Perluas Akses Layanan, Pertimbangkan Alternatif Alat Tes Covid-19
Pelacakan dan tes merupakan bagian penting dari upaya pengendalian Covid-19. Keterjangkauan masyarakat untuk mengakses layanan tes turut memengaruhi hal tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komponen dari alat tes PCR atau tes reaksi berantai polimerase untuk Covid-19 yang harus diimpor membuat harga dari pemeriksaan tes tersebut terbilang mahal. Akibatnya, akses masyarakat menjadi terbatas. Selain menekan harga tes, pemerintah perlu juga mempertimbangkan alternatif alat pemeriksaan.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PD IDI) Daeng M Faqih, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (15/8/2021), mengatakan, akses masyarakat pada pemeriksaan Covid-19 harus dipermudah, baik terkait jangkauan ke fasilitas kesehatan maupun jangkauan dalam pembiayaan. Hal tersebut akan membantu pemerintah dalam meningkatkan dan memperluas jumlah pemeriksaan di masyarakat.
”Pemeriksaan dan pelacakan merupakan hal penting dalam pengendalian Covid-19. Jika akses masyarakat terbatas, jumlah pemeriksaan pun tidak akan optimal,” ucapnya.
Saat ini, harga tes PCR yang cukup mahal membuat partisipasi masyarakat untuk melakukan tes tersebut masih minim. Namun, Daeng menilai, hal ini tidak bisa dimungkiri karena sebagian besar komponen dari alat tes PCR harus diimpor.
Pemeriksaan dan pelacakan merupakan hal penting dalam pengendalian Covid-19. Jika akses masyarakat terbatas, jumlah pemeriksaan pun tidak akan optimal.
Jika dibandingkan dengan harga yang ditetapkan di negara produsen dari alat tes PCR, tentu akan lebih mahal. Seperti di India, misalnya, harga tes PCR sekitar Rp 100.000, sedangkan di Indonesia paling murah Rp 900.000.
”Kondisi ini menjadi gambaran bahwa kemandirian industri kesehatan di Indonesia amat penting. Tidak hanya terkait tes PCR untuk Covid-19. Hampir 100 persen obat dan alat kesehatan kita harus diimpor,” kata Daeng.
Ia menambahkan, pembiayaan kesehatan yang cukup tinggi di Indonesia juga disebabkan pajak alat kesehatan yang tinggi. Di Malaysia, alat kesehatan dibebaskan dari pajak sehingga biaya di negara tersebut bisa lebih murah sekalipun sebagian besar alat kesehatan yang digunakan juga masih diimpor.
Meski demikian, pemerintah telah menerbitkan aturan yang membebaskan pungutan pajak penghasilan atas barang impor untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19, termasuk tes PCR. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Covid-19.
Wana Alamsyah, peneliti dari Indonesia Corruption Watch, menuturkan, tidak adanya biaya impor barang akan memengaruhi komponen dalam menyusun tarif PCR. Permasalahannya, masyarakat tidak pernah diberi informasi mengenai komponen pembentuk harga dari tarif tes PCR.
”Hasil penelusuran ICW, rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh pelaku usaha senilai Rp 180.000 sampai Rp 375.000. Jika dibandingkan antara penetapan harga tes PCR dari Kementerian Kesehatan dan harga pembelian oleh pelaku usaha, gap harga reagen PCR mencapai lima kali lipat,” tuturnya.
Wana menambahkan, Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan persentase keuntungan yang didapatkan pelaku usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR. Kebijakan yang dibuat tanpa ada keterbukaan ini bisa berakibat pada mahalnya harga penetapan tes PCR.
Karena itu, Kementerian Kesehatan perlu segera merevisi Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR. Dari surat tersebut diatur tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp 900.000.
”Kementerian Kesehatan juga perlu segera membuka informasi mengenai komponen penetapan tarif PCR kepada publik. Subsidi terhadap pemeriksaan PCR yang dilakukan secara mandiri juga diperlukan,” kata Wana.
Alternatif pemeriksaan
Daeng menyampaikan, biaya tes PCR yang masih mahal tidak bisa dijadikan alasan rendahnya pemeriksaan kasus terkait Covid-19. Alternatif pemeriksaan dengan metode lain bisa dimanfaatkan sebagai penapisan awal, seperti dengan menggunakan tes cepat antigen.
Selain itu, penggunaan alat pemeriksaan lain juga bisa dilakukan. Saat ini sedang dikembangkan tes pemeriksaan PCR dengan menggunakan saliva atau air liur. Tes ini dinilai lebih nyaman digunakan oleh masyarakat sehingga seharusnya tidak ada ketakutan dalam pengambilan sampel yang dilakukan melalui hidung dan mulut.
Meski demikian, Daeng menyampaikan, tingkat akurasi serta validitas dari alat tersebut tetap harus diuji. Izin dari lembaga terkait juga perlu diberikan terlebih dahulu sebelum digunakan ke masyarakat.
”Adanya perluasan tes untuk penapisan akan membuat upaya pelacakan dan pemeriksaan menjadi lebih efektif. Jika dalam proses penapisan ditemukan kasus yang dicurigai Covid-19 baru dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan tes PCR,” tuturnya.