Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, kelompok usia yang paling banyak tertular Covid-19 di Indonesia adalah usia 31-45 tahun, mencapai 28,8 persen dari total kasus positif di Indonesia. Berikutnya kelompok usia 19-30 tahun sebesar 24,9 persen dan kelompok usia 46-59 tahun 21,7 persen.
Sementara korban jiwa terutama terjadi pada kelompok usia di atas 60 tahun sebanyak 46,5 persen, disusul usia 46-59 persen sebanyak 36,8 persen, dan usia 31-45 tahun sebanyak 12,9 persen. Kelompok usia 0-5 tahun dan 6-18 tahun yang menjadi korban jiwa masing-masing 0,5 persen dan kelompok usia 19-30 tahun 2,8 persen.
Walaupun kasus kematian Covid-19 pada anak relatif rendah, dampaknya sangat besar bagi mereka. Bisa memicu efek berantai 10-20 tahun ke depan.
”Lebih dari separuh kematian Covid-19 di Indonesia terjadi pada usia produktif sehingga implikasi sosial dan ekonominya ke depan akan sangat besar. Belum lagi mereka yang sembuh juga berisiko terkena longcovid yang bisa menurunkan produktivitas. Dampak jangka panjang dari pandemi ini sebelumnya tak banyak diperhitungkan,” kata Dicky.
Sekalipun tingkat kematian anak relatif kecil dibandingkan kelompok usia lainnya, anak-anak juga terdampak tidak langsung dengan besarnya orangtua mereka yang meninggal selama pandemi. Selain kluster di tempat kerja, mayoritas kasus Covid-19 di Indonesia juga terjadi di kluster keluarga.
”Ini juga berdampak langsung pada anak-anak dengan meninggalnya keluarga besar mereka,” kata Dicky.
Menurut Dicky, beban lebih besar akan dialami anak-anak dari keluarga miskin yang ditinggalkan orangtua. Situasi ini akan memengaruhi tingkat nutrisi, pendidikan, hingga kehidupan sosial anak.
Ketua Umum Forum Zakat Bambang Suherman dalam diskusi daring pada Jumat (20/8/2021) mengatakan, sebagian anak-anak yang kehilangan orangtua selama pandemi ini berasal dari keluarga kurang mampu. ”Ada kekhawatiran, dengan membesarnya angka anak yatim terjadi potensi generasi stunting (tengkes) akibat kekurangan gizi. Ini urgen karena anak-anak yang jadi yatim berasal dari keluarga kurang mampu,” kata dia.
Di sisi lain, menurut dia, saat ini sebagian besar penduduk di Indonesia juga mengalami tekanan ekonomi akibat pandemi. Kondisi ini menyebabkan dukungan terhadap anak-anak yang membutuhkan bantuan karena ditinggalkan orangtua ini bisa berkurang. Ia mengajak warga yang masih berkecukupan secara ekonomi menjadi wali anak-anak yatim di Indonesia untuk menyelamatkan masa depan anak-anak tersebut.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Tarmizi Tohor mengatakan, bantuan yang dibutuhkan untuk anak-anak yatim atau piatu ini bukan hanya material, tetapi juga psikologis dan spiritual. ”Walaupun kasus kematian Covid-19 pada anak relatif rendah, dampaknya sangat besar bagi mereka. Bisa memicu efek berantai 10-20 tahun ke depan jika tidak terkelola dengan baik,” kata dia.
Lingkungan pekerjaan
Penularan Covid-19 di lingkungan pekerjaan ke lingkungan keluarga ini, misalnya, dialami keluarga Laira Wara (18) dari Kota Yogyakarta. Kedua orangtuanya, Budi Endra (51) dan Dwi Suwarni (48), meninggal pada hari yang sama pada 21 Juli 2021 karena Covid-19 dengan meninggalkan tiga anak perempuan yang masih usia sekolah.
Warakustarti Listyari, adik almarhum Budi, mengatakan, awalnya kakaknya tertular dari lingkungan pekerjaan. ”Waktu itu ada rekan kerjanya yang positif, tetapi tanpa gejala. Kakak kemudian menulari istri dan Laira,” kata dia.
Laira bisa pulih, tetapi kedua orangtuanya meninggal saat menunggu antrean untuk mendapatkan perawatan di ICU RS Sardjito. Selain Laira yang masih sekolah menengah atas, kakaknya, Divani Amelia (19), masih kuliah semester tiga; adiknya, Kharrisa Putri (15), masih kelas tiga sekolah menengah pertama.
”Anak-anak ditinggalkan kedua orangtua di saat mereka masih sangat membutuhkan bimbingan. Tetapi, keluarga besar akan melakukan yang terbaik untuk mereka. Semoga diberi kemudahan, terutama untuk pendidikan mereka,” kata Warakustarti.
Menurut Dicky Budiman, kluster keluarga juga kerap menyebabkan banyak anak kehilangan kedua orangtua dan anggota keluarga lain, seperti kakek dan nenek. Selain itu, menurut Dicky, sebagaimana terjadi dengan data global, korban terbesar dari Covid-19 adalah lelaki yang pada umumnya menjadi tulang punggung ekonomi di keluarga.
Baca juga: Anak Yatim Piatu Membutuhkan Dukungan Sosial
Mengacu data Satgas Penanganan Covid-19, sebanyak 51,3 persen orang yang tertular Covid-19 di Indonesia laki-laki. Adapun laki-laki yang meninggal karena Covid-19 sebesar 51,4 persen.
Hingga saat ini jumlah pasti anak-anak yang kehilangan orangtua karena Covid-19 belum tersedia. Kementerian Sosial memperkirakan setidaknya 15.000-16.000 anak yatim atau piatu atau yatim-piatu akibat Covid-19. Data sementara dari Kemensos per Rabu (18/9/2021), dilaporkan 927 anak yatim/piatu akibat Covid-19 di Jawa Timur. Sementara di Yogyakarta terdapat 526 anak, Jawa Tengah sekitar 200 anak, dan Jawa Barat sekitar 500.
Angka ini bisa lebih besar lagi karena Pemerintah Provinsi Jawa Timur, misalnya, pada 16 Agustus 2021 melaporkan ada 6.198 anak di wilayah mereka yang kehilangan orangtua karena Covid-19. Adapun Jawa Tengah melaporkan setidaknya 7.000 anak kehilangan orangtua selama pandemi.
Kondisi global
Susan D Hills, epidemiolog dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (CDC) Amerika Serikat dan tim dalam artikelnya di jurnal The Lancet, pada 20 Juli 2021 menyebutkan, secara global dari 1 Maret 2020 hingga 30 April 2021 diperkirakan ada 1.134.000 anak yang kehilangan pengasuh utama, termasuk setidaknya satu orangtua atau kakek-nenek. Sebanyak 1.562.000 anak mengalami kematian setidaknya satu pengasuh primer atau sekunder.
Dalam kajian Susan ini, negara-negara dengan tingkat kematian pengasuh utama tertinggi di antaranya Peru yang mencapai 10,2 per 1.000 anak, Afrika Selatan 5,1 per 1.000 anak, Meksiko 3,5 per 1.000 anak, Brasil 2,4 per 1.000 anak, Kolombia 2,3 per 1.000 anak, Iran 1,7 per 1.000 anak, Amerika Serikat 1,5 per 1.000 anak, Argentina 1,1 per 1000 anak, dan Rusia 1 per 1.000 anak.
Baca juga: Puluhan Ribu Anak Kehilangan Orangtua
Menurut Susan, kematian orangtua adalah pandemi tersembunyi yang disebabkan kematian terkait Covid-19. Dari kajian ini, dia merekomendasikan perlunya pilar tambahan dari respons pandemi, yaitu mencegah, mendeteksi, merespons, dan merawat anak-anak yang kehilangan orangtua selama pandemi.
Dicky Budiman mengatakan, tingkat kematian orangtua di Indonesia bisa lebih tinggi dari negara lain, tetapi sejauh ini pendataan yang cenderung underreporting atau di bawah kondisi sesungguhnya menyebabkan para peneliti kesulitan menganalisis situasi.
”Angka kematian itu menggambarkan keparahan pandemi dengan akibat yang multidimensi. Karena itu, data kematian yang akurat sangat penting agar kita bisa menilai situasi dengan akurat dan mengambil respons dengan baik,” kata dia.