan Covid-19 masuk dalam kelompok substansi tersendiri di Kementerian Kesehatan, sama seperti pengendalian HIV/AIDS ataupun penyakit lainnya.
Dihubungi terpisah, anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menuturkan, kondisi penularan Covid-19 yang sudah mulai melandai di tingkat global bisa menjadi pertimbangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mencabut status pandemi pada pola penularan Covid-19 menjadi endemi. Itu terjadi karena situasi penularan yang masih tinggi di sejumlah wilayah, terutama dengan adanya varian virus baru.
Ia mengatakan, pola penularan penyakit disebut sebagai endemi jika situasi di tingkat global sudah mulai terkendali. Meski begitu, jika ada suatu negara yang masih mengalami penularan kasus dengan skala persisten atau bertahan dalam jangka waktu lama dan berdampak pada seluruh lapisan usia, pola penularan di negara tersebut disebut dalam fase hyperendemic.
”Indonesia bisa masuk dalam fase hyperendemic. Untuk mencegahnya, kemandirian bangsa dalam penanganan Covid-19 perlu dipastikan. Kemandirian tersebut termasuk pada kemandirian untuk penyediaan vaksin serta teknologi yang menunjang upaya 3T (tes, telusur, dan terapi),” kata Hermawan.
Selain itu, ia menambahkan, perilaku masyarakat untuk patuh pada prinsip hidup bersih dan sehat serta selalu menjalankan protokol kesehatan dengan baik juga menentukan pola penularan Covid-19 di kemudian hari. Cakupan vaksinasi serta pengendalian Covid-19 pun harus dipastikan merata di seluruh wilayah.
Indonesia bisa masuk dalam fase hyperendemic. Untuk mencegahnya, kemandirian bangsa dalam penanganan Covid-19 perlu dipastikan. Kemandirian tersebut termasuk pada kemandirian untuk penyediaan vaksin serta teknologi yang menunjang upaya 3T (tes, telusur, dan terapi).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 31 Agustus 2021, jumlah penduduk yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis pertama berjumlah 63,1 juta orang. Sementara penduduk yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap sampai dosis kedua berjumlah 35,8 juta orang atau 17,22 persen dari target sasaran 208,2 juta penduduk.
Sementara itu, jumlah tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan suntikan dosis ketiga sebanyak 640.089 orang. Artinya, total dosis vaksin Covid-19 yang sudah disuntikkan ke masyarakat Indonesia hampir mencapai 100 juta dosis. Jumlah ini masih harus terus ditingkatkan karena untuk mencapai target sasaran dibutuhkan lebih dari 400 juta dosis.
Secara terpisah, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Anas Ma’ruf menyampaikan, investigasi dan penelusuran lebih lanjut terkait dengan dugaan kebocoran data pada aplikasi electronic health alert card (eHAC) masih dilakukan. Dugaan sementara, kebocoran terjadi dari sistem pihak ketiga yang menjadi mitra.
”Sebagai langkah mitigasi, eHAC yang lama sudah dinonaktifkan dan saat ini eHAC tetap dilakukan, tetapi berada di dalam aplikasi Peduli Lindungi. Server (peladen) dan infrastruktur dari Peduli Lindungi berada di pusat data nasional dan terjamin pengamanannya dari Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara,” katanya.
Anas menuturkan, masyarakat pun diharapkan segera menghapus dan menghilangkan aplikasi eHAC yang lama. Dugaan kebocoran data ini masih harus dibuktikan melalui hasil audit forensik.