Sinergi dalam Pengembangan Riset Masih Jadi Tantangan
Kerja sama peneliti dengan kalangan industri masih perlu ditingkatkan. Ini untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan pasar dan berkualitas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi yang kuat antara lembaga riset, perguruan tinggi, swasta, dan pemerintah amat menentukan keberhasilan pengembangan riset dan inovasi suatu bangsa. Namun, hal itu justru menjadi tantangan yang besar di Indonesia. Sinergi antarpihak pun masih belum padu.
Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Raymond Tjandrawinata, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (6/8/2021), menilai, kemauan sebagian besar industri di Indonesia masih rendah untuk membangun infrastruktur riset dan pengembangan. Kalaupun ada, riset yang dilakukan tidak berkesinambungan dari hulu ke hilir. Akibatnya, bahan-bahan yang dibutuhkan tetap harus diimpor.
”Jika berkaca dengan negara lain, seperti Korea Selatan, kemajuan dari negara tersebut sangat dipengaruhi oleh riset industri. Namun, itu juga tidak terlepas dari dukungan pemerintah yang sangat kuat,” katanya.
Raymond menyampaikan, ketika perusahaan besar seperti Samsung melakukan pengembangan awal, pemerintah setempat sudah menjamin akan membeli produk yang akan dihasilkan berikut dengan risiko kegagalannya. Perusahaan pun mendapatkan kepastian sehingga proses pengembangan bisa terus berlanjut.
Produk riset yang bisa diproduksi industri harus memenuhi persyaratan dan mutu yang diminta masyarakat dan harganya cukup murah untuk industri. Jika harga terlalu tinggi tentu industri akhirnya lebih memilih impor.
Sayangnya, ekosistem tersebut belum secara optimal terbentuk di Indonesia. Selain industri yang enggan melakukan riset, pemerintah pun belum menjamin pembelian suatu produk riset dari industri.
”Jadi konsep A-B-G (academic-business-government/akademisi-industri-pemerintah) itu memang belum pernah klop sampai saat ini di Indonesia. Industri sebenarnya mau bekerja sama dengan lembaga riset, tetapi itu juga perlu kepastian bahwa produk akan terjual,” tutur Raymond.
Selain itu, ia menambahkan, sinergi antara lembaga riset dan industri pun sulit diwujudkan. Lembaga riset biasanya langsung menawarkan produk jadi yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Karena itu, dalam proses pengembangan riset yang akan dihilirisasi perlu sejak awal melibatkan industri.
”Industri memiliki kaki tangan untuk melakukan marketing. Produk riset yang bisa diproduksi industri harus memenuhi persyaratan dan mutu yang diminta masyarakat dan harganya cukup murah untuk industri. Jika harga terlalu tinggi tentu industri akhirnya lebih memilih impor,” ujarnya.
Contoh kolaborasi
Meski kondisi hampir mayoritas penelitian seperti itu, ada juga beberapa contoh kolaborasi peneliti dan industri yang mampu menghasilkan produk bermanfaat. Seperti di awal masa pandemi Covid-19 ini, kebutuhan akan ventilator sangat tinggi dan harus dicukupi dari impor yang juga sangat terbatas aksesnya.
Peneliti dan industri membuat ventilator emergensi yang sudah dalam tahap pemasaran. Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi mengatakan kebutuhan akan ventilator ini awalnya dikembangkan oleh 34 rup penelitian, di antaranya tim BPPT.
Sejak konsep awal dirumuskan, ia menyampaikan, komunikasi sudah dilakukan bersama dengan industri-industri yang berminat. Komunikasi dengan pemangku kebijakan seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara juga dijalankan bersamaan.
Setidaknya sudah ada tiga perusahaan yang tertarik kala itu, yakni PT Poly Jaya Medika, PT Len Industri (Persero), dan PT Dharma Precision Tools. Perusahaan-perusahaan ini kini memproduksi ventilator emergensi ini.
Seluruh proses yang dibutuhkan pun dijalankan dengan cepat. Itu termasuk proses uji klinis untuk memastikan mutu dan manfaat dari ventilator yang dikembangkan.
”Sejumlah aturan juga lebih dilonggarkan dalam arti terkait administrasi bisa lebih cepat. Namun, percepatan itu tidak menghilangkan kepastian akan mutu dan standar keamanan. Syarat yang ditetapkan oleh BPFK (Balai Pengaman Fasilitas Kesehatan) tetap harus dipenuhi,” ucap Eniya.
Dengan koordinasi dan komunikasi yang baik antara peneliti, industri, dan pemerintah tersebut, ventilator emergensi yang diharapkan bisa dihasilkan dengan cepat pun bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Kondisi pandemi yang penuh tekanan ternyata mampu mewujudkan sinergi yang baik dari lintas sektor yang selama ini selalu dianggap sebagai tantangan.
Menurut Eniya, itu semua tidak terlepas dari komitmen semua pihak. Pemerintah dalam hal ini berkomitmen untuk mempermudah regulasi tanpa mengurangi jaminan kualitas dari produk inovasi. Dukungan pendanaan pun kuat diberikan. Pemerintah juga memastikan untuk menjamin pembelian dari produk yang dihasilkan.
Di sisi industri pun tidak segan untuk berinvestasi dalam proses penelitian di awal sehingga ada tanggung jawab bersama sampai pada komersialisasi produk. ”Hilirisasi riset bukan hal yang mustahil jika ada komitmen bersama serta sinergi yang kuat dari seluruh pihak. Masyarakat pun harus percaya pada produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri,” kata Eniya.