"”Besse” Menyingkap Jejak Leluhur Papua di Sulawesi
Sebagian teka-teki riwayat perjalanan dan pembauran manusia Indonesia sebelum kedatangan penutur Austronesia terungkap. Hal itu seiring penemuan fosil perempuan di Leang Panninge, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
Fosil perempuan yang terkubur di Leang Panninge, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, sejak 7.200 tahun lalu menyimpan separuh genetika leluhur Papua dan Aborigin, Australia. Temuan ini menjawab sebagian teka-teki tentang riwayat perjalanan dan pembauran manusia Indonesia sebelum kedatangan penutur Austronesia.
Tahun 2015, para arkeolog dari Universitas Hasannudin (Unhas), Makassar, yang dipimpin Akin Duli dan Basran Burhan menemukan kerangka manusia yang terkubur di mulut goa Leang Panninge, Kecamatan Mallawa, perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, sekitar 100 kilometer dari Makassar. Dari fenotipenya, sosok kerangka itu disimpulkan sebagai gadis muda.
Besse, dibaca bur-sek, adalah sebutan yang diberikan para arkeolog Unhas ini terhadap nama gadis muda itu. ”Besse adalah nama yang biasa disematkan untuk anak perempuan dalam tradisi Bugis-Makassar. Semacam panggilan kesayangan untuk anak perempuan kita,” ujar Iwan Sumantri, arkeolog Unhas yang memimpin penggalian di Leang Panninge atau Goa Kelelawar ini pada 2019.
Menurut Iwan, berdasar posisinya saat ditemukan, Besse telah menjalani prosesi penguburan. ”Di bawah kepala kerangka Besse ditaruh pengganjal. Demikian juga, pengganjal juga ditaruh di atas kepala,” katanya.
Kawasan karst di sekitar Maros ini memang menyimpan kekayaan peradaban kuno. Di kawasan ini pula, tepatnya di Leang Bulu\' Sipong, ditemukan dua lukisan tangan tertua di dunia. Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 2019 lalu menyebutkan, lukisan babi pada dinding goa itu berusia 43.900 tahun dan lukisan anoa berumur 40.900 tahun.
Sulawesi, pulau terbesar di gugus Kepulauan Wallacea, merupakan batu loncatan pertama dalam penyebaran manusia modern pertama dari Eurasia ke Oseania, termasuk Papua dan Australia. Sejumlah temuan arkeologis dan genetik di Australia menunjukkan, leluhur Aborigin telah tiba di daratan itu lebih dari 50.000 tahun lalu sehingga kedatangan manusia modern di Wallacea diperkirakan terjadi sebelumnya.
Namun, pencarian bukti-bukti berupa fosil manusia kuno di Wallacea, bahkan seluruh Nusantara, tidak mudah. ”Lingkungan tropis yang lembab menyebabkan kebanyakan fosil manusia yang ditemukan tidak utuh dan sudah dalam kondisi rusak sehingga sulit dianalisis DNA-nya,” kata ahli biolologi molekuler Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Supolo Sudoyo.
Besse adalah nama yang biasa disematkan untuk anak perempuan dalam tradisi Bugis-Makassar. Semacam panggilan kesayangan untuk anak perempuan kita.
Sejauh ini, lanjut Herawati, fosil manusia paling tua yang berhasil diurutkan di Indonesia diambil dari situs Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah yang berumur 2.000 tahun oleh ahli genetika dari St John’s College, University of Cambridge, Eske Willerslev dan tim. Kajian genetika ini dilakukan simultan dengan 25 fosil manusia kuno yang lain di Asia Tenggara. Hasil pengurutan genom ini diterbitkan di jurnal Science (2018).
Dari data genom fosil ini ditemukan bukti adanya pembauran genetika antara pemburu-peramu dan petani di Asia Tenggara. Petani padi di Asia Tenggara bermigrasi dari China selatan, tepatnya lembah Sungai Yangtze dan Sungai Kuning, tempat awal domestifikasi padi dan jewawut, 9.000-5.500 tahun lalu, lalu budidaya padi sawah sekitar 4.500 tahun lalu.
Informasi DNA dari fosil kuno yang ditemukan di Aceh Tengah, yang hingga sebelum 10.000 tahun lalu menjadi bagian dari dataran Eurasia ini memang penting, setidaknya untuk menggambarkan migrasi dan relasi manusia di bagian barat Indonesia. Namun, bagaimana sebenarnya kehidupan leluhur kita setelah menyeberangi lautan purba Selat Karimata hingga tiba di Sulawesi? Siapa mereka dan dari mana asalnya?
Jawaban dari Besse
Jawaban tentang kehidupan kuno di Sulawesi itu akhirnya terkuak dari fosil Besse. Berkolaborasi dengan tim peneliti internasional, para arkeolog Unhas kemudian menelisik lebih jauh tentang sosok Besse dan situs penguburannya. Hasil kajian ini kemudian dipublikasikan di jurnal Nature pada 25 Agustus 2021.
Adam Brumm, arkeolog dari Australian Research Centre for Human Evolution, Griffith University yang turut dalam publikasi ini menyebutkan, situs Leang Panninge ini merupakan bagian dari kompleks teknologi Toalean, yaitu dari populasi pemburu dan peramu yang hidup sejak sekitar 8.000 tahun lalu, jauh sebelum kedatangan petani Austronesia. Di antara benda-benda yang diproduksi oleh orang-orang dari budaya Toalean adalah panah batu khas yang dikenal sebagai ”titik Maros”.
Budaya Toalean ini hanya ditemukan di daerah yang relatif kecil di semenanjung selatan Sulawesi dan menghilang sejak sekitar 1.500 tahun lalu. ”Kami dapat menetapkan penguburan di Leang Panninge untuk budaya itu,” kata Brumm. Sosok Besse diperkirakan telah terkubur di goa batu kapur Leang Panninge sekitar 7.300-7.200 tahun yang lalu.
Untuk memahami lebih rinci tentang siapa Besse, Selina Carlhoff, kandidat doktor di Institut Max Planck dan penulis utama studi tersebut, mengisolasi DNA dari tulang petrous, terdapat tepat di bawah telinga tengkorak yang telah membatu. ”Itu merupakan tantangan besar karena telah sangat terdegradasi oleh iklim tropis,” katanya.
Analisis menunjukkan bahwa Besse terkait dengan manusia modern pertama yang tiba di Papua dan Australia dari Eurasia sekitar 50.000 tahun yang lalu. ”Analisis genetik menunjukkan bahwa penjelajah pra-Neolitikum ini memiliki kaitan dengan penghuni situs Toalean dan berbagi mutasi genetik serta memiliki kesamaan morfologis paling banyak dengan kelompok Papua dan Aborigin Australia saat ini,” tulis Krause dan tim.
Sekalipun separuh genetikanya berkaitan dengan leluhur Papua dan Aborigin, Besse juga memiliki garis keturunan berbeda yang sebelumnya tidak diketahui. Besse ternyata membawa gen nenek moyang lokal yang ada di Sulawesi sebelum leluhur Papua dan Aborigin tiba. Pemisahan antara leluhur Besse dan Papua serta Aborigin ini terjadi sekitar 37.000 tahun yang lalu.
Seperti genom Papua dan Aborigin, genom Besse juga mengandung jejak DNA (deoxyribonucleic acid) Denisovan. Denisovan merupakan kelompok manusia purba yang telah punah yang diketahui terutama dari temuan di Siberia dan Tibet.
”Fakta bahwa gen mereka ditemukan para pemburu-pengumpul Leang Panninge mendukung hipotesis kami sebelumnya bahwa Denisovan menempati wilayah geografis jauh lebih besar,” kata Johannes Krause, ahli evolusi dari Institut Max Planck, yang turut dalam kajian ini.
Selain menemukan jejak DNA Denisovan, individu Leang Panninge ini juga membawa sebagian besar genomnya dari populasi Asia kuno. ”Itu mengejutkan karena kita tahu tentang penyebaran manusia modern dari Asia timur ke wilayah Wallacea, tetapi sebelumnya dianggap baru terjadi jauh kemudian (era Austronesia), sekitar 3.500 tahun yang lalu,” sebut Krause.
Sekalipun demikian, para peneliti ini belum dapat mendeteksi bukti bahwa leluhur Leang Panninge ini memiliki kaitan dengan populasi di Sulawesi saat ini. Namun, hal ini bisa jadi karena keterbatasan sampel.
Penelitian peneliti genetika populasi dari Lembaga Eijkman, Pradiptajati Kusuma, di European Journal of Human Genetics (2017), walaupun Bugis dan Bajo di Sulawesi genetikanya didominasi motif Austronesia, dalam kuantitas kecil juga ditemukan jejak DNA Papua. ”Populasi Kajang dan Mandar juga ada DNA dengan Papua,” kata Pradiptajati.
Dengan penemuan terbaru tentang sosok Besse ini, kita bisa belajar bahwa pembauran genetika di Kepulauan Wallacea ternyata telah terjadi jauh lebih awal. Sekalipun peradaban Toalean telah punah, sangat mungkin jejak DNA mereka masih tersimpan di populasi saat ini dan hanya menunggu untuk ditemukan.