Penegak Hukum dan Perusahaan Pers Turut Berperan Melindungi Jurnalis
Peran penegak hukum dan perusahaan pers sangat penting untuk mencegah dan melindungi jurnalis dari kekerasan yang dilakukan sejumlah pihak saat melaksanakan peliputan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah pewarta dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, seniman, dan beberapa elemen masyarakat bersama-sama memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/5/2014).
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih banyak dijumpai meski Indeks Kebebasan Pers Indonesia mengalami peningkatan. Selain penegak hukum, peran perusahaan pers juga sangat penting untuk mencegah dan melindungi jurnalis dari kekerasan yang dilakukan sejumlah pihak saat melaksanakan peliputan.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengemukakan, Indeks Kebebasan Pers (IKP) Indonesia yang disusun Reporters without Borders (RSF) memang mengalami kenaikan dari peringkat 119 tahun 2019 menjadi 113 pada 2020. Namun, fakta menunjukkan jumlah kekerasan terhadap jurnalis masih tinggi.
AJI mencatat, sepanjang 2020 terdapat 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis di berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2019 dengan 53 kasus, sedangkan pada periode Mei 2020-Mei 2021 terdapat 90 kasus kekerasan.
Sementara, dilihat dari jenisnya, intimidasi lisan merupakan kekerasan yang paling banyak dialami jurnalis dengan jumlah 28 kasus. Jenis kekerasan lainnya yang juga dialami jurnalis antara lain perusakan alat atau hasil liputan (22 kasus), kekerasan fisik (19 kasus), ancaman kekerasan atau teror (9 kasus), kriminalisasi (6 kasus), dan pengusiran (3 kasus).
”Ini artinya regulasi yang sudah bagus, seperti Undang-Undang Pers, nota kesepahaman, hingga peningkatan Indeks Kebebasan Pers, tidak menggambarkan kondisi di lapangan yang sebenarnya dialami jurnalis,” ujarnya dalam diskusi daring yang diselenggarakan Dewan Pers bertajuk ”Solusi Kasus Kekerasan terhadap Wartawan”, Kamis (12/8/2021).
KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI
Wartawan di Sidoarjo berunjuk rasa memprotes kekerasan terhadap jurnalis di Makassar, Kamis (26/9/2019).
Selain itu, AJI juga mencatat bahwa pelaku kekerasan terbanyak terhadap jurnalis atau total 64 persen dilakukan oleh aparat kepolisian. Menurut Sasmito, kekerasan oleh polisi kerap terjadi saat jurnalis meliput unjuk rasa atau aksi di berbagai wilayah.
Selama pandemi, kata Sasmito, terjadi juga tren kekerasan yang dialami jurnalis, mulai dari penyebarluasan informasi pribadi (doxing), peretasan, serangan pada sistem atau jaringan (DdoS), hingga stempel hoaks berita terkonfirmasi. Beberapa kasus kekerasan udah dilaporkan AJI ke pihak kepolisian meski sampai saat ini belum ada yang diusut dan diselesaikan secara tuntas.
”Di Jakarta ada lebih dari empat kasus yang kami laporkan dan di Makassar ada tiga kasus. Namun, memang semua laporan tersebut belum ada tindak lanjut dari kepolisian. Semua kasus tersebut mangkrak,” ujarnya.
Ia pun mendorong ke depan perlu peningkatan dalam upaya penegakan hukum atas kekerasan terhadap wartawan. Di sisi lain, perlu juga peningkatan sosialisasi UU Pers kepada aparat penegak hukum, penyelesaian sengketa pers, dan dukungan terhadap perusahaan media.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya menekankan pentingnya peran aktif dan kewajiban perusahaan pers sesuai standar perlindungan wartawan. Menurut Agung, perusahaan pers wajib membuat kontrak kerja yang memuat hak dan kewajiban dalam hal perlindungan hukum serta jaminan keselamatan kepada wartawan.
Setelah terjadi kekerasan, perusahaan pers juga wajib memberikan perlindungan terhadap wartawan dan anggota keluarganya. Upaya perlindungan ini termasuk menanggung biaya pengobatan, memberikan pendampingan hukum, berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan, dan memastikan penegak hukum memproses pelaku kekerasan.
Penanganan kasus
Kepala Bagian Kerja Sama (Kabag Kerma) Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Didi Hayamansyah mengatakan, selain UU Pers, telah ditetapkan juga nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri tahun 2017 tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan.
Terkait dengan kasus yang menimpa sejumlah wartawan atau media, kata Didi, saat ini pihak Polri masih terus melakukan penanganan. Pada kasus peretasan situs Tempo, penyidik telah melakukan pemeriksaan digital forensik. Adapun pada kasus peretasan situs Tirto, penyidik baru melakukan permintaan data log alamat IP dan perangkat pengguna surat elektronik yang diretas ke Google.
Kompas
Wartawan dari berbagai media yang tergabung dalam Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KWAK) Sumatera Barat menggelar aksi di Padang, Senin (7/12/2015). Aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap kasus dugaan penganiayaan wartawan Riauonline.co.id, Zuhri Febrianto, oleh aparat kepolisian.
Sementara kasus penganiayaan terhadap jurnalis Tempo, saat ini polisi telah melaksanakan pelimpahan kembali berkas perkara kepada jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 3 Agustus 2021. Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lainnya yang akan diperkarakan jika terbukti bersalah saat proses penyidikan.
”Berapa lama pemeriksaan inilah yang perlu terus dikejar para penyidik. Setelah melakukan evaluasi, pelapor perlu terus menanyakan SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan). Apabila penyidik tidak memberikan SP2HP sesuai dengan tingkat perkembangannya, akan ada pelanggaran dan sanksi,” tuturnya.
Didi menegaskan, untuk mencegah terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan, Polri telah menyosialisasikan UU Pers kepada personel di lapangan. Terkait kekerasan terhadap wartawan di ruang digital, Polri juga melakukan kampanye siber melalui program kanal siber, peringatan virtual polisi, hingga mengoptimalkan media sosial jajaran siber.