Upaya Vaksin Mandiri Iran dan Kuba di Tengah Pandemi serta Impitan Sanksi
Di tengah dominasi negara-negara kaya, Iran dan Kuba turut upaya dunia mengembangkan vaksin Covid-19 untuk mengatasi pandemi. Meski menghambat, sanksi ekonomi Amerika Serikat tidak menghentikan tekad mereka.
Negara-negara kaya dan punya kapasitas keilmuan terus mengembangkan vaksin Covid-19 untuk mengendalikan pandemi. Tanpa banyak diketahui publik, di tengah gelombang pandemi dan sanksi ekonomi, beberapa negara yang juga memiliki kemampuan turut mengembangkan vaksin Covid-19 dengan sungguh-sungguh.
Saat ini, vaksin Covid-19 yang banyak dipakai di dunia yaitu buatan Pfizer-BioNTech (Amerika Serikat-Jerman), Oxford-AstraZeneca (Inggris-Swedia), Moderna (AS), Johnson & Johnson (AS), Sinovac (China), Sinopharm (China), dan Sputnik V (Rusia).
Vaksin Covid-19 tersebut diproduksi di sejumlah negara. Menurut statista.com per 23 Maret 2021, China, AS, Jerman/Belgia, India, dan Inggris merupakan negara-negara produsen vaksin Covid-19 terbesar dunia. Per 3 Maret 2021, hampir 370 juta dosis vaksin Covid-19 telah diproduksi deretan negara tersebut.
Data teranyar Our World in Data, hingga Senin (23/8/2021), sekitar 5 miliar dosis vaksin Covid-19 telah disuntikkan kepada 24,5 persen populasi dunia.
Melihat kemajuan teknologi yang dikuasai dan kapasitas finansialnya, tidak mengherankan jika AS, China, juga sejumlah negara maju di Eropa mendominasi pengembangan dan produksi vaksin Covid-19. Sedangkan di Asia, China dan India sama-sama memiliki kapasitas keilmuan dan produksi vaksin yang besar.
Di luar itu, ada negara-negara yang sebelum terdampak pandemi sudah menghadapi kesulitan ekonomi akibat sanksi dari AS. Pandemi Covid-19 justru kian memperburuk kondisinya. Namun, negara-negara itu mampu mengembangkan vaksin Covid-19 sendiri. Negara tersebut adalah Iran dan Kuba.
Iran merupakan salah satu negara yang sudah merasakan pandemi Covid-19 sejak awal 2020. Negara ini sekarang menghadapi gelombang kelima infeksi yang didominasi varian Delta. Lebih dari 4,3 juta warganya sudah terinfeksi, 97.000 orang di antaranya meninggal.
Kami memiliki kapasitas untuk mengembangkan vaksin, jadi mengapa tidak mengembangkan sendiri?
Iran dikenal oleh para ilmuwan sebagai negara di Timur Tengah yang mampu mengembangkan vaksin. Di antara negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Iran dan juga Indonesia dikenal memiliki kapasitas keilmuan untuk mengembangkan vaksin.
Di majalah Nature 17 Agustus 2021, Kayhan Azadmanesh, Kepala Divisi Penelitian Virologi di Pasteur Institute of Iran di Teheran, menyampaikan, ada sekitar 10 calon vaksin Covid-19 yang sedang Iran kembangkan. Salah satunya sudah dipakai dalam program vaksinasi, yakni COVIran Barekat yang dikembangkan Shifa Pharmed Industrial Group, badan usaha milik negara (BUMN) Iran.
Saat ini, sekitar 17 persen dari 85 juta penduduk Iran telah mendapat suntikan dosis pertama vaksin Covid-19. Dari 18 juta dosis yang dipakai, 12 juta dosis dari Sinopharm, 4 juta dosis dari AstraZeneca, 1 juta dosis dari COVIran Barekat, sisanya dari Sputnik V dan Covaxin produksi India.
Lihat juga: Kasus Pertama Virus Korona Varian Baru di Iran
COVIran Barekat adalah vaksin berbasis virus inaktivasi yang masih menjalani uji klinis fase III. Pada Juni 2021, vaksin ini mendapat izin penggunaan darurat karena kemampuannya memberikan proteksi antibodi penetralisir. Hasil penelitian memperlihatkan, 93 persen orang yang disuntik vaksin ini menghasilkan antibodi penetralisir.
Selain COVIran Barekat, Iran juga memiliki Pasteurcovac yang berbasis protein rekombinan yang dikembangkan oleh Pasteur Institute of Iran berkolaborasi dengan Finlay Institute of Vaccines, Kuba. Di Kuba, vaksin ini dikenal dengan nama Soberana 02. Soberana merupakan bahasa Spanyol yang berarti ’berdaulat’. Vaksin yang masih dalam uji klinis fase III ini telah mendapat persetujuan penggunaan darurat di Iran pada 29 Juni 2021.
Baca juga: Kuba-Iran Bekerja Sama Kembangkan Sendiri Vaksin Covid-19
Pemerintah Kuba juga telah memakai Soberana 02 dalam program vaksinasi nasionalnya sejak Mei 2021. Seperti dikutip Reuters, 20 Juni 2021, BioCubaFarma (BUMN Kuba) menyatakan, pemberian dua dari tiga dosis Soberana 02 memiliki efikasi 62 persen.
