Teknologi agar Kapal Berbahan Bakar Fosil Tak Lepaskan Emisi
Tim peneliti dari Amerika Serikat menawarkan teknologi baru penangkap karbon dioksida bagi kapal tanker dan kargo berukuran besar yang setiap hari menjelajahi samudra.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Ketika membicarakan bagaimana menghilangkan emisi karbon dioksida atau CO2 dari kendaraan, biasanya jalan keluar yang ditawarkan berupa kendaraan listrik. Bagaimana dengan kapal kargo atau kapal tanker yang bertanggung jawab atas 3 persen emisi CO2?
Tim peneliti Northwestern University, Amerika Serikat, menawarkan cara praktis untuk membuat sebuah kapal bersifat karbon netral, yaitu jumlah emisi karbon yang dihasilkan sama dengan karbon yang ditangkap. Bahkan, jika menggunakan bahan bakar nabati, bisa-bisa teknologi membuat kapal bersifat karbon negatif alias lebih banyak karbon yang ditangkap daripada karbon yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar.
Mereka menggunakan elemen bahan bakar dioksida padat yang mampu menangkap CO2. Setelah membakar bahan bakar fosil atau bahan bakar karbon, elemen bahan bakar padat itu menghasilkan CO2 pekat yang dapat disimpan di dalam kapal. Di situ, CO2 bisa disimpan atau bahkan didaur ulang menjadi bahan bakar hidrokarbon terbarukan.
Tawaran ini dipresentasikan tim peneliti dalam analisisnya, ”Kemampuan Kendaraan Menggunakan Penangkap CO2 yang Terpasang di Kapal”, yang dipublikasikan 18 Agustus di jurnal ACS Energy Letters. Di situ, para peneliti melihat berbagai faktor, termasuk kebutuhan jumlah dan volume penyimpanan bahan bakar pada berbagai ragam kendaraan, mulai dari kendaraan ringan berpenumpang hingga kapal tanker, dan membandingkan penangkap CO2 terpasang dengan baterai listrik dan elemen bahan bakar hidrogen.
Listriknya bisa jadi berasal dari pembakaran batubara dan hidrogen biasanya diproduksi dari gas alam yang prosesnya menghasilkan banyak CO2.
”Mungkin sulit bagi orang melihat alat penangkap CO2 sebagai hal yang ramah iklim karena ini masih tampak konvensional, berbasis bahan bakar karbon,” kata Scott A Barnett dari Northwestern University, penulis senior studi itu, seperti dikutip dari laman internet kampus tersebut, 18 Agustus 2021.
Barnett mengakui, orang-orang cenderung berasumsi elemen bahan bakar hidrogen dan kendaraan listrik lebih ramah lingkungan. Namun, pada kenyataaannya, kata nya, tidaklah demikian.
”Listriknya bisa jadi berasal dari pembakaran batubara dan hidrogen, biasanya diproduksi dari gas alam yang prosesnya menghasilkan banyak CO2,” katanya.
Barnett ahli dalam elemen bahan bakar oksida padat. Ia adalah guru besar ilmu material dan teknik di Northwestern’s Mc Cormick School of Engineering. Dia menulis laporan itu bersama Travis Schmauss, kandidat doktor (PhD).
Baterai bukan solusi
Pengoperasian kapal bertanggung jawab dalam menghasilkan jutaan ton CO2 tiap tahun karena kapal dapat mengonsumsi 250 ton bahan bakar tiap hari. Meskipun memungkinkan untuk mengganti bahan bakar dalam jumlah besar ini dengan baterai, para peneliti menilai ini bukan pilihan.
”Beberapa kapal tanker membutuhkan bahan bakar yang cukup untuk mengelilingi dunia sebagai bagian dari operasi multipelayaran reguler mereka,” kata Barnett.
Ia menghitung paket baterai untuk kapal tanker jarak jauh akan memakan lebih banyak ruang daripada kapasitas penyimpanan kapal. Tangki bahan bakar hidrogen juga akan terlalu besar.
”Ketika menyangkut kendaraan jarak jauh, bahan bakar berbasis karbon digabungkan dengan penangkapan CO2 terpasang di atas kapal bisa dibilang cara terbaik untuk membuat kendaraan ini netral CO2,” ujarnya.
Solusi penyimpanan
Untuk menyimpan CO2 di kapal, tim Barnett telah mengusulkan tangki penyimpanan dua ruang yang sedang dipatenkan. Satu ruang menyimpan bahan bakar berbasis karbon.
Setelah siklus bahan bakar melalui sel bahan bakar padat untuk menciptakan energi, produk sampingan CO2 diberi tekanan dan dimasukkan ke dalam ruang kedua. Partisi pemisah antar-ruang dapat bergerak seperti mengecilkan ruang bahan bakar saat bahan bakar digunakan sehingga memberikan ruang untuk CO2 di ruang lain.
”Sel bahan bakar oksida padat sangat penting karena membakar bahan bakar dengan oksigen murni, menghasilkan produk CO2 pekat yang dapat disimpan,” kata Schmauss.
Perbedaannya dengan pembakaran konvensional dengan udara adalah menghasilkan terlalu banyak gas untuk disimpan sebagai efek pengenceran dengan nitrogen. Ketika dikompresi, CO2 pekat dapat disimpan dalam volume yang tidak lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk bahan bakar sehingga menghemat ruang.
”Teknologi ini benar-benar tidak memiliki hambatan besar untuk membuatnya bekerja. Anda hanya perlu mengganti tangki bahan bakar dengan tangki ruang ganda dan menambahkan kompresor CO2. Dan, tentu saja, infrastruktur pada akhirnya harus dikembangkan untuk melepaskan CO2 dan menyerap atau menggunakannya,” kata Barnett.
Menuju nol emisi
Dengan skenario ini, para peneliti mengatakan bahwa sangat mungkin untuk membuat kendaraan jarak jauh menjadi negatif CO2. Hal ini bisa dilakukan dengan bahan bakar nabati, seperti etanol, karena tanaman yang digunakan untuk menghasilkan bahan bakar telah mengonsumsi CO2 dari atmosfer.
Kemudian, setelah kendaraan menggunakan bahan bakar, CO2 yang ditangkap dikeluarkan dari kapal dan disimpan sementara atau digunakan untuk memproduksi bahan bakar terbarukan. Jika kendaraan menggunakan bahan bakar fosil dan bukan bahan bakar nabati, siklus keseluruhan yang dihasilkan mendekati nol bersih.