Vaksin Ketiga untuk Pejabat Langgar Ketentuan dan Prinsip Keadilan
Adanya pejabat yang mendapatkan dosis ketiga vaksin Covid-19 sebagai ”booster” atau penguat menunjukkan tidak adanya keteladanan serta lemahnya rasa keadilan dan kesetaraan dalam merespons pandemi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vaksinasi Covid-19 dosis ketiga untuk para pejabat, selain melanggar ketentuan, juga mengabaikan prinsip keadilan dan keselamatan publik. Hingga saat ini cakupan vaksinasi di Indonesia masih rendah dan banyak masyarakat di daerah kesulitan mendapatkan vaksin dosis pertama dan kedua.
”Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengingatkan agar negara maju menahan diri untuk tidak memberikan booster vaksin. Selain akan mengambil jatah orang lain yang lebih butuh, bukti ilmiah manfaat booster vaksin juga belum kuat. Seruan WHO di tingkat global ini seharusnya juga diterapkan di dalam negeri,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, Rabu (25/8/2021).
Tjandra mengilustrasikan, ketika kapal mau tenggelam dan semua orang butuh pelampung, mereka yang menggunakan vaksin dosis ketiga ibarat mengambil dua jatah pelampung, sementara banyak yang lain tidak kebagian pelampung. ”Prioritaskan dulu, berikan vaksin pertama dan kedua untuk masyarakat, terutama kelompok rentan,” kata Tjandra.
Cakupan vaksinasi di Indonesia hingga saat ini masih rendah dan belum merata. Mengacu data vaksin.kemkes.go.id, sejauh ini vaksin dosis pertama telah diberikan kepada 59 juta orang atau 28,3 persen sasaran. Sementara vaksin dosis kedua baru diberikan kepada 33 juta penduduk atau 15,8 persen sasaran.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, pemberian vaksin dosis ketiga untuk pejabat merupakan tindakan tidak etis. ”Ini sangat memprihatinkan, selain juga menunjukkan lemahnya keteladanan dalam merespons pandemi. Vaksinasi seharusnya diberikan dengan prinsip equity, dengan memprioritaskan kelompok berisiko,” kata Dicky.
Ia menambahkan, kalaupun booster vaksin hendak dilakukan, harus dibatasi untuk tenaga kesehatan yang memiliki risiko paparan sangat tinggi. Berikutnya, jika cakupan vaksinasi untuk kelompok umum sudah tinggi, booster baru bisa diberikan kepada kelompok usia lanjut, itu pun yang memiliki komorbid.
”Di tengah keterbatasan vaksin seperti saat ini, selesaikan dulu target cakupannya. Jangan dulu berebut booster vaksin,” katanya.
Seperti diketahui, rekaman video yang ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (24/8/2021), menampilkan pengakuan sejumlah pejabat kepada Presiden Joko Widodo bahwa mereka telah mendapatkan vaksin dosis ketiga atau vaksin booster. Pengakuan ini terungkap saat para pejabat berbincang dengan Presiden Jokowi yang meninjau vaksinasi Covid-19 di SMPN 22 Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Saat itu, Presiden Jokowi didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor, serta Wali Kota Samarinda Andi Harun. Sebagian pejabat mengaku telah mendapat booster dari vaksin Nusantara yang digagas eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto hingga vaksin booster. Pejabat lainnya mengaku mendapat booster vaksin Moderna, sementara Presiden Jokowi mengaku menunggu vaksin Pfizer.
Belakangan, rekaman video ini telah dihapus dan diunggah kembali dengan menghilangkan bagian yang berisi percakapan tentang booster vaksinasi. Namun, pembicaraan tentang vaksin ketiga ini telah beredar di sejumlah media daring dan media sosial.
Melanggar ketentuan
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan, vaksinasi dosis ketiga hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan. Sesuai dengan Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.01/I/1919/2021 yang ditetapkan 23 Juli 2021, vaksinasi dosis ketiga hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan dan tenaga penunjang yang bekerja di fasilitas kesehatan.
”Kita terus evaluasi dan perbaiki sistem untuk mencegah kejadian (penyimpangan) ini,” kata Nadia.
Menurut Nadia, untuk mencegah penyimpangan penggunaan vaksin dosis ketiga di luar tenaga kesehatan, telah ada mekanisme pakta integritas yang harus dibuat dinas kesehatan kabupaten/kota atau kepala fasilitas kesehatan terkait bahwa vaksin telah diberikan tepat sasaran. ”Jika ada penyimpangan, pembinaan seharusnya dilakukan atasan maupun kementerian terkait,” ujarnya.
Ini sangat memprihatinkan, selain juga menunjukkan lemahnya keteladanan dalam merespons pandemi. Vaksinasi seharusnya diberikan dengan prinsip equity, dengan memprioritaskan kelompok berisiko.
Amanda Tan dari LaporCovid-19 mengatakan telah menerima banyak laporan dari tenaga kesehatan yang justru kesulitan mendapatkan vaksin dosis ketiga. ”Dalam 10 hari terakhir saja kami sudah terima 17 laporan dari tenaga kesehatan yang kesulitan mendapatkan vaksin dosis ketiga,” katanya.
Selain itu, menurut Amanda, banyak laporan dari masyarakat di berbagai daerah ke LaporCovid-19 tentang kesulitan mendapatkan vaksin dosis pertama atau dosis kedua. Padahal, banyak di antara mereka sudah antre sejak dini hari, tetapi tidak mendapatkan vaksin karena pasokan daerah yang terbatas.
Nadia mengakui, hingga saat ini belum semua tenaga kesehatan yang mendapatkan vaksin dosis ketiga. ”Sejauh ini 34 persen tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan,” katanya.