Di luar itu, masih ada sejumlah calon vaksin Covid-19 dari Iran yang dikembangkan dengan metode beragam mulai dari inaktivasi, protein rekombinan, mRNA, vektor adenovirus, hingga vektor virus campak.
Di perusahaan Humimmune Biotech, Azadmanesh juga mengembangkan dua calon vaksin Covid-19 dengan teknik berbeda yang salah satunya diproduksi oleh BioSun Pharmed di Teheran.
Reputasi ilmiah
Adapun Kuba, selain mengembangkan Soberana 02, juga memiliki Soberana Plus sebagai penguat (booster). Pada 9 Juli 2021, Kementerian Kesehatan Kuba menulis di Twitter, kombinasi Soberana 02 dan Soberana Plus sebesar 91,2 persen. Kombinasi ini sudah mendapat izin penggunaan darurat pada Juli 2021.
”Kami tahu pemerintah tidak mampu menyediakan pendanaan bagi proyek ini. Walau begitu, ini adalah sikap global kita,” kata Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel saat pemaparan efikasi Soberana 02.
Akhir Juli lalu, media Kuba, 5eptiembre.cu, melaporkan, calon vaksin Covid-19 lainnya, Soberano 01, telah memasuki uji klinis fase II.
Vaksin Covid-19 Kuba lainnya yaitu Abdala. Nama ini diambil dari puisi karya penyair abad ke-19, Jose Marti. Abdala yang dikembangkan oleh Center for Genetic Engineering and Biotechnology ini memiliki efikasi 92,28 persen dan diberikan dalam tiga dosis. Venezuela telah memakai Abdala sejak Juni 2021, sedangkan Kuba memberikan izin penggunaan darurat mulai Juli 2021.
Center for Genetic Engineering and Biotechnology juga mengembangkan Mambisa, calon vaksin Covid-19 yang diberikan dengan cara disemprotkan ke hidung. Nama Mambisa diambil dari nama pejuang kemerdekaan perempuan Kuba di abad ke-19.
Para ahli mengatakan, pilihan Kuba untuk tidak mengimpor vaksin Covid-19 berisiko, tapi di saat yang sama berpotensi untuk meningkatkan reputasi ilmiah mereka. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bisa mengekspor vaksin mereka. Argentina, Meksiko, dan Jamaika adalah negara yang tertarik dengan vaksin Covid-19 buatan Kuba.
Sebagian pakar mempertanyakan, jika memang vaksin Covid-19 buatan Kuba bagus mengapa tidak membagi data risetnya dengan dunia. Pertanyaan yang sama juga disodorkan untuk Iran.
Seperti dikutip kantor berita Amerika Latin, Prensa Latina, 22 Juni 2021, Duta Besar Kuba di AS Lianys Torres mengatakan, blokade AS terhadap Kuba yang kian intensif saat pandemi mempersulit kolaborasi riset dan para peneliti Kuba untuk membagi informasi riset vaksin Covid-19.
Baca juga: Iran dan Tawaran Bantuan AS untuk Penanganan Covid-19
Sedangkan bagi Iran, sanksi AS membuat para peneliti tidak ingin menarik banyak perhatian yang justru bisa menghancurkan kolaborasi pengembangan vaksin atau menutup akses pada bahan-bahan, juga teknologi yang dibutuhkan untuk membuat vaksin.
Selain itu, menurut Azadmanesh, para peneliti juga luar biasa sibuk menangani kasus Covid-19 yang tinggi sehingga mereka bisa jadi tidak memiliki cukup waktu menulis hasil risetnya di jurnal internasional.
Sanksi ekonomi
Iran memiliki sejarah panjang produksi vaksin. Pasteur Institute of Iran yang didirikan tahun 1920 telah memproduksi vaksin tuberkulosis dan rabies. Vaksin campak, gondong, dan human papilloma virus (HPV) juga dikembangkan Iran.
Menurut Azadmanesh, Iran yang berada di bawah sanksi ekonomi AS tidak bisa bergantung pada komunitas internasional dalam melawan pandemi. AS menyebutkan bahwa sanksi tidak berlaku bagi aktivitas kemanusiaan. Namun, ketika transfer uang sangat terbatas, maka mengimpor obat-obatan atau alat kesehatan jadi sangat sulit dilakukan.
”Kami memiliki kapasitas untuk mengembangkan vaksin, jadi mengapa tidak mengembangkan sendiri?” kata Azadmanesh.
Sanksi juga membuat Iran sulit membeli bahan-bahan dan peralatan untuk mengembangkan vaksin. Contohnya, resin kromatografi untuk memurnikan vaksin, mayoritas diproduksi perusahaan multinasional yang menjadi pemasok utama AS sehingga mereka takut bertransaksi dengan institusi di Iran.
Azadmanesh menyampaikan, AS menyebutkan bahwa Iran bisa mengajukan pengecualian. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman, hal ini tidak berjalan.
Meski demikian, Iran selalu saja menemukan jalan keluar. Misalnya, para periset memodifikasi metodenya, mencari pemasok lain, atau menemukan solusi lokal. ”Kami mengusahakan yang terbaik yang bisa kami dapatkan, tapi terkadang kualitas dan efikasi jadi terdampak,” kata Azadmanesh.
Jika Iran dan Kuba dalam keterbatasan ekonominya saja bisa mengembangkan sendiri vaksin Covid-19, Indonesia yang memiliki kemampuan keilmuan dan kapasitas produksi harusnya bisa lebih maju.