Indonesia mesti turut meningkatkan komitmen iklimnya karena menjadi salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia. Hal ini telah dilakukan Indonesia dengan memperbarui dokumen kontribusi nasional penurunan emisi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan iklim yang ditetapkan pemerintah saat ini dinilai belum memuaskan meski sudah ada pembaruan. Oleh karena itu, sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia perlu terus meningkatkan komitmen iklimnya.
Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengemukakan, untuk mencegah skenario kenaikan suhu yang lebih buruk, Indonesia harus mengadakan kerja sama internasional yang bisa mengurangi emisi karbon. Sebab, hasil kajian Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa emisi karbon selama 10 tahun ini memiliki konsentrasi tertinggi dalam dua juta tahun terakhir.
”Dalam laporan IPCC juga disebutkan bahwa jika es di Greenland mencair, air laut dunia akan naik 7 meter. Sementara jika es laut Arktik meleleh, air laut dunia akan naik 3 meter. Ini akan sangat berdampak bagi dunia termasuk Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Senin (16/8/2021).
Dalam laporan IPCC juga disebutkan bahwa jika es di Greenland mencair, air laut dunia akan naik 7 meter. Sementara jika es laut Arktik meleleh, air laut dunia akan naik 3 meter. Ini akan sangat berdampak bagi dunia, termasuk Indonesia. (Dino Patti Jalal)
Menurut Dino, Indonesia mesti turut meningkatkan komitmen iklimnya karena menjadi salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia. Hal ini telah dilakukan Indonesia dengan memperbarui dokumen kontribusi nasional penurunan emisi atau NDC Kesepakatan Paris 2015 dan skenario strategi jangka panjang tentang rendah karbon dan ketahanan iklim (LTS-LCCR) beberapa waktu lalu.
Namun, Dino memandang bahwa kebijakan iklim yang tertuang dalam LTS-LCCR belum memuaskan. Salah satu contohnya adalah target penurunan emisi Indonesia yang tidak ditingkatkan. Target penurunan emisi Indonesia pada 2030 masih sama dan tidak berubah, yakni 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
”Semangat dari Kesepakatan Paris itu selalu meningkatkan ambisi secara berkala dan ini tidak kita lakukan. Dalam skenario paling optimis pun, Indonesia pada 2050 masih tetap akan membuka hampir 7 juta hektar hutan dan masih tetap menggunakan batubara. Padahal, batubara sudah diketahui merupakan sumber energi yang sangat kotor,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memutuskan untuk tidak mengubah angka target penurunan emisi Indonesia yang tertuang dalam pembaruan dokumen NDC. Namun, terdapat komitmen baru terkait sektor kelautan, gambut, mangrove, dan permukiman dalam elemen adaptasi perubahan iklim.
Selain itu, KLHK juga telah menetapkan peta jalan penurunan emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan sebesar 17,2 persen dengan upaya sendiri dan 23 persen dengan bantuan internasional. Sementara upaya mitigasi yang dilakukan, antara lain, mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, penanaman di hutan tanaman industri, teknik pemanenan hutan, rehabilitasi, hingga restorasi dan perbaikan tata air gambut.
Muda bersuara
Guna mendorong pemangku kepentingan menetapkan kebijakan yang lebih ambisius, perwakilan anak muda dari 21 universitas di Indonesia juga turut menyampaikan aspirasi dan pernyataan sikapnya. Mereka tergabung dalam Gerakan Muda Bersuara 2021 yang diinisiasi FPCI.
Generasi muda menilai kebijakan pemerintah saat ini belum cukup tegas dalam menanggulangi perubahan iklim dan mencapai nol emisi pada 2050. Mereka pun mendesak pemerintah menetapkan target baru berdasarkan data ilmiah dan selaras dengan langkah dunia, yakni menurunkan 50 persen emisi nasional pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi pada 2050.
Selain itu, mereka juga menegaskan bahwa krisis iklim merupakan ancaman eksistensial yang nyata bagi bangsa Indonesia. Target nol emisi juga merupakan kepentingan nasional untuk menyelamatkan Indonesia Emas 2045 dari berbagai bencana hidrometeorologi. Oleh karena itu, sudah waktunya Indonesia mengusung nasionalisme iklim.
Co-Founder Mari Kita Bahas yang mewakili generasi muda Emma Betty Sukerta menyatakan, isu perubahan iklim dan dampaknya perlu terus digaungkan oleh pemerintah dan media. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada komunitas maupun masyarakat luas sehingga mereka turut berkontribusi mengurangi emisi dan menanggulangi perubahan iklim.