Fokuskan Riset pada Nilai Tambah Keanekaragaman Hayati
Keunggulan lokal Indonesia yang tak perlu dicari-cari lagi adalah keanekaragaman hayati dan genetika. Sentuhan riset, inovasi, dan teknologi bisa membawa nilai tambah karena pemanfaatannya di berbagai bidang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA DAN PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan alam berupa keanekaragaman hayati hingga genetika yang menjadi keunggulan Indonesia masih minim sentuhan riset dan teknologi. Potensi ini apabila dimanfaatkan secara optimal pada berbagai bidang, dapat meningkatkan nilai tambah yang mendukung pembangunan ekonomi.
Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang, Sudharto P Hadi yang juga mantan Wakil Ketua Dewan Riset Nasional 2015-2020, mengatakan, kecenderungan hingga kini hasil alam hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah. Padahal, jika diolah melalui inovasi, potensi tersebut bisa memiliki daya jual yang lebih tinggi. Selain itu, lapangan pekerjaan dan lapangan usaha juga semakin terbuka.
”Kita akan sulit untuk keluar dari middle income trap (perangkap pendapatan menengah) jika tidak menggunakan sumber daya alam untuk hilirisasi dan inovasi,” kata Sudharto, Rabu (11/8/2021).
Ia menuturkan, soal teknologi, Indonesia kini tidak mungkin bersaing dengan Korea Selatan dan Jepang. Karena itu, celah potensi berupa kekayaan sumber daya alam bisa dimanfaatkan.
Selain industri yang enggan melakukan riset, pemerintah juga belum menjamin pembelian produk riset dari industri.
Ia berharap Indonesia memiliki agenda riset nasional yang lebih jelas. Indonesia harus mampu mengubah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada sumber daya alam mentah menjadi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko mengatakan, riset akan difokuskan pada bidang yang memberi nilai tambah, terutama dari sumber daya alam lokal dan keanekaragaman. Itu bisa berupa keanekaragaman biodiversitas, geografis, laut, observasi angkasa, serta kesenian dan budaya.
Beragam hal itu potensial untuk diberi nilai tambah karena sudah secara alami dimiliki Indonesia. ”Tidak perlu berupaya hal besar, tetapi apa yang memang sudah ada di depan mata yang perlu sentuhan riset iptek,” ujarnya.
Contohnya, produk rotan yang sulit diekspor karena kualitas yang kurang baik. Dengan riset, persoalan ini bisa diatasi.
Contoh lain lagi, produk kunyit yang cenderung hanya diekspor dalam bentuk bubuk. Jika mendapat polesan riset, kunyit bisa menjadi obat herbal terstandar (OHT) yang memiliki nilai tambah tinggi.
Namun, ia pun menekankan bahwa pengembangan lain, seperti pesawat, roket, dan satelit, tetap harus berjalan.
Dihubungi sebelumnya, Carina Joe, peneliti diaspora Indonesia di Institut Jenner, University of Oxford, Inggris, yang terlibat langsung hingga memperoleh paten dalam pengembangan vaksin Covid-19 yang diproduksi AstraZeneca, menuturkan dari pengalamannya, Australia dan Inggris memiliki ekosistem yang mendukung riset, khususnya bidang bioteknologi. Selain didukung anggaran, para peneliti juga dipertemukan para ahli dari berbagai bidang untuk bertukar pikiran dan memberikan saran.
Kerja sama industri
Untuk membangun teknologi dan riset, dibutuhkan dukungan dan kerja sama antara peneliti dan industri. Menurut peneliti di RIKEN Center for Emergent Matter Science (CEMS) Jepang, Satria Zulkarnaen Bisri, Jepang selalu mengintensifkan konferensi ilmiah dan meningkatkan interaksi antar-ilmuwan. Bahkan, konferensi ilmiah tersebut juga dihadiri oleh industri karena mereka yang memegang kunci dalam hilirisasi produk.
Di sisi lain, menurut Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Raymond Tjandrawinata, kemauan sebagian besar industri di Indonesia masih rendah untuk membangun infrastruktur riset dan pengembangan. Kalaupun ada, riset yang dilakukan tidak berkesinambungan dari hulu ke hilir. Akibatnya, bahan-bahan yang dibutuhkan tetap diimpor.
”Jika berkaca dengan negara lain, seperti Korea Selatan, kemajuan dari negara tersebut sangat dipengaruhi oleh riset industri. Namun, itu juga tidak terlepas dari dukungan pemerintah yang sangat kuat,” katanya.
Sayangnya, ekosistem riset belum secara optimal terbentuk di Indonesia. Selain industri yang enggan melakukan riset, pemerintah juga belum menjamin pembelian produk riset dari industri.
Lebih lanjut, Sudharto P Hadi mengatakan, pengembangan riset dan inovasi di Indonesia selama ini terkendala karena sebagian besar hasil riset hanya berhenti dalam bentuk invensi, seperti paten, publikasi, dan purwarupa (prototype). Tidak banyak hasil riset yang sampai pada proses hilirisasi menjadi inovasi produk yang bisa dikomersialisasikan.
”Berbagai hambatan yang ditemui, di antaranya riset yang dihasilkan peneliti tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna atau industri, kepercayaan pengguna pada hasil riset dalam negeri masih rendah, serta ekosistem riset kita yang tidak mendukung. Itu seperti menjadi lembah kematian riset,” katanya.
Karena itu, Sudharto menuturkan, perlu adanya agenda riset nasional yang lebih jelas. Indonesia harus mampu mengubah pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut termasuk untuk menentukan inovasi apa yang bisa menunjang daya saing bangsa